ENSIKLOPEDI LARANGAN 4

Diposting oleh Ahsanul Huda Kamis, 03 Juni 2010

LARANGAN KERAS BERSUMPAH DENGAN NAMA (DEMI) SELAIN ALLAH.

Diriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubaidah ra, ia berkata bahwa Ibnu ‘Umar ra mendengar seorang laki-laki berkata dalam sumpahnya: “Demi Ka’bah!” Ibnu ‘Umar berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

‘Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kafir atau berbuat syirik.’”[1]

Masih dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

‘Setiap sumpah yang diucapkan tidak dengan nama Allah, termasuk perbuatan syirik.’” (Shahih, diriwayatkan oleh al-Hakim (I/18) dan lainnya, dan dishahihkan oleh guru kami, Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (2042).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw bertemu dengan ‘Umar bin al-Khaththab ra yang sedang berjalan bersama rombongan, beliau mendengarnya bersumpah atas nama ayahnya. Rasulullah saw bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian. Barangsiapa bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau sebaiknya ia diam.” (Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh: ‘Liyaskut.’, HR. Al-Bukhari (6646) dan Muslim (1646).

‘Umar berkata: “Demi Allah sejak aku mendengar sabda Rasulullah itu, aku tidak pernah bersumpah dengan selain nama Allah, baik menyebutkannya langsung ataupun menukil ucapan orang.” (Dzaakiran aw Aatsiran artinya, baik menyebutkannya langsung ataupun menukil ucapan orang yang bersumpah dengan selain nama Allah. Hal itu dijelaskan dalam riwayat Muslim: “Sejak aku mendengar Rasulullah saw melarangnya, aku tidak pernah mengucapkan sumpah dengan selain nama Allah.”)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Bahwa Rasulullah saw bersabda:

‘Janganlah kalian bersumpah dengan nama bapak atau ibu kalian dan jangan pula bersumpah dengan nama selain Allah! Serta janganlah kalian bersumpah kecuali dengan nama Allah! Dan janganlah bersumpah dengan nama Allah kecuali kalian harus jujur (di dalamnya)!’”[2] (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3248), an-Nasa-I (VII/5), al-Baihaqi (X/29) dan Ibnu Hibban (4357) dari jalur ‘Ubaidillah bin Mu’adz dari ayahnya, dari ‘Auf, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah ra. Saya katakan: “Sanad ini shahih, ‘Auf dalam sanad ini adalah Ibnu Abi Jamilah al-A’rabi, dan Mu’adz di sini adalah Mu’adz bin Mu’adz.”).

Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Samurah ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

‘Janganlah kalian bersumpah dengan nama thawaaghi[3] dan jangan pula dengan nama bapak-bapak kalian!’”[4] (HR. Muslim (1648)).

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Dengan nama thawaaghiit.” (Bentuk jamak dari kata ( طاغوت ), yakni syaitan dan berhala, atau segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dari kalangan manusia dan dia rela untuk diibadahi, HR. An-Nasa-I (VII/7), hadits ini shahih).

Diriwayatkan dari Buraidah r.a, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

‘Barangsiapa bersumpah atas nama (demi) amanah, maka ia bukan dari golongan kami.’”[5] (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3253), Ahmad (V/352), Ibnu Hibban (1318 -al-Mawaarid), al-Bazzar (1500 –Kasyful Atsaar), al-Hakim (IV/298) dan al-Baihaqi (X/3), dari jalur al-Walid bin Tsa’labah, dari Ibnu Buraidah dari ayahnya.

Saya katakan: “Sanadnya shahih, dan telah dishahihkan oleh al-Mundziri dan guru kami (yakni Syaikh al-Albani).”

Diriwayatkan dari Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyyah ra, ia berkata: “Salah seorang pendeta Yahudi datang menemui Rasulullah saw dan berkata:

‘Wahai Muhammad, kalian adalah sebaik-baik ummat bila saja kalian tidak berbuat syirik.’ Rasulullah berkata: ‘Subhanallah, apa itu?’ Ia berkata: ‘Kalian berkata dalam sumpah: Demi Ka’bah!’ Rasulullah saw diam sejenak, lalu berkata: ‘Memang ada yang mengatakan seperti itu, maka barangsiapa bersumpah hendaklah ia mengatakan: ‘Demi Rabbul Ka’bah (Pemilik Ka’bah).’

