IBRAHIM BIN ADHAM

Diposting oleh Ahsanul Huda

Dia adalah raja di Balkh satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, menggantikan ayahnya yang baru mangkat.

Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham juga bergelimang kemewahan. Setiap kali keluar istana ia selalu di kawal 80 orang pengawal.

Ketika hatinya merasakan kedekatan dengan sang ilahi semakin memudar, istananya yang megah ia tinggalkan dan tanpa seorang pengawal ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.

Pernah satu ketika, Ibrahim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat luas.

Suatu hari, pemilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrahim melakukannya, tapi pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya asam. “Apa kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam,” tegumya. “Aku belum pernah merasakannya, Tuan,” jawab Ibrahim. Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ahirnya dia dipecat dari pekerjaanya kemudian pergi.

Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrahim meminta agar gajinya dipotong karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. “Apa engkau tidak mencuri selain itu?” tanya pemilik kebun. “Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu,” tegas Ibrahim.

Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat pekerja baru. Dia kembali meminta dipetikkan buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling manis. Pemilik kebun bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu. “Betapa dustanya dia,” kata pemilik kebun.

Tukang kebun yang baru lantas berujar, “Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan istananya karena zuhud.” Pemilik kebun pun menyesali tindakannya, “Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.”

Dari kisah di atas bisa kita ambil pelajaran bahwa tidak semua kekuasaan dan kegelimangan harta selalu membawa pemiliknya kepada ketaqwaan kepada Allah bahkan sebaliknya. Hal inilah yang membuat Ibrahim bin Adhm meninggalkan kekuasaan dan hartanya demi menyambut ridha-Nya.

Perancis dan Inggris desak pendukung Gaddafi turunkan sang diktator

Diposting oleh Ahsanul Huda

LONDON (Arrahmah.com) - Perancis dan Inggris, dua negara yang membesarkan sang diktator Libya Muammar Gaddafi selama lebih dari empat dekade, pada Senin (28/3/2011) mendesak agar para pendukung Gaddafi menjatuhkannya "sebelum semuanya terlambat" dan meminta seluruh rakyat Libya menentangnya.

"Gaddafi harus segera hengkang," tukas presiden Perancis Nicholas Sarkozy dan perdana menteri Inggris David Cameron, dalam deklarasi bersama yang dilaksanakan kemarin (28/3).

KEUTAMAAN SHADAQAH

Diposting oleh Ahsanul Huda

     Secara harfiyah, shadaqah berasal dari kata shadaqa yang artinya benar. Shadaqah adalah pemberian atau perlakukan baik dari seorang muslim kepada orang lain secara sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlahnya sebagai bentuk kebajikan dalam rangka mengharap ridha Allah Swt. Dari penjelasan ini, dapat kita pahami bahwa shadaqah sebagai bukti kebenaran iman dalam berbagai bentuk perbuatan baik, hal ini karena iman harus selalu dibuktikan dengan amal shaleh atau amal yang baik sehingga setiap kebaikan yang dilakukan seorang muslim adalah shadaqah, Rasulullah Saw bersabda:

كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
“Tiap perbuatan baik adalah Shadaqah” (HR. Baihaqi)

Keajaiban Allah; Sapi Berkepala Dua

Diposting oleh Ahsanul Huda

Warga Desa Bergolo, Kecamatan Ngawen, Blora, Jawa Tengah, digegerkan dengan kelahiran sapi berkepala dua.

Kejadian langka pada Senin, 19 April itu langsung merebak dari mulut ke mulut hingga luar kawasan Blora. Warga pun terus berbondong-bondong datang untuk melihat dan mengabadikan gambar anak sapi.

Kediaman Heru di Desa Bergolo pada Senin petang terlihat tidak seperti biasanya. Ratusan orang tampak berbondong-bondong menuju rumah yang berdinding kayu tersebut untuk melihat sapi berkepala dua yang baru saja dilahirkan sang induk di belakang rumah Heru.

