ENSIKLOPEDI LARANGAN 5

Diposting oleh Ahsanul Huda Kamis, 03 Juni 2010

LARANGAN MENGATAKAN “ATAS KEHENDAK ALLAH DAN KEHENDAKMU.”

Diriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman ra, dari Nabi saw beliau bersabda:

“Janganlah mengatakan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Fulan,’ tetapi katakanlah: ‘Atas kehendak Allah kemudian atas kehendak Fulan.’”[1]

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ra, ia berkata: “Seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw, lalu beliau mengoreksi sebagian ucapannya. Lelaki itu mengatakan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ kemudian Rasulullah saw membantahnya:

‘Apakah engkau menjadikan diriku sebagai sekutu bagi Allah! Sekali-kali tidak! Tetapi (ucapkanlah), hanya atas kehendak Allah semata.”[2]

Diriwayatkan dari ath-Thufail bin Sakhbarah ra, saudara seibu ‘Aisyah ra melihat dalam mimpi seolah ia melewati serombongan orang-orang Yahudi. Ia bertanya: “Siapakah kalian?” “Kami adalah orang-orang Yahudi,” jawab mereka. Ia berkata: “Sesungguhnya kalian adalah sebaik-baik kaum seandainya kalian tidak mengatakan: “Uzair putera Allah.’” Mereka menjawab: "Sungguh kalian pun sebaik-baik kaum seandainya kalian tidak mengatakan: 'Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad.' Kemudian ia melewati serombongan orang Nasrani. Ia bertanya: "Siapakah kalian?" "Kami adalah orang-orang Nasrani," jawab mereka. Ia berkata: "Sesungguhnya kalian adalah sebaik-baik kaum seandainya kalian tidak mengatakan: 'Al-Masih putera Allah.'" Mereka menjawab: "Sungguh kalian pun sebaik-baik kaum seandanya kalian tidak mengatakan: 'Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad.'" Pagi harinya aku menceritakan mimpi tersebut kepada kawan-kawanku. Kemudian aku pergi menemui Rasulullah saw dan menceritakan mimpi itu kepada beliau. "Apakah engkau telah menceritakan mimpi tersebut kepada orang lain?" tanya beliau.

"Ya!" jawabku. Lalu Rasulullah bertahmid dan memanjatkan pujian kepada Allah, kemudian beliau bersabda:

"Sesungguhnya Thufail telah bermimpi sesuatu yang telah diceritakannya kepada sejumlah orang  di antara kamu. Dan sesungguhnya kamu telah mengucapkan suatu ucapan yang saat itu aku segan untuk melarangmu mengucapkannya. Maka janganlah kamu mengatakan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad.’”[3]

Diriwayatkan dari Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyyah ra, ia berkata bahwa salah seorang pendeta Yahudi datang menemui Rasulullah saw dan berbuat syirik." Rasulullah berkata: "Subhaanallaah, apa itu?" Ia berkata: "Kalian berkata dalam sumpah: 'Demi Ka'bah!'" Rasulullah saw diam sejenak, lalu berkata: "Memang ada yang mengatakan seperti itu, maka barangsiapa bersumpah hendaklah ia mengatakan: 'Demi Rabbul Ka'bah.'" Pendeta Yahudi itu berkata lagi: "Wahai Muhammad, kalian adalah sebaik-baik ummat bila saja kalian tidak menjadikan sekutu bagi Allah!" "Subhaanallaah, apa itu?' tanya Rasulullah. Ia berkata: "Kalian mengatakan: 'Atas kehendak Allah dan kehendakmu!'" Rasulullah diam sejenak, lalu bersabda:

"Memang ada yang berkata seperti itu, barangsiapa mengucapkan: 'Atas kehendak Allah,' maka hendaklah ia mengiringinya dengan ucapan: 'Kemudian degan kehendakmu.'"[4]


Kandungan Bab :

1.      Haram hukumnya mengucapkan: "Atas kehendak Allah dan kehendak Fulan." Sebab, ucapan itu dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan dapa mengurangi nilai keimanan.

