LARANGAN KERAS TERHADAP RIYA’ DAN ANCAMAN BERAT TERHADAP PELAKUNYA.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisaa’ (4): 142).
Allah SWT berfirman:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Al-Maa’uun (107): 4-7).
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilang (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai suatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir itu.” (Al-Baqarah (2): 264).
Allah SWT berfirman:
“Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Dan barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu teman yang seburuk-buruknya.” (An-Nisaa’ (4): 38).
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung-kampung dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (Al-Anfaal (8): 47).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
‘Allah SWT berfirman: ‘Aku-lah Rabb yang tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan amalan, ia sekutukan Aku (Maksudnya, ia beramal karena riya’ dan sum’ah.) dengan yang lain dalam amalan itu, maka Aku tinggalkan ia dan amal syiriknya.’ (maksudnya, Aku hapus pahala amalnya dan aku haramkan ia dari pahalanya).” (HR Muslim)
Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid r.a, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
‘Perkara yang amat aku takutkan atas kalian adalah syirik ashghar, yaitu riya’. Allah berfirman pada hari Kiamat –tatkala membalas amal perbuatan manusia-: ‘Pergilah kepada orang-orang yang kalian beramal karena (ingin dilihat)nya di dunia. Silahkan lihat, apakah kalian mendapatkan pahala dari mereka?’’” (Shahih menurut syarat Muslim, diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/428,429) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah(4135).
Diriwayatkan dari Ya’la bin Syaddad bin Aus, dari ayahnya r.a, ia berkata: “Pada zaman Rasulullah saw, kami memandang bahwa riya’ sebagai syirik ashghar.” (Shahih, diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/329), ia berkata: “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Saya katakan: “Benar apa yang dikatakan mereka berdua.”)
Diriwayatkan dari Rubaih bin ‘Abdirrahman bin Abi Sa’id al-Khudri, dari ayahnya, dari kakeknya (yakni Abu Sa’id al-Khudri ra), ia berkata bahwa Rasulullah saw keluar menemui kami, sementara saat itu kami sedang membicarakan tentang Dajjal. Beliau berkata:
“Maukah kuberitahu tentang perkara yang lebih aku takutkan atas kalian daripada Dajjal?” “Tentu wahai Rasulullah!” jawab kami. Beliau berkata: “Syirik khafi (tersembunyi), yaitu seorang lelaki bangkit mengerjakan shalat lalu membaguskan shalatnya karena ia tahu ada orang yang sedang melihatnya.” (Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (4204).
Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid r.a, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah saw keluar, lalu berkata:
‘Wahai sekalian manusia, jauhilah syirik saraa-ir (syirik tersembunyi)!’
Orang-orang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa itu syirik saraa-ir?’ Jawab beliau:
‘Seorang lelaki bangkit memgerjakan shalat lalu karena jahilnya, ia membaguskan shalatnya karena tahu orang-orang sedang melihatnya. Itulah syirik saraa-ir.’” (Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (937) dan al-Baihaqi (II/290-291) dari jalur Sa’ad bin Ishaq bin Ka’ab bin ‘Ujrah dari ‘Ashim bin ‘Umar bin Qatadah dari Mahmud bin Labid ra. Saya katakan: “Sanadnya Hasan.”)
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata bahwa orang-orang mendatangi Abu Hurairah r.a, lalu Natil (Dia adalah Natil bin Qais al-Hizami, salah seorang tabi’in yang berasal dari Palestina. Ia adalah pemuka kaumnya), sesepuh penduduk Syam berkata kepadanya: “Wahai Syaikh, sampaikanlah kepada kami sebuah hadits yang anda dengar dari Rasulullah saw.” Abu Hurairah menjawab: “Baiklah, saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari Kiamat nanti adalah seorang yang mati syahid. Ia dibawa ke hadapan Allah. Lalu disebutkanlah nikmat-nikmat Allah kepada dirinya dan iapun mengakuinya. Lalu Allah berkata: ‘Untuk apakah engkau gunakan nikmat tersebut?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid.’ Allah berkata: ‘Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang supaya disebut pemberani. Begitulah kenyataannya.’ Kemudian diperintahkan agar ia diseret lalu dilemparkan ke Neraka. Kemudian seorang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca al-Qur-an. Ia dibawa ke hadapan Allah. Lalu disebutkanlah nikmat-nikmat Allah kepada dirinya dan ia pun mengakuinya. Lalu Allah berkata: ‘Untuk apakah engkau gunakan nikmat tersebut?’ Ia menjawab: ‘Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca al-Qur-an karena-Mu semata.’ Allah berkata: ‘Engkau dusta, sebenarnya engkau mempelajari ilmu dan mengajarkannya supaya disebut alim. Engkau membaca al-Qur-an supaya disebut qari. Begitulah kenyatannya.’ Kemudian diperintahkan agar ia diseret lalu dilemparkan ke Neraka. Kemudian seorang yang Allah beri kelapangan harta. Ia dibawa ke hadapan Allah. Lalu disebutkanlah nikmat-nikmat Allah kepada dirinya dan ia pun mengakuinya. Lalu Allah berkata: ‘Untuk apakah engkau gunakan nikmat tersebut?’ Ia menjawab: ‘Tidak satupun perkara yang Engkau anjurkan supaya berinfak di dalamnya melainkan aku infakkan hartaku karena-Mu semata.’ Allah berkata: ‘Engkau dusta, sebenarnya engkau berinfak supaya engkau disebut dermawan. Begitulah kenyatannya.’ Kemudian ia diperintahkan agar ia diseret di atas wajahnya lalu dilemparkan ke Neraka.” ( HR. Muslim (1905)).