Sepintas tidak ada yang perbedaan yang menonjol jika melihat pedet atau anak sapi berkulit coklat ini dari belakang. Namun setelah dilihat dari depan dan samping ternyata anak sapi milik heru yang lahir pada Senin sore ini mempunyai dua kepala yang saling berdampingan.

Selain berkepala dua, organ tubuh lainnya juga serba dua pasang. Di antaranya, mata, mulut, serta hidung. Hanya kuping si sapi yang satu pasang normal.

Heru, pemilik sapi, mengatakan tidak mendapatkan firasat apa-apa sebelum anak sapinya akan berkepala dua. Dia mengaku tidak berniat menjual anak sapi yang tergolong aneh tersebut.

Pantauan di lapangan, sesekali anak sapi milik Heru tersebut tampak gelisah. Terutama jika dipegang warga yang hendak mengelus tubuhnya, mengingat sapi berjenis kelamin betina tersebut hingga kini belum kuat mengangkat kepalanya.

Oleh sang pemilik, sementara anak sapi diletakkan di dalam rumah untuk dipertontonkan kepada warga yang datang. (Ranin Agung/RCTI/ful)

Keajaiban Allah; Sapi Berkaki Tujuh

Diposting oleh Ahsanul Huda

Rumah Kediaman Marno, warga Desa Mansahan Kecamatan Moilong Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah, hingga saat ini tak henti-hentinya ramai dikunjungi warga.
Pasalnya, dikediamannya yang berada di areal transmigrasi itu terdapat seekor anak sapi berusia 10 bulan yang kakinya berjumlah tujuh. Empat kakinya berada diposisi biasa, sedangkan tiga lainnya menempel dibagian pinggul sebelah kiri.

Tak hanya warga setempat, pengunjung yang datang dari luar desa bahkan luar daerah pun turut serta datang menyaksikan langsung sapi milik Marno yang memiliki kaki tergolong langkah itu.

Menurut penuturan Saimin, warga setempat yang mengatakan beberapa waktu yang lalu, ada salah satu pengunjung yang berminat membeli sapi tersebut dengan harga Rp 10 juta. Tapi pemiliknya (Marno, red) tidak bersedia menjualnya dengan harga berapapun. Karena menurutnya sapi tersebut tergolong unik dan satu-satunya dikampung ini. “Siapa tahu bisa membawa rezeki,” katanya, Kamis (24/6) via telepon.

Saimin menambahkan, asal muasal kelahiran sapi berjenis kelamin jantan tersebut tergolong biasa dan normal. Tidak ada tanda-tanda khusus dari induk sapi tersebut saat mengandung. Induknya pun tidak memiliki ciri-ciri seperti anak yang dilahirkannya.

“Melahirkan seperti induk sapi biasa, kita kaget setelah anak yang dilahirkannya memiliki kaki lebih dari empat,” Jelas Saimin. Hingga saat ini kondisi sapi tetap normal sebagaimana sapi-sapi lainnya, bahkan di usia 10 bulan tersebut dia terlihat gemuk. Diapun jinak, hingga orang-orang dewasa maupun anak-anak kecil bebas memegang atau mengelusnya.

Dari beberapa pendapat warga setempat maupun pengunjung dari luar desa itu, banyak yang beranggapan jika induk sapi tersebut akan melahirkan sapi kembar, namun kembarannya hanya sebatas berbentuk sebagai kaki saja. [tempointeraktif]

Dakwah dan Jihad dalam Perjuangan Thoifah Manshura

Diposting oleh Ahsanul Huda

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman pergi berperang  semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya (berdakwah) apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka berhati-hati.”  (At Taubah 122)
 
 Demikianlah bunyi firman Allah, surat At-Taubah ayat 122. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa kewajiban berjihad adalah suatu hal yang maklum bagi umat ini. Pada saat yang sama, Ia juga memperingatkan agar umat ini tetap menyediakan sebagian putra-putranya untuk memperdalam ilmu agama.