Al Hafizh Ibnu Rajab ra berkata dalam kitab Kalimatul Ikhlaash wa Tahqiiqu Ma'naaha halaman 23-25: "Uraian makna sekaligus penjelasannya adalah sebagai berikut: Kalimat Laa Illaha Illallah berarti pengakuan bahwa tiada Ilah yang haq baginya selain Allah.  Ilah adalah yang selalu diataati dan tidak didurhakai diiringi dengan rasa takut-Nya, pengagungan dan cinta, rasa takut dan harap, tawakkal kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya, berdo'a kepada-Nya, semua itu tidak boleh ditunjukan kecuali kepada-Nya semata. Barangsiapa mengangkat makhluk sebagai sekutu bagi-Nya dalam perkara-perkara yang merupakan keistimewaan Ilahiyyah, maka akan merusak keikhlasan ucapan Laa Ilaaha Illallaah; akan mengurangi nilai tauhidnya. Berarti ia telah menghamkan diri kepada makhluk menurut kadar kemusyrikan yang ada dalam hatinya.

Semua itu merupakan cabang-cabang kemusyrikan. Oleh sebab itu pula banyak sekali perbuatan maksiat yang disebut kekufuran dan kemusyrikan. Khususnya maksiat yang bersumber dari ketaatan kepada selain Allah, atau takut kepada selain Allah, mengharap kepada selain-Nya, tawakkal kepada selain-Nya dan beramal karena selain-Nya. Seperti halnya beberapa perkara yang disebut syirik; misalnya riya', bersumpah dengan menyebut selain Allah, bertawakkal kepada selain Allah, bersandar kepada selain-Nya, menyamakan kehendak Allah dengan kehendak makhluk; misalnya mengatakan: 'Atas kehendak Allah dan kehendak Fulan.' Demikian pula ucapan: 'Bagiku hanyalah Allah dan dirimu.'

Demikian pula beberapa hal yang merusak tauhid dan merusak pengesaan Allah dalam hal memberi manfaat dan mudharat, contohnya thiyarah (ramalan nasib/anggapan sial karena melihat burung, binatang lain atau apa saja.-pent.), ruqyah yang terlarang, mendatangi dukun dan membenarkan ucapannya.

Demikian pula mengikuti hawa nafsu dalam mengerjakan perkara yang dilarang Allah. Semua itu dapat menodai kesempurnaan tauhid."

Karena itulah, syari'at acapkali menyebut kufur dan syirik atas kebanyakan perbuatan dosa yang dipicu hawa nafsu. Misalnya membunuh seorang Muslim, menggauli wanita haidh atau bersetubuhi wanita dari duburnya, meminum khamr berulang kali sampai empat kali. Meskipun semua itu tidaklah mengeluarkannya dari dienul Islam. Oleh karena itu, ulama Salaf berkata: "Perbuatan tersebut adalah kufrun duuna kufrin (kufur ashgar) atau syirkun duuna syirkin (syirik ashgar)."

2.     Setiap Muslim seharusnya menghindari ucapan-ucapan yang mengandung syirik.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam kitab Zaadul Ma'aad (II/353–354): "Termasuk perkara syirik yang dilarang adalah perkataan sebagian orang yang tidak menjauhi kata-kata yang bermuatan syirik, misalnya perkataan: 'Atas pertolongan Allah dan pertolonganmu, dengan perlindungan Allah dan perlindunganmu, tiada bagiku kecuali Allah dan dirimu, aku tawakkal kepada Allah dan kepadamu, ini adalah pemberian Allah dan pemberianmu, Allah adalah pelindungku di langit dan engkau adalah pelindungku di bumi, demi Allah dan demi hidupmu,' dan perkataan-perkataan sejenisnya yang menempatkan makhluk sebagai tandingan bagi Allah. Perkataan-perkataan tersebut lebih dilarang dan lebih keji daripada perkataan: 'Atas kehendak Allah dan kehendakmu.'"

Adapun bila ia mengatakan: "Atas pertolongan Allah kemudian atas pertolonganmu, atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu," maka tidaklah mengapa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang kisah tiga orang Bani Israil: "Tidak ada penolong bagiku pada hari ini kecuali Allah, kemudian engkau."

Dan sebagaimana disebutkan dalam hadits terdahulu tentang bolehnya ucapan: "Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak Fulan."