Pendeta Yahudi itu berkata lagi:

‘Wahai Muhammad, kalian adalah sebaik-baik ummat bila saja kalian tidak menjadikan sekutu bagi Allah!’ ‘Subhanallah, apa itu?’ tanya Rasulullah. Ia berkata: “Kalian mengatakan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu!’ Rasulullah diam sejenak, lalu berkata: ‘Memang ada yang berkata seperti itu, barangsiapa mengucapkan: Atas kehendak Allah, maka hendaklah ia mengiringinya dengan ucapan: Kemudian dengan kehendakmu.’”[6]

Diriwayatkan dari Buraidah ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

‘Barangsiapa berkata dalam sumpahnya: ‘Aku berlepas diri dari Islam’, jika ia bohong, maka hakikatnya seperti yang ia katakan. Jika ia tidak bohong, maka ia tidak akan kembali kepada Islam dengan selamat!’”[7]

Diriwayatkan dari Tsabit bin adh-Dhahhak ra, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa sengaja bersumpah atas nama agama selain Islam secara dusta, maka hakikatnya seperti yang ia katakan. Barangsiapa bunuh diri dengan menggunakan besi, maka ia akan disiksa dalam Neraka Jahannam dengan besi itu.”[8]

Kandungan Bab :

1.   Bersumpah dengan selain nama Allah termasuk syirik amali. Sabda Rasulullah saw: “Maka ia telah kafir atau berbuat syirik,” tujuannya untuk penegasan larangan dan penekanan hukum keharamannya.

Abu ‘Isa at-Tirmidzi dalam Sunannya (IV/110-111) berkata: “Tafsir hadits ini menurut sejumlah ahli ilmu, bahwa sabda Nabi: ‘Maka ia telah kafir atau berbuat syirik,’ tujuannya untuk penekanan larangan. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar ra, bahwa Rasulullah saw mendengar ‘Umar bin al-Khaththab bersumpah: ‘Demi ayah dan ibuku,’ Rasulullah menyanggahnya:

‘Ketahuilah! Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian.’

Dan hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang berkata dalam sumpahnya, Demi Latta dan ‘Uzza hendaklah ia menebusnya dengan mengucapkan, ‘Laa Ilaaha Illallaah.’”

Kemudian beliau berkata: “Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau berkata:

‘Sesungguhnya riya’ itu syirik.’”

Dalam menafsirkan ayat:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih.” (QS. Al-Kahfi (18): 110).

Sebagian ulama mengatakan: “Yaitu tidak berbuat riya’.”

Abu Ja’far ath-Thahawi dalam kitab Syarah Musykilul Aatsaar (II/297-298), berkata: “Dalam hadits dari Rasulullah saw ini ditegaskan, bahwa siapa saja yang bersumpah dengan sesuatu selain Allah, berarti ia telah berbuat syirik. Maksudnya –wallaahu a’lam- bukanlah syirik yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, sehingga pelakunya keluar dari Islam. Akan tetapi maksudnya adalah, tidak selayaknya seorang Muslimm bersumpah dengan selain Allah. Maka barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, berarti ia telah menjadikan sesuatu yang selain Allah itu sebagai mahluf (yang disebut dalam sumpah sebagai pengagungan), sebagaimana ia juga menjadikan Allah sebagai mahluf. Berarti ia telah menjadikan sesuatu selain Allah yang disebutnya dalam sumpah itu sebagai tandingan bagi Allah. Ini adalah masalah besar! Ucapan itu telah menjadikannya musyrik dengan syirik ashghar, bukan syirik akbar yang bisa membuatnya kafir kepada Allah dan mengeluarkannya dari Islam.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fat-hul Baari­ (XI/531): “Sabda Nabi: ‘Maka ia telah kafir atau berbuat syirik,’ tujuannya adalah penegasan dan penekanan larangan. Hal ini telah dijadikan sandaran oleh para ulama yang mengharamkannya.”