 Semua itu bertujuan demi menjaga agar pasukan Islam tetap berada di atas manhaj ilahiah, agar jihad yang dilakukan tetap fi sabilillah dan supaya buah manfaat jihad yang dilakukan dapat dinikmati secara sempurna oleh umat ini

Syaikh Abu Qotadah Al Filisthini – semoga Allah membebaskan beliau dari penjara thoghut Inggris- menjelaskan, Dalam ayat ini, Allah Ta’ala  membagi orang-orang beriman menjadi dua golongan : Mujahid dan Mujtahid, dan tidak ada lagi yang lebih baik dari mereka.Karena itu, seorang Mujahid seharusnya adalah juga Mujtahid demikian juga seorang Mujtahid mestilah Mujahid. Karena kata “Jihad” dan “Ijtihad” menurut pengertian bahasa, berasal dari kata الجَهد  yang berarti ( التعب و المشقّة) atau kepayahan dan kesulitan atau dari kata الجُهد yang berarti (الوسع و الطاقة) atau daya kemampuan dan kekuatan.

            Lebih tegas lagi Asy Syahid –Insya Allah- Sayyid Quthb menjelaskan, “Islam hanya dapat dipahami secara benar dalam kancah perjuangan dan jihad. Terlebih lagi pada saat jihad sudah menjadi fardhu ‘ain, maka Dien ini tidak bisa dipahami hanya berdasarkan penjelasan dari seorang ahli ilmu syari’ah (faqih) yang hanya duduk di belakang meja dikelilingi kitab dan makalah tanpa merasakan langsung kecamuk jihad fi sabilillah…. “
            Jelaslah bagi kita bahwa jihad tidak bisa dipisahkan dengan ijtihad, ataupun sebaliknya. Sedang kita pun tahu, dakwah di era modern seperti sekarang ini  mutlak memerlukan kemampuan seorang da’i untuk berijtihad menghadapi berbagai fenomena perkembangan sains, teknologi, peradaban dan pemikiran manusia yang amat sangat pesat.

            Mengharapkan metode dakwah yang jauh dari kecamuk pertarungan antara al-haq dan bathil, adalah sebuah kemustahilan.. Apalagi jika kita memahami sifat perseteruan antara al-haq dan al-bathil sebagaimana Firman Allah,  Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap” (Al-Anbiya’: 18)
Syaikh Abu Qotadah juga menuturkan bahwa Al Haq (kebenaran) harus ditampakkan dan dibenturkan dengan kebatilan. Karena seperti itulah sifat aslinya, dan ia tidak mungkin berubah dari sifat itu karena Allah telah menciptakan unsur kekuatan itu dalam dirinya”. [3]

Membenturkan sesuatu jelas membutuhkan kekuatan, apalagi membenturkan Al-Haq untuk melenyapkan kebathilan. Tentu tidak hanya dibutuhkan kekuatan semata. Lebih dari itu, dibutuhkan kesabaran, konsistensi, tsabat (keteguhan), strategi dan pengorganisasian yang rapi dan berbagai perangkat lainnya.

Hikmah dan Nasehat dalam dakwah

Dalam menafsirkan ayat 125 surah An Nahl yang artinya,  Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik…”, Sayyid Quthb menjelaskan “Inilah manhaj dan pedoman dalam berdakwah, selama itu masih berkisar dalam lingkup dakwah yang bersifat lisan, maka yang digunakan adalah hujjah (argumen yang kuat) dan nasehat yang baik.

Akan tetapi jika terjadi penentangan bahkan permusuhan terhadap para da’i dan penyeru syari’ah Allah, maka kondisinya menjadi berubah. Penentangan dan permusuhan adalah tindakan fisik yang harus dihadapi dengan tindakan yang setara sebagai bentuk penghormatan dan pembelaan terhadap al haq serta untuk menjaga agar jangan sampai kebathilan mengalahkan al-haq.

Karena Islam adalah Dien yang lurus dan menjunjung tinggi keadilan dan Islam mewajibkan pemeluknya untuk membelanya dari segala bentuk tindakan yang melampaui batas. Sebagaimana firman Allah :[4] “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”.
Dari sini dapat kita pahami bahwa hikmah dan nasihat yang baik hanyalah salah satu metode dan tahapan dalam berdakwah. Namun pada akhirnya tetap saja musuh-musuh Allah akan menggunakan segala cara untuk memadamkan cahaya Islam. Inilah salah satu arti penting jihad yaitu sebagai penjaga keberlangsungan dakwah.