Guru kami, Syaikh al-Albani berkata dalam Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (I/266–267): "Dalam sejumlah hadits disebutkan bahwa ucapan: 'Atas kehendak Allah dan kehendakmu' dalam pandangan syari'at termasuk syirik. Yakni termasuk syirik lafzhi. Sebab, mengesankan penyamaan kehendak hamba dengan kehendak Rabb Ta'ala, karena perkataan tersebut menyertakan dua kehendak tersebut (mensejajarkan. Contoh lainnya adalah perkataan sebagian orang awam yang mengaku berilmu: "Bagiku hanyalah Allah dan dirimu, kami bertawakkal kepada Allah dan kepada engkau." Contoh lainnya perkataan sejumlah penceramah: "Dengan nama Allah dan nama tanah air, dengan nama Allah dan nama bangsa," dan kalimat-kalimat bermuatan syirik sejenisnya yang wajib dijauhi dan bertaubat darinya, demi menjaga etika terhadap Allah Tabaaraka wa Ta'ala.

Adab yang mulia ini banyak dilalaikan oleh kebanyakan orang-orang awam dan tidak sedikit dari kalangan terpelajar yang membolehkan perkataan-perkataan bermuatan syirik seperti ini. Seperti seruan mereka kepada selain Allah pada saat kesulitan, menyebut-nyebut orang-orang shalih yang sudah mati, bersumpah dengan menyebut nama mereka bukan dengan menyebut nama Allah, bersumpah dengan menyebut nama mereka dalam meminta kepada Allah dan lain sebagainya.

Jika seorang alim tentang Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya mengingkari perkataan itu, mereka bukan membantu mengingkari kemungkaran, namun justru mengingkari pengingkaran itu. Kata mereka: "Orang-orang yang menyeru selain Allah itu niatnya baik. Sedangkan amalan itu bergantung kepada niatnya."

Apakah mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu demi memuaskan orang awan- bahwa niat yang baik itu -kalaulah niat mereka benar-benar baik tidaklah menjadikan amal yang buruk menjadi baik! Makna hadits tersebut adalah, Amal yang shalih bergantung kepada niat yang ikhlas.

Jadi, maksudnya bukanlah amal-amal yang bertentangan dengan syari'at menjadi amal yang baik dan disyari'atkan karena niatnya baik. Tidak ada yang mengatakan seperti itu kecuali orang jahil atau punya maksud jahat. Coba perhatikan orang yang shalat menghadap kubur, bukankah itu merupakan perbuatan mungkar? Perbuatan yang menyelisihi hadits-hadits dan atsar-atsar yang melarang shalat menghadap kubur. Lalu, adakah orang yang waras akalnya mengatakan: "Orang yang shalat menghadap kubur -setelah mengetahui larangan syari'at terhadap perbuatan tersebut niatnya baik dan amalnya disyari'atkan? Tidak, sekali-kali tidak!"

Demikian pula orang-orang yang beristighatsah kepada selain Allah, mereka melupakan Allah di saat-saat mereka sebenarnya sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan-Nya. Tidak bisa dikatakan niat mereka baik, apalagi dikatakan amal mereka itu shalih. Sementara mereka sendiri terus mempertahankan perbuatan munkar tersebut dan mereka mengetahuinya.

3.    Hikmah pelanggaran itu adalah perkataan: 'Atas kehendak Allah dan kehendakmu' merupakan bentuk penyamaan antara kehendak Allah dan kehendak makhluk. Karena huruf athaf wa (dan) fungsinya untuk menggabungkan dua kata atau kalimat secara mutlak dan musyrakah (kebersamaan) dalam hukum.

Ada sebuah hadits yang mendukung hal ini, diriwayatkan dari 'Adi bin Hatim bahwa seorang lelaki berkhutbah di hadapan Rasulullah saw dan berkata: "Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barangsiapa mendurhakai keduanya, maka ia telah tersesat." Rasulullah bersabda:

"Engkaulah sejelek-jelek khatib! Katakanlah: 'Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.'"[5]

Penggabungan seperti ini berarti penyamaan.