2.   Barangsiapa terlanjur bersumpah dengan sesuatu selain Allah, maka kaffaratnya adalah mengucapkan “Laa Ilaaha Illallaah”, lalu meludah ke kiri sebanyak tiga kali, kemudian mengucapkan isti’adzah, berlindung kepada Allah dari gangguan syaitan yang terkutuk. Dalilnya adalah:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa yang berkata dalam sumpahnya: ‘Demi Latta dan ‘Uzza,’ hendaklah ia menebusnya dengan mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.’ Barangsiapa mengatakan kepada temannya: ‘Mari kita berjudi,’ hendaklah ia bershadaqah.”[9]

Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash meriwayatkan dari ayahnya, yakni Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa ia berkata: “Aku pernah bersumpah dengan nama al-Latta dan al-‘Uzza, teman-temanku berkata: ‘Engkau telah mengucapkan perkataan keji!’ Aku pun datang menemui Rasulullah saw dan mengadukan hal ini kepada beliau, kukatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku belum lama memeluk Islam, tadi aku bersumpah dengan nama al-Latta dan al-‘Uzza!” Rasulullah saw berkata:

“Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaahu Wahdah (Tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata) sebanyak tiga kali, kemudian meludahlah ke kiri sebanyak tiga kali, lalu berlindunglah kepada Allah dari gangguan syaitan yang terkutuk dengan mengucapkan isti’adzah, dan jangan engkau ulangi.”[10]

3.   Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Baari (XI/531): “Para ulama berkata: ‘Hikmah larangan bersumpah dengan selain Allah adalah bersumpah dengan menyebutkan sesuatu merupakan bentuk pengagungan dari sesuatu tersebut, sementara pengagungan itu pada hakikatnya hanyalah untuk Allah semata.’”

Saya katakan: “Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:

‘Barangsiapa ingin bersumpah, maka hendaklah ia bersumpah hanya dengan nama Allah.’ Orang-orang Quraisy dahulu bersumpah dengan nama bapak-bapak mereka. Rasulullah saw bersabda: ‘Janganlah kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian.’”[11]

4.   Boleh bersumpah dengan menyebut salah satu dari sifat Allah, dalilnya adalah:

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Akan dihadapkan seorang penghuni Jannah yang paling berat penderitaannya di dunia. Lalu Allah berkata: ‘Masukkanlah ia ke dalam Jannah sekejap saja!’ Lalu dimasukkanlah ia sekejap saja ke dalam Jannah. Lalu Allah berkata kepadanya: ‘Hai anak Adam, pernahkan engkau merasakan kepedihan atau pernahkah merasakan sesuatu yang engkau tidak sukai?’ Ia berkata: ‘Demi kemuliaan-Mu, aku sama sekali tidak pernah merasakan sesuatu yang tidak kusukai.’ Kemudian dihadapkanlah seorang penghuni Neraka yang paling enak hidupnya di dunia. Allah berkata: ‘Celupkanlah ia sekali celup saja ke dalam Neraka!’ Setelah ia dicelup, Allah berkata kepadanya: ‘Hai anak Adam, pernahkah engkau melihat kebaikan atau merasakan kenikmatan?’ Ia berkata: ‘Demi kemuliaan-Mu, aku sama sekali tidak pernah melihat kebaikan dan tidak pernah merasakan kenikmatan.’”[12]

Salah satu bab dalam Sunanul Kubra karangan al-Baihaqi (X/41) adalah “Bab bersumpah dengan menyebut salah satu dari sifat Allah, seperti kemuliaan Allah, qudrah-Nya, keluhuran-Nya, kebesaran-Nya, keagungan-Nya, perkataan-Nya, pendengaran-Nya dan lainnya.”

Kemudian beliau membawakan beberapa hadits yang membolehkannya. Lalu menyebutkan beberapa atsar yang menunjukkan bolehnya bersumpah dengan meyebut al-Qur-an al-Karim. Ia meriwayatkan dengan sanad shahih dari seorang tabi’in tsiqah bernama ‘Amr bin Dinar, bahwa ia berkata: “Sejak tujuh puluh tahun yang lalu sampai sekarang, aku mendengar orang-orang mengatakan, Allah adalah al-Khaaliq (pencipta), selain Dia ada makhluk (yang diciptakan), dan al-Qur-an adalah Kalamullah ‘Azza wa Jalla.”