Dakwah Thaifah Manshurah

Imam Nasa’i meriwayatkan dari Salamah bin Nufail Al Kindy radhiyallahu 'anhu dengan sanad shahih, beliau berkata: “Saat aku duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba-tiba seseorang berteriak “Orang-orang telah menambatkan kuda dan peralatan perang mereka, seraya berseru “Sekarang tidak ada lagi jihad, perang telah usai!” serta merta Rasulullah menolehkan wajahnya dan berseru “Mereka bohong!”. Saat ini juga jihad dimulai, dan senantiasa akan ada sebagian dari umatku yang berperang menegakkan al-haq, lalu Allah menjadikan hati orang-orang bersimpati pada mereka sehingga Allah jadikan rizki mereka melalui perantaraan orang-orang itu hingga hari kiamat tiba dan hingga janji Allah terwujud (kemenangan Islam atas kaum kafir)”

Ini hanyalah salah satu dari puluhan hadits tentang Thaifah Manshuroh yang karena saking banyaknya riwayat sehingga Syaikh Salman Audah dalam buku Silsilatul Ghuroba’ menyatakan bahwa hadits tentang Thoifah Manshuroh telah mencapai derajat Mutawatir.

Dari sekian banyak hadits tersebut, tidak ada satupun hadits yang tidak menyebut jihad sebagai salah satu sifat dan ciri utama Thaifah Manshuroh. Bahkan dalam hadits di atas diterangkan bahwa rizki untuk mereka pun diperoleh karena mereka berjihad. 

Allah mencukupi kebutuhan mereka, menghapus gundah gulana dan kecemasan mereka, serta berbagai macam problematika kehidupan karena kecintaan mereka kepada jihad fi sabilillah. Sehingga jihad adalah ruh dan jasad mereka, jihad adalah jiwa dan nyawa mereka. Karena sesungguhnya tanpa adanya ruh jihad dalam diri seseorang, sejatinya ia telah mati sebelum nyawanya dicabut oleh Sang Khaliq. 

Adalah mustahil jika kita ingin dimasukkan dalam Thoifah Manshuroh, tetapi kemudian memilih metode dan manhaj dakwah yang tidak “nyerempet-nyerempet” dengan jihad, hanya karena kita takut disebut teroris. 

Dakwah dan jihad adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Memisahkan dakwah dari jihad sama dengan memisahkan jasad dari ruhnya. Dakwah akan mati dan jihad pun akan musnah. Tidak berlebihan rasanya jika kemudian Abu Qotadah menyimpulkan bahwa Thoifah Manshuroh adalah Thaifah Ilmu dan Jihad…Thaifah Jihad dan Ijtihad. 

Lalu di manakah posisi kita saat ini ? Mujahid kah atau Mujtahid kah?

Wallahu ‘a’lamu bishshawab.


[1]  Al Jihad wal Ijtihad hal 5 terbitan Darul Bayarik cetakan pertama tahun 1999M/1419H
[2]  Fi Dzilalil Qur’an hal 1735
[3]  Al Jihad wal Ijtihad hal 14  terbitan Darul Bayarik cetakan pertama tahun 1999M/1419H
[4]  An Nahl 126
[5]  Fi Dzilalil Qur’an 14/2202