Yang dibenarkan adalah menyertakan kehendak makhluk dengan kehendak Rabb Ta'ala dengan menggunakan huruf athaf tsumma (kemudian) yang bermakna adanya urutan dengan selang waktu. Itulah cara yang benar, karena sudah barang tentu kehendak Allah mendahului kehendak makhluk. Kehendak makhluk merupakan akibat dari kehendak Allah. Tidak akan ada yang terjadi kecuali atas kehendak Allah semata. Apa saja yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa saja yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi, berdasarkan firman Allah swt:

"Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah." (QS. Al-Insaan (76): 30).

Dan firman-Nya:

"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam."(QS. At-Takwir (81): 29).

Rasulullah saw telah membawakan sebuah perumpamaan yang sangat indah dalam sebuah hadits yang panjang tentang kisah seorang aqra', abrash dan a'maa yang diuji oleh Allah atas mereka.

Abu Hurairah ra meriwayatkan, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:

"Bahwasanya ada tiga orang lelaki dari kalangan Bani Israil, seorang ditimpa penyakit belang, seorang lagi botak karena penyakit pada kepalanya dan seorang lagi buta. Maka Allah berkehendak untuk menguji ketiganya dengan mengutus kepada mereka seorang Malaikat. Malaikat tersebut mendatangi orang yang berpenyakit belang (bule) dan bertanya kepadanya: 'Apa yang paling engkau sukai?' orang itu menjawab: 'Warna yang elok serta kulit yang baik dan sembuh dari penyakit kotor yang menyebabkan manusia memandang jijik kepadaku (yakni penyakit belang).' Maka Malaikat tersebut mengusap tubuhnya lalu hilanglah penyakitnya dan warna kulitnya berubah elok. Malaikat bertanya lagi: 'Harta apakah yang paling engkau sukai?' Dia menjawab: 'Unta atau lembu!' –perawi ragu, apakah orang berpenyakit kusta atau orang yang botak yang menjawab unta, namun yang jelas salah seorang dari mereka menjawab lembu-. Maka dia diberi unta bunting. Orang itu mendo'akan semoga Allah memberkati perbuatannya itu. Kemudian Malaikat tersebut datang menemui orang yang botak karena penyakit pada kepalanya, lalu bertanya: 'Apa yang paling engkau sukai?' Dia menjawab: 'Rambut yang elok dan sembuh dari penyakit yang menyebabkan manusia memandangku jijik kepadaku.' Malaikat mengusap kepalanya, lalu hilanglah penyakit dan ia diberikan rambut yang elok. Malaikat bertanya lagi: 'Harta apakah yang paling engkau sukai?' Dia menjawab: 'Lembu!' Maka dia diberikan seekor lembu yang sedang bunting. Dia mendo'akan semoga Allah memberkati perbuatannya itu. Kemudian Malaikat tersebut datang menemui seorang yang buta, lalu bertanya: 'Apakah yang paling engkau sukai?' Dia menjawab: 'Aku ingin Allah mengembalikan penglihatanku, semoga aku dapat melihat manusia.' Malaikat mengusap matanya, maka Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi: 'Harta apakah yang amat engkau sukai?' Dia menjawab: 'Kambing biri-biri!' Maka dia diberikan seekor biri-biri yang hampir melahirkan anak. Tak berapa kemudian kedua-duanya (lelaki berpenyakit belang dan yang botak) mengurus kelahiran unta dan lembu mereka, begitu juga halnya dengan lelaki buta, kambing biri-birinya telah melahirkan anak. Beberapa masa setelah itu, lelaki yang berpenyakit belang telah memiliki satu lembah yang dipenuhi dengan unta, lelaki yang botak karena penyakit pada kepalanya telah memiliki satu lembahyang dipenuhi dengan lembu dan bagi lelaki yang buta telah memiliki satu lembah yang dipenuhi dengan kambing biri-biri. Kemudian Malikat tersebut mendatangi lelaki yang berpenyakit kusta dalam wujud lelaki yang berpenyakit kusta dan dia mengadu kepada lelaki tersebut: 'Aku seorang lelaki miskin yang telah kehabisan bekal perjalanan. Tidak ada tempatku mengadu pada hari ini selain kepada Allah, kemudian padamu. Demi Allah yang telah memberikan kepadamu warna serta kulit yang baik dan juga harta, aku mohon engkau sudi memberiku seekor unta yang dapat membantuku meneruskan perjalanan.' Maka lelaki itu menjawab: 'Aku tidak bisa memberimu karena hak-hak yang harus aku penuhi sangat banyak.' Malaikat berkata kepada lelaki itu: 'Rasanya aku pernah mengenalimu. Bukankah engkau yang dahulunya berpenyakit belang dan manusia memandang jijik kepadamu?' Bukankah engkau dahulu seorang yang fakir, lalu Allah mengaruniakan harta kepadamu?' lelaki itu menjawab: 'Aku memperoleh harta ini dari warisan orang tuaku.' Malaikat itu berkata: 'Sekiranya kamu berdusta, Allah akan mengembalikan keadaanmu seperti dahulu kala.' Kemudian Malaikat tersebut mendatangi pula orang yang botak dalam wujud lelaki yang botak dan bertanya kepadanya seperti dia bertanya kepada lelaki berpenyakit kusta, dan jawabannya pun sama seperti jawaban lelaki berpenyakit kusta tadi. Maka Malaikat berkata: 'Sekiranya kamu berdusta niscaya Allah mengembalikan keadaanmu seperti sedia kala.' Kemudian Malaikat itu pun mendatangi lelaki yang buta dalam wujud seorang yang buta, lalu mengadu: 'Aku seorang lelaki pengembara ibnus sabil yang miskin. Aku telah kehabisan bekal perjalanan. Tidak ada tempatku mengadu pada hari ini selain kepada Allah, kemudian kepadamu. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatanmu, aku meminta seekor kambing biri-biri yang dapat membantuku meneruskan perjalanan.' Lelaki itu berkata: 'Aku sebelum ini adalah seorang yang buta, Allah telah mengembalikan penglihatanku. Aku dahulu miskin, lalu Allah memberiku kecukupan. Oleh karena itu ambillah apa yang engkau mau. Demi Allah, aku tidak akan mengungkit kembali pemberianku yang telah engkau ambil karena Allah.' Malaikat berkata: 'Jagalah hartamu! Sesungguhnya kamu semua telah diuji oleh Allah. Allah telah meridhaimu dan murka kepada dua orang temanmu itu.'"[6]