5.  Bersumpah jujur dengan menyebut nama selain Allah lebih besar dosanya daripada bersumpah bohong dengan nama Allah. Dalilnya adalah:

Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud ra: “Bersumpah bohong dengan menyebut nama Allah lebih aku sukai daripada bersumpah jujur dengan menyebut nama selain-Nya.”[13]

6. Akan tetapi orang yang bersumpah dengan nama Allah hendaklah jujur dalam sumpahnya. Dan barangsiapa yang diucapkan padanya sumpah dengan menyebut nama Allah hendaklah ia rela (menerimanya), dalilnya adalah:

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata: “Rasulullah saw mendengar seseorang bersumpah dengan menyebut nama bapaknya. Rasulullah saw bersabda:

‘Janganlah bersumpah dengan nama nenek moyangmu! Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, hendaklah ia berkata benar. Dan barangsiapa yang diucapkan padanya sumpah dengan menyebut nama Allah, hendaklah ia menerimanya, barangsiapa tidak menerimanya, maka lepaslah ia dari Allah.’”[14]

Rasulullah saw telah memberikan perumpamaan yang sangat bagus dari kisah Kalimatullah beserta hamba dan ruh-Nya, ‘Isa bin Maryam as. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, disebutkan bahwa Rasulullah saw bersbda:

“Nabi ‘Isa melihat seorang lelaki sedang mencuri. Beliau berkata kepadanya: ‘Engkau telah mencuri!’ Ia berkata: ‘Tidak demi Allah yang tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Dia!’ Nabi ‘Isa berkata: ‘Aku beriman kepada Allah dan aku dustakan penglihatan mataku.’”[15]

7.   Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fat-hul Baari (XI/533): “Adapun sumpah-sumpah dengan menyebut nama selain Allah yang disebutkan dalam al-Qur-an, ada dua jawaban yang dapat diberikan:

Pertama    :  Ada kata yang dihilangkan dalam kalimat sumpah tersebut, sumpah ‘demi matahari,’ takdirnya adalah ‘demi Rabb matahari’ demikian seterusnya.

Kedua        :  Hal itu khusus bagi Allah semata. Jika Allah ingin mengagungkan salah satu makhluk-Nya, maka dia akan bersumpah dengan menyebutnya. Namun hal ini tidak boleh dilakukan oleh selain-Nya.”

8.   Dalam sejumlah hadits terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan itu, misalnya sabda Nabi kepada seorang Arab Badui:

“Demi ayahnya, beruntunglah ia jika benar katanya. Demi ayahnya, niscaya ia masuk Jannah jika benar katanya.”[16]

Dan jawaban beliau kepada orang yang bertanya tentang shadaqah:

“Demi ayahmu, engkau akan diberitahu tentang hal itu.”[17]

Ada beberapa jawaban ahli ilmu berkenaan dengan masalah ini:

Pertama: Ada yang meragukan keshahihan lafazh tersebut. Pendapat ini dinukil dari Ibnu ‘Abdil Barr dan al-Qarafi sebagaimana disebutkan dalam Fat-hul Baari (I/108) dan (XI/533).

Kedua: Ada yang mengatakan, telah terjadi kesalahan cetak, seharusnya “demi Allah” namun berubah menjadi “demi ayahnya”, pendapat ini dinukil oleh as-Suhaili dari beberapa orang gurunya.

Ketiga: Ada yang mengatakan, kalimat tersebut biasa mereka ucapkan tanpa maksud bersumpah. Adapun larangan, ditujukan kepada orang yang sengaja bersumpah. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh al-Baihaqi dan disetujui oleh an-Nawawi.

Keempat: Ada yang mengatakan, kalimat seperti itu dalam perkataan mereka memiliki dua makna:

(1)     Pengagungan.