LEBIH DALAM MENGENAL UST. ABU BAKAR BAASYIR

Diposting oleh Ahsanul Huda

Ust. Abu Bakar Ba’asyir lahir di desa Pekunden, kecamatan Mojoagung, kabupaten Jombang Jawa Timur, sebuah desa di pingiran kabupaten jombang Jawa Timur. Kelahirannya di Jombang disambut sayup-sayup senandung takbir yang terdengar di sudut-sudut desa yang didengungkan anak-anak melalui surau-surau tua di sekitar rumahnya. Senandung takbir perayaan peringatan keteladanan pengorbanan Bapak Tauhid, Ibrahim AS yang hendak menyembelih putranya.
Ia terlahir pada tanggal 12 Dzulhijjah 1359, dua hari setelah Hari Raya Idul Adha. Gemuruh takbir yang menggetarkan hati beriringan dengan gemuruh bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya untuk keluar dari penjajahan tentara kafir Belanda dalam suasana serba kekurangan dan keprihatinan. Tanggal kelahirannya bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1938. Raut muka syukur dan linangan air mata syukur kedua orang tuanya mengiringi kelahiran sosok Abu Bakar Ba’syir yang diharapkan meneladani pengorbanan Ibrahim dan semangat patriotisme seorang pejuang dalam mempertahankan prinsip kebenaran dan keislaman. Ia terlahir bersama tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan.


Orang tua Abu Bakar Ba’asyir bukanlah seorang yang kaya raya selayaknya kebanyakan warga masyarakat keturunan Arab lainnya. Namun, kecintaan terhadap Islam dan ketundukan orang tuanya pada Allahlah yang menjadikan Abu bakar kecil ini mampu bertahan. Darah keturunan Hadramaut Yaman mengalir deras dalam dirinya. Ayahnya bernama Abud bin Ahmad dari keluarga Bamu'alim Ba'asyir yang membuat Abu Bakar menyandang marga Ba’asyir di belakang nama aslinya. Kenangan indah bersama sang ayah tak banyak ia rasakan dan ia nikmati. Saat usia tujuh tahun, ayahnya harus meninggalkan tawa riang Abu Bakar kecil menuju keharibaan Ilahi. Ayahnya meninggal dunia. Ia menjadi yatim di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang masih kacau meskipun telah memperoleh kemerdekaannya.
 
Di tengah carut marutnya kehidupan bangsa Indonesia, ibunya yang masih buta huruf latin aksara Indonesia mengasuh sendiri Abu Bakar kecil. Ibunya bernama Halimah yang lahir di Indonesia walaupun masih juga berketurunan Yaman dari keluarga Bazargan. Demi melanjutkan amanat agama dan suaminya, sang Bunda terus menanamkan nilai-nilai keislaman demi kebahagiaan sang putra kelak. Ibundanya yang pandai membaca al Quran dan seorang muslimah taat beragama selalu mendampingi pendidikan agama sang anak di rumah meskipun Abu Bakar kecil juga tak pernah absen menghadiri pendidikan agama di mushala kampung tempat tinggalnya.
 
Tak ingin membiarkan anaknya tertinggal dalam kebodohan, orang tuanya memasukkan Abu Bakar kecil untuk menempuh pendidikan pertamanya di sebuah Madrasah Ibtida’iyah (Sekolah Islam setingkat SD). Namun, dikarenakan situasi konflik revolusi bangsa Indonesia melawan Belanda pada saat itu, sekolahnya harus tertunda dan mengalami jeda. Baru kemudian setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia dipindahkan ke Sekolah Rakyat (Sekolah umum sederajat SD saat ini). Selama menjadi siswa di madrasah, Abu Bakar kecil sempat ikut kegiatan gerakan Kepanduan Islam Indonesia (pada masa orde lama yang kemudian difusikan dalam Gerakan Pramuka). Untuk menutup kekurangan sang anak dalam ilmu agama, setiap malamnya, Abu Bakar kecil belajar mengaji dan ilmu agama di musholla desa tempat tinggalnya. Selain kegiatannya di musholla, sang bunda masih terus mendampingi langsung pendidikan Abu Bakar kecil di rumah.
 
Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR), pendidikannya berlanjut ke jenjang sekolah menengah. Ia bersekolah di sebuah SMP Negeri di kota Jombang yang berjarak 13 km dari rumah tempat tinggalnya. Setiap hari, perjalanan sejauh minimal 26 Km ia tempuh dengan sepeda. Semasa SMP ini, Abu Bakar aktif mengikuti kegiatan berorganisasi dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) ranting Mojoagung disamping masih menjadi anggota Gerakan Pramuka.
 