Imam al-Bukhari berdalil dengan sabda Rasulullah saw: "Tidak ada tempatku mengadu pada hari ini selain kepada Allah kemudian kepadamu," untuk sebuah bab dalam kitab al-Aimaan wan Nudzuur dan Shahihnya, yakni bab "Tidak boleh mengatakan: 'Atas kehendak Allah dan kehendakmu.' Dan boleh mengatakan: 'Tiada penolong bagiku kecuali Allah kemudian dirimu?'"

Kemudian beliau membawakan hadits ini secara ringkas berkenaan dengan sabda Nabi saw diatas.

4.    Hadits-hadits yang tercantum dalam bab di atas tidaklah bertentangan dengan firman Allah swt:

"Dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka." (QS. At-Taubah (9): 74).

Dan firman Allah swt:

"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus isterimu.'" (QS. Al-Ahzaab (33): 37).

Juga firman-Nya:

"Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu" (QS. Luqman (31): 14).

Dalam ayat pertama, Allah swt menjelaskan bahwa Dia telah melimpahkan karunia kepada mereka, dan Rasulullah saw juga telah melimpahkan karunia kepada mereka. Karunia itu pada hakikatnya dari Rasulullah, karena melalui beliaulah karunia itu dilimpahkan.

Dalam ayat kedua, Allah menjelaskan bahwa Dia telah mengaruniai nikmat kepada Zaid, yaitu Islam. Dan Rasulullah juga telah mengaruniainya nikmat, yaitu pembebasan dari perbudakan.

Dalam ayat ketiga, Allah menjelaskan wajibnya bersyukur kepada-Nya yang telah menciptakanmu dan bersyukur kepada kedua orang tua karena keduanya merupakan sebab kehadiranmu di dunia.

Semua itu tentu tidak termasuk kehendak. Kehendak itu hanyalah milik Allah semata. Kehendak makhluk hanyalah terjadi setelah kehendak Allah, tidak akan mendahului dan tidak akan menyertainya. Coba perhatikan dengan benar masalah ini.