(2)     Penegasan

Kelima: Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa dalam kalimat tersebut ada kata yang tersembunyi, yaitu kata Rabb, jadi sebenarnya kalimat itu berbunyi: “Demi Rabb ayahnya…”

Keenam: Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa perkataan itu diucapkan oleh Rasulullah sebelum turun larangan. Kemudian hukum mubahnya dihapus menjadi terlarang. Inilah pendapat yang dipilih oleh Jumhur Ulama.

Ketujuh: Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu khusus bagi Syaari’ (Rasul-Nya), dan tidak boleh bagi ummat beliau.

Bantahannya sebagai berikut:

(1)   Tanpa ragu lagi, lafazh tersebut telah diriwayatkan secara shahih. Selain diriwayatkan dari jalur Isma’il bin Ja’far, lafazh ini juga diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah ra.

(2)   Perkiraan telah terjadi kesalahan cetak masih bersifat dugaan. Masalah seperti ini tidak boleh ditetapkan dengan dugaan.

(3)   Jawaban kelima dan ketujuh masih terlalu spesifik dan butuh dalil, hak khusus atau kekhususan tidak dapat ditetapkan dengan dugaan.

Jawaban yang paling bisa diterima adalah jawaban keenam. Yaitu, perkara tersebut terjadi sebelum turunnya larangan. Dan kalimat tersebut juga biasa mereka ucapkan tanpa maksud tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Qutailah al-Juhaniyyah dan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar ra yang baru saja berlalu. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa orang-orang Quraisy dahulu bersumpah dengan menyebut nama nenek moyang mereka, maka Rasulullah saw bersabda:

“Janganlah bersumpah dengan menyebut nama nenek moyang kalian!”

Adapun anggapan orang yang melemahkan jawaban ini dengan alasan adanya kemungkinan untuk menggabungkannya, maka anggapan mereka itu tertolak! Sebab, bentuk penggabungan di atas terlalu dipaksakan. Adapun penolakan nasakh (penghapusan hukum) dengan anggapan tidak diketahuinya mana hadits yang terdahulu dan mana hadits yang datang kemudian, adalah anggapan yang tertolak berdasarkan kedua riwayat di atas.

Jadi, jelaslah bahwa hal itu terjadi sebelum turunnya larangan. Dan jelas pulal bahwa hukum mubahnya telah dihapus.

9.  Sekarang ini banyak bermunculan fenomena bersumpah dengan nama selain Allah –kita berlindung kepada Allah dari kesesatan setelah mendapat hidayah-. Bermunculanlah berbagai macam kalimat, seperti bersumpah dengan menyebut kemuliaan, kumis dan cambang atau tanah ayahnya, hendaklah orang-orang yang lalai itu segera sadar, sebab banyak sekali orang yang sudah tergelincir dalam masalah ini.

[1] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (3251), at-Tirmidzi (1535), Ahmad (II/34, 67, 69, 87 dan 125), al-Hakim (I/18 dan IV/279), al-Baihaqi (X/29), Ibnu Hibban (4358), ath-Thayalisi (1896) dan ‘Abdurrazaq (15926) dari beberapa jalur dari Ibnu ‘Umar ra.

Saya katakan: “Sanad ini dinyatakan terputus oleh al-Baihqi, ia berkata: ‘Hadits ini belum didengar oleh Sa’ad bin ‘Ubaidah dari Ibnu ‘Umar ra.’”

Akan tetapi ada riwayat lain yang menyebutkannya secara maushul. Waki’ berkata: “Al-A’masy telah menceritakan kepada kami dari Sa’ad bin ‘Ubaidah, ia berkata: ‘Ketika aku duduk bersama ‘Abdullah bin ‘Umar dalam sebuah majelis, beliau mendengar seorang lelaki di majelis lain berkata: ‘Tidak, demi ibuku!” Maka ‘Abdullah bin ‘Umar melemparnya dengan batu kerikil. Beliau berkata: ‘Umar pernah bersumpah seperti itu, lalu Rasulullah saw melarangnya dan berkata: ‘Ucapan itu termasuk syirik.’”” Diriwayatkan oleh Ahmad (II/58 dan 60) dan selainnya.

Kesimpulannya hadits ini shahih, walhamdulillah.