Menginjak masa remaja setelah merampungkan sekolah di SMP, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Saat itu, ia masuk SMA Negeri Surabaya. Kondisi perekonomian Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan merata di seluruh lapisan masyarakat membuat pendidikannya di SMA hanya mampu bertahan selama 1 tahun. Kegiatan berorganisasinya pun juga terpaksa harus terhenti. Selanjutnya, ia memutuskan hijrah ke Solo untuk membantu kakaknya yang sedang mengembangkan sebuah perusahaan sarung tenun di Kota Solo.
 
Hingga pada tahun 1959 M, atas dorongan dan bantuan kedua kakaknya, Salim Ba'asyir dan Ahmad Ba'asyir, ia mendaftar sebagai santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor, sebuah Pondok Pesantren yang terbilang terbaik dan termaju di Indonesia. Atas berkat rahmat Allah SWT, ia berhasil menjadi santri di pondok pesantren tersebut. Di sini, keaktifan berorganisasinya kembali tersalurkan dalam wadah Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Gontor. Impiannya melanjutkan pendidikan yang sempat terhenti membuatnya serasa melihat pelita di tengah buta kegelapan malam.
 
Empat tahun menjadi santri pondok pesantren Darussalam Gontor, dengan rahmat Allah, ia berhasil lulus dari kelas Mualimin pada tahun 1963 M. Semangatnya untuk menempuh pendidikan masih membara di benaknya sehingga (masih atas bantuan kakaknya), ia melanjutkan studinya di Universitas Al Irsyad jurusan Dakwah di kota Solo selama kurang lebih tiga tahun.
 
Selama menjadi mahasiswa , ia aktif dalam beberapa organisasi pemuda. Ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Di HMI, dia pernah mendapatkan amanah sebagai ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) -sebuah lembaga semi otonom HMI- cabang Solo di masa Ir. Imaduddin sebagai Ketua Umumnya. Di organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Abu Bakar Ba’syir pernah mendapatkan amanat dakwah sebagai Ketua pada tahun 1961. Selain itu, di dalam organisasi Pemuda Al Irsyad, ia menjadi sekreatis cabang Solo.
 
Menginjak usia dewasa, panggilan hati untuk menikah mengarahkannya untuk menyunting seorang muslimah bernama Aisyah binti Abdurrahman Baraja'. Sejak saat itu, keberadaan sang istri selalu menyertai perjuangan dakwahnya. Kesetiaan sang istri tak hanya dibuktikan dengan kata mutiara dan hiasan pujian semata. Namun, keberadaan sang istri, Aisyah Baraja’, dalam perjuangan dakwah terwujud dalam tindakan nyata dan fakta. Dari rahim istrinya, keduanya memiliki tiga orang anak yang saat ini telah menikah dan masih hidup semuanya. Tiga anaknya terdiri atas 1 orang putri dan 2 orang putra. Mereka adalah Zulfah, Rosyid Ridho dan Abdul Rohim.
 
Perjalanan dakwahnya kemudian berlanjut dengan mendirikan radio dakwah yang di namai radio ABC (Al-Irsyad Broadcasting Center) di gedung Al Irsyad Solo yang hingga kini masih berdiri. Ikut aktif bersama beliau adalah Ustadz Abdullah Sungkar (rhm), Ustadz Abdullah Thufail (rhm),dan Ustadz Hasan Basri (rhm). Karena terjadi perselisihan faham dengan beberapa pengurus Al-Irsyad terkait acara radio tersebut, maka beliau keluar bersama beberapa pengurus radio ABC dan mendirikan Radio Dakwah Islamiah Surakarta (Radis) yang padat dengan muatan dakwah yang tegas dan menghindari lagu-lagu maksiat. Radis didirikan di komplek masjid Al Mukmin lama yang akhirnya ditutup oleh rezim orba karena dianggap menentang pemerintah.
 