5.    Hadits-hadits pada bab ini merupakan hujjah yang sangat kuat terhadap kebathilan 'aqidah kaum Jabariyyah yang menafikan kehendak hamba dan mengklaim bahwa hamba tidak punya pilihan apa-apa, dirinya ibarat bulu yang  selalu mengikut ke mana angin menghembus. Perincian masalah ini dapa pembaca temui dalam buku-buku 'aqidah.

[1] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi (430) dan melalui jalurnya, Abu Dawud meriwayatkannya dalam Sunannya (4980), an-Nasa-I dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (985), Ahmad (V/384, 394 dan 398), ath-Athahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar (236, Ibnu Abid Dun-ya dalam as-Shumt (341), al-Baihaqi dalam al-Kubra (III/217), dalam al-I'tiqaad (halaman 83) dan al-Asmaa' wash Shifaat (halaman 144) serta yang lainnya dari Jalur 'Abdullah bin Yasar dari Hudzaifah.

Saya katakan: "Sanadnya shalih, perawinya tsiqah dan dipakai oleh al-Bukhari dan Muslim selain 'Abdullah bin Yasar, nama lengkapnya 'Abdullah bin Yasar al-Juhani al-Kufi, seorang perawi tsiqah. Hadits ini telah dishahihkan oleh an-Nawawi. Dalam kitab al-Muhadzdzah (III/190), Imam adz-Dzahabi berkata: "Sanadnya bagus."

[2] Hadits hasan, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (783), an-Nasa-I dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (988), Ibnu Majah (217), Ahmad (I/214, 224, 283 dan 347), ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar (235), al-Baihaqi (III/217), al-Khatib al-Baghdadi dalam Taariikh Baghdad (VIII/105), Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliyaa' (IV/99) dan selain mereka dari jalur al-Ajlah dari Yazid bin al-Asham dari beliau.

Saya katakan: " Sanadnya hasan, sebab al-Ajlah, yang nama lengkapnya adalah al-Ajlah bin 'Abdillah Abu Hajiyyah al-Kindi merupakan perawi shaduq. Perawi-perawi selainnya adalah perawi tsiqah.

[3] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/72), jalur Hammad bin Salamah, dari 'Abdul Malik bin 'Umair, dari Rib'i bin Hirasy, dari ath-Thufail.

Diriwayatkan juga oleh ad-Darimi (II/295) dari jalur Syu'bah, dari 'Abdul Malik bin 'Umair, dari Rib'i bin Hirasy, dari ath-Thufail.

Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (II/2118) dari jalur Abu 'Awanah, dari 'Abdul Malik, dari Rib'i bin Hirasy, dari ath-Thufail.

Sufyan bin 'Uyainah menyelisihi riwayat mereka, ia meriwayatkannya dari 'Abdul Malik, Rib'i bin Hirasy, Hudzaifah ra. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2118) dan Ahmad (V/393–394).

Ma'mar meriwayatkan pula dari 'Abdul Malik bin 'Umair, dari Jabir bin Samurah a. diriwayatkan oleh ath-Thahawi (237) dan Ibnu Hibban (5725).

Para perawi berbeda dalam meriwayatkannya dari 'Abdul Malik bin 'Umair, akan tetapi tiga orang perawi tsiqah-yakni Hammad, Syu'bah dan Abu 'Awanah-sepakat meriwayatkannya ath-Thufail, dan itulah yang shahih, wallahu a'lam.

Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (XI/540) setelah menyebutkan perbedaan perawi dalam riwayat 'Abdul Malik, ia berkata: "Itulah yang dipilih oleh para Huffazh, mereka mengatakan bahwa Sufyan bin 'Uyainah keliru dalam meriwayatkannya dari Hudzaifah, wallahu a'lam. "

Saya katakan: "Dengan demikian, hadits ath-Thufail ini merupakan penguat hadits Hudzaifah ra."

[4] Kami telah menyebutkan takhrij hadits ini pada bab sebelumnya.

[5] HR. Muslim (870).

[6] HR. Al-Bukhari (3464) dan Muslim (2964).


0 komentar

Posting Komentar