[2] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3248), an-Nasa-I (VII/5), al-Baihaqi (X/29) dan Ibnu Hibban (4357) dari jalur ‘Ubaidillah bin Mu’adz dari ayahnya, dari ‘Auf, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah ra.

Saya katakan: “Sanad ini shahih, ‘Auf dalam sanad ini adalah Ibnu Abi Jamilah al-A’rabi, dan Mu’adz di sini adalah Mu’adz bin Mu’adz.”

[3] Bentuk jamak dari kata ( طاغية ), yakni berhala.

[4] HR. Muslim (1648).

[5] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3253), Ahmad (V/352), Ibnu Hibban (1318 -al-Mawaarid), al-Bazzar (1500 –Kasyful Atsaar), al-Hakim (IV/298) dan al-Baihaqi (X/3), dari jalur al-Walid bin Tsa’labah, dari Ibnu Buraidah dari ayahnya.

Saya katakan: “Sanadnya shahih, dan telah dishahihkan oleh al-Mundziri dan guru kami (yakni Syaikh al-Albani).”

[6] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (VI/371-372), Ibnu Sa’ad (VIII/309), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (25/5-6), al-Hakim (IV/297), al-Baihaqi (III/216) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab al-Aahaad wal Matsaani (3408) serta yang lainnya dari jalur al-Mas’udi, dari Ma’bad bin Khalid, dari ‘Abdullah bin Yasar, dari Qutailah.

Saya katakan: “Sanadnya shahih, meskipun di dalamnya terdapat al-Mas’udi, nama lenglapnya ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud, hafalannya rusak di akhir usianya. Akan tetapi salah seorang yang meriwayatkan darinya adalah Sa’ad bin al-Qaththan, ia mendengar riwayat ini dari al-Mas’udi sebelum hafalannya rusak.”

Riwayatnya ini telah diiringi oleh riwayat lain yang dikeluarkan oleh an-Nasa-I dalam al-Mujtabaa (VII/6) dan dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah (986-987) dan ath-Thabrani (25/7), dari jalur Mis’ar, dari Ma’bad bin Khalid, dari ‘Abdullah bin Yasar dari Qutailah.

Sanadnya shahih, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishaabah (IV/378) dan Fat-hul Baari (XI/540).

[7] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3258), an-Nasa-i (VII/6) dan Ibnu Majah (2100).

Saya katakan: “Sanadnya shahih.”

[8] HR. Al-Bukhari (1363) dan Muslim (110).

[9] HR. Al-Bukhari (4860) dan Muslim (1647).

[10] Hadits shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VII/7-8), Ibnu Majah (2097), Ahmad (I/83, 186-187), ad-Dauraqi dalam Musnad Sa’ad (58) dari jalur Abu Ishaq, dari Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya, Sa’ad bin Abi Waqqash ra.

Saya katakan: “Sanadnya shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim, hanya saja Abu Ishaq seorang mudallis dan kacau hafalannya di akhir usia, akan tetapi ia menegaskan penyimakan langsung dalam riwayat an-Nasa-i (VII/8), sehingga terhindarlah dari kemungkinan tadlis. Dan perawi yang meriwayatkan darinya adalah Israil bin Yunus, ia adalah perawi yang paling shahih riwayatnya dari Abu Ishaq, ia meriwayatkan dari Abu Ishaq sebelum hafalannya rusak. Dengan demikian hadits ini shahih.”

[11] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (III/253-254) dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, asalnya terdapat dalam kitab Shahih.

[12] HR. Al-Bukhari (3836) dan Muslim (1646).

[13] Shahih, diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir (IX/183) dengan sanad yang shahih.

[14] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2101) dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh al-Bushairi.

[15] HR. Al-Bukhari (3444) dan Muslim (2368).

[16] Asal hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari (46) dan Muslim (11), lafazh ini adalah riwayat Muslim (11) dan (9) dari riwayat Isma’il bin Ja’far.

[17] HR. Al-Bukhari (1419) dan Muslim (1032) dan (1093), dari hadits Abu Hurairah ra.

0 komentar

Posting Komentar