Tak cukup hanya dakwah lewat frekuensi udara, beliau mendirikan madrasah diniyah (semacam lembaga non formal yang mengajarkan pendidikan agama Islam yang biasanya diselenggarakan pada sore hari) di komplek masjid Al Mukmin Gading Wetan (saat ini menjadi SMU Islam 1 Surakarta, bukan SMU Al-Islam 1 Surakarta). Pada mulanya, madrasah yang hanya masuk sore hari ini memberikan pendidikan Bahasa Arab dan materi syariat Islam. Selanjutnya, melalui madrasah diniyah inilah, cikal bakal Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki kemudian berdiri hingga sekarang.
 
Melihat pekembangan madrasah yang pesat dan didorong oleh amanah yang diamanatkan oleh KH. Zarkasyi (Pendiri Pondok Pesantren Darussalam Gontor), Abu Bakar Ba’asyir berinisiatif mengembangkan madrasah diniyah menjadi pondok pesantren yang saat itu bertempat di Gading Kidul-Surakarta menempati area yang sempit. Barulah setelah 2 tahun kemudian, Pondok Pesantren Al Mukmin dipindahkan ke tanah yang lebih luas di desa Ngruki yang dibeli dari salah seorang tokoh agama di solo. Desa Ngruki sendiri saat itu masih ”dikuasai” oleh kalangan komunis yang masih cukup kental. Bersama Ustadz alm. Abdullah Sungkar, Ustadz Alm. Hasan Basri, Alm. Abdullah Baraja' , Ustadz alm. Yoyok Raswadi, dan ustadz Abdul Qahar Haji Daeng Matase, ust. Abu Bakar Ba'asyir terus membangun dan mengembangkan pendidikan di pesantern Al-mukmin. Pendukung utama berdirinya pondok pesantren tersebut adalah anggota pengajian-pengajian yang diasuh oleh tokoh-tokoh pendiri, terutama anggota pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta. Alhamdulillah, hingga sampai saat ini kegiatan pengajian tersebut masih berjalan.
 
Sejak awal, ust. Abu Bakar Ba’asyir dan teman-temannya mempunyai karakter yang tak enggan menyampaikan kebenaran dimanapun dan apapun keadaan yang harus di hadapinya walaupun harus berhadapan dengan penguasa. Hal inilah yang kemudian membuat pemerintah menjadi gerah. Karena materi yang disampaikan dianggap menentang rezim saat itu, akhirnya Ust. Abdullah Sungkar, Ust. Hasan Basri, dan ust. Abu Bakar Ba’asyir sendiri dipenjara selama 4 tahun tanpa alasan yang jelas hingga akhirnya Ust. Abdullah Sungkar dan ust. Abu Bakar Ba'asyir kembali divonis hukuman 9 tahun penjara. Tidak terima dengan keputusan hakim, maka beliau berdua mengajukan banding, hingga diturunkan menjadi 4 tahun sesuai dengan masa tahanan yang sudah dijalani. Tak puas dengan hasilnya, jaksa agung mengajukan kasasi ke MA.
 
Dua orang ustadz ini seringkali disebut oleh sebagian kalangan sebagai dwi tunggal. Jika orang nasionalis punya Soekarno-Hatta, maka orang-orang pergerakan Islam memiliki Abdullah Sungkar-Abu Bakar Ba’asyir. Setelah bebas, sembari menunggu hasil kasasi, ust. Abu Bakar Ba'asyir bersama Ust. Abdullah Sungkar (rhm), tetap melanjutkan aktivitas pendidikan dan dakwah mereka sepertimana semula. Hal ini menjadikan rezim orba menekan MA untuk menaikkan masa hukuman menjadi 9 tahun agar menjadi alasan bagi penangkapan mereka kembali. Ketika panggilan dari pengadilan Sukoharjo untuk mendengarkan keputusan pengadilan datang, sang dwitunggal memahami benar maksud dan tujuan licik pemerintah. Maka setelah berkonsultasi dengan beberapa ulama, mereka berdua memutuskan untuk tidak menghadiri undangan pengadilan tersebut karena hal tersebut adalah dosa. Hingga tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali berhijrah atau tetap di rumah hingga ditangkap oleh polisi. Bagi keduanya, hal demikian adalah lebih mulia di sisi Allah SWT daripada datang menyerahkan diri kepada thaghut. Nampaknya pilihan hijrah-lah yang dipilih, karena jalan ini adalah yang paling baik dari kedua pilihan itu. Berkat pertolongan Allah melalui Pak Muhammad Natsir, mantan Ketua Umum Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, mereka berdua berhasil berhijrah ke Malaysia dan menetap di sana. Kemudian, keberadaan mereka disusul oleh keluarga yang kemudian juga turut menetap di sana selama 15 tahun. Selama masa hijrah, beliau tetap bekerja dan berdakwah seperti semula.
 
Tahun 1998, Allah SWT berkehandak meruntuhkan kekuasaan orde baru yang zalim. Kemudian, ust. Abu Bakar Ba’asyir memutuskan kembali ke Indonesia bersama Ust. Abdullah Sungkar pada tahun 1999. Namun tak berselang lama, tepatnya pada tahun 2000 M, Ustadz Abdullah Sungkar wafat. Kemudian, ust. Abu Bakar Ba'asyir memutuskan kembali ke ponpes Al Mukmin Ngruki meneruskan pendidikan dan dakwah untuk menegakkan cita-cita demi tegaknya syariat Islam di Indonesia. Dalam rangka mengembangkan dakwah, ust. Abu Bakar Ba'asyir mengikuti kongres umat Islam yang digagas oleh beberpa aktivis dakwah di Yogyakarta, dimana pada kongres tersebut, umat Islam sepakat membuat sebuah wadah untuk kaum muslimin bersatu demi menegakkan kalimah Allah di bumi Indonesia, hingga terbentuklah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Hasil kongres memutuskan Ust. Abu Bakar Ba'asyir diangkat menjadi Amir Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) MMI atau juga di sebut sebagai Amir MMI.
 
Tahun 2003, beliau ditangkap lagi oleh pemerintahan Megawati karena dituduh terlibat kegiatan terorisme yang membuatnya divonis 1,5 tahun walaupun tanpa bukti. Anehnya vonis itu di jatuhkan bukan karena keterlibatan dengan terorisme seperti yang selama ini di tuduhkan kepadanya. Arah tuduhan di persidangan berbelok dari urusan terorisme kepada tuduhan makar dan pemalsuan KTP, walau saksi-saksi di persidangan dari kalangan pejabat pemerintah daerah Sukoharjo sendiri menyatakan bahwa tidak ada kejanggalan apapun pada proses pembuatan KTP ust. Abu Bakar Ba’asyir.
 
Tahun 2004, setelah keluar dari pintu penjara salemba, beliau langsung dicegat oleh polisi untuk dijebloskan kembali ke penjara. Lagi-lagi karena tuduhan yang sama. Dia dianggap terlibat kasus bom hotel Marriot. Padahal, saat kejadian Bom Mariott berlangsung, beliau sendiri sedang mendekam di penjara Salemba sejak 1.5 th sebelumnya. Hingga pada saat pemerintahan SBY, ust. Abu Bakar Ba'asyir tetap harus tinggal di penjara hingga 30 bulan karena tekanan pihak asing hingga bulan Juni 2006. Baru Kemudian beliau merasakan kebebasan. Selanjutnya, aktivitas dakwahnya masih beliau lanjutkan dengan berkeliling ke seluruh Indonesia untuk mensosialisasikan penegakan Syariat Islam di Indonesia. Tak hanya kalangan ulama yang ia datangi, tak kurang dari pemukiman penduduk, perumahan, perkantoran, majelis-majelis taklim, masjid, mushola, pejabat, dan birokrat serta penjara ia datangi bersama beberapa aktivis Islam baik dari Majelis Mujahidin Indonesia maupun yang elemen Islam lainnya. Kesibukannya berdakwah selepas dari penjara hampir tidak menyisakan waktu di rumah untuk bercengkerama dengan keluarganya, anak-anak, serta cucunya selayaknya orang-orang tua yang telah menikmati masa pensiun, karena beliau tahu benar bahwa dunia dakwah tak memiliki masa pensiun.