Diriwayatkan dari Jundab bin ‘Abdillah ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
‘Siapa saja yang niatnya untuk didengar orang, maka Allah akan membongkar niatnya itu pada hari Kiamat. Dan siapa saja yang niatnya supaya dilihat orang, maka Allah akan membongkar niatnya itu pada hari Kiamat.’”[1]
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
‘Sampaikanlah kabar gembira kepada ummat ini berupa kedudukan yang mulia, keteguhan dalam agama, derajat yang tinggi[2] dan kekuasaan di atas muka bumi. Barangsiapa mengerjakan amalan akhirat dengan maksud mengeruk keuntungan dunia, maka sedikit pun tidak ada baginya bagian di akhirat’” (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (VI/134) dan al-Hakim (IV/318), dari jalur Abul ‘Aliyah dari Ubay bin Ka’ab ra. Saya katakan: “Sanadnya shahih.”)
Beberapa hadits lain sejenisnya akan kami sebutkan dalam bab-bab berikut, insya Allah.
Kandungan Bab :
1. Celaan terhadap riya’ ini telah disebutkan dalam al-Qur-an dan as-Sunnah, sebagaimana telah disebutkan di atas. ( الرّياء ) itu sendiri diambil dari kata ( الرّؤية ). Orang yang berbuat riya’ adalah orang yang memperlihatkan amalnya kepada orang lain, tujuannya supaya mendapatkan keuntungan dari mereka atau terhindar dari celaan mereka. Berarti ia telah memperoleh balasan amalnya di dunia. Oleh karena itu riya’ ini dapat menghapus pahala sebuah amal.
Wahai saudaraku seiman, jauhilah riya’! sebab riya’ merupakan seburuk-buruk musibah yang menggugurkan amal dan menjadikannya sia-sia…
Wahai hamba Allah, jauhilah riya’ sebagaimana engkau menjauhi seekor singa. Sesungguhnya para ulama besar saja tidak kuasa menghindar dan mengatasi bahaya riya’ dan syahwat tersembunyi ini apalagi orang-orang awam seperti kita. Sesungguhnya penyakit riya’ ini, menyerang para ulama dan ahli ibadah yang sungguh-sungguh beribadah dalam menempuh jalur akhirat. Setelah mereka berhasil menundukkan hawa nafsu, meninggalkan perbuatan maksiat dan memutusnya dari syahwat serta sudah tidak bernafsu lagi melakukan dosa besar secara terang-terangan, mereka justru jatuh dalam pelukan sum’ah, riya’ dan syahwat tersembunyi. Orang-orang memandang mereka sebagai orang yang terhormat dan mulia. Jiwa mereka merasakan kelezatan yang bukan kepalang, sehingga meremehkan perkara meninggalkan perbuatan maksiat. Di antara mereka ada yang mengira dirinya termasuk hamba Allah yang ikhlas, padahal ia termasuk dalam deretan kaum munafikin. Ini merupakan ketertipuan paling besar, hampir tidak ada yang selamat darinya kecuali hamba-hamba yang didekatkan kepada Allah, merekalah hamba-hamba Allah yang mukhlis.
2. Berhubung masalah ini sangat berbahaya seperti yang telah dijelaskan di atas, maka Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kita sebuah do’a untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil, yaitu riya’.
Diriwayatkan dari Abu Ali –seorang lelaki dari bani Kaahil-, ia berkata: “Pada suatu hari Abu Musa berkhutbah di hadapan kami, ia berkata: ‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, sebab syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Bangkitlah ‘Abdullah bin Hazan bin al-Mudhaarib dan berkata: ‘Demi Allah, tariklah kembali ucapanmu atau kami akan melaporkannya kepada ‘Umar, diizinkan ataupun tidak!’ Abu Musa menjawab: ‘Bahkan tariklah ucapan kalian itu, pada suatu hari Rasulullah saw berkhutbah di hadapan kami, beliau bersabda:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.” Lalu ada orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?” Rasulullah berkata: “Ucapkanlah: ‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui (sadari). Dan kami kami memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak kami ketahui.’” (Shahih, didukung dengan riwayat-riwayat lain. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/403) dan selainnya).
Itulah beberapa perkara yang perlu diperhatikan. Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan sebab-sebabnya, pintu-pintunya, jenis-jenisnya, dampak dan cara pengobatannya serta beberapa perkara yang tidak termasuk riya’, semua itu telah saya jelaskan dalam buku saya berjudul: “Ar-Riyaa’ Dzammuhu wa Atsaruhus Sayyi’ fil Ummah.”
[1] HR. al-Bukhari (6499) dan Muslim (2987).
Masih banyak hadits lainnya dalam bab ini, di antaranya adalah hadits ‘Abdullah bin Abbas ra yang diriwayatkan oleh Muslim, Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabrani, dan hadits Abu Hind ad-Daari yang diriwayatkan oleh Ahmadan al-Baihaqi. Seluruhnya shahih.
Makna hadits tersebut: “Barangsiapa beramal dengan niat supaya didengar atau dilihat oleh orang lain, maka Allah akan membongkar niat jeleknya itu pada hari Kiamat. Allah akan membongkarnya di hadapan seluruh manusia.” Hal ini dijelaskan dalam hadits ‘Auf bin Malik ra yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabiir dengan sanad hasan, ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
‘Barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membongkar niat jeleknya itu. Dan barangsiapa beramal karena sum’ah, maka kelak Allah akan membongkar niat jeleknya itu.’’
Dalam beberapa hadits disebutkan secara jelas bahwa pembongkaran niat jeleknya itu terjadi di akhirat, itulah penafsiran yang dapat dijadikan sandaran. Ath-Thabrani meriwayatkannya dengan sanad hasan dari Mu’adz bin Jabal ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
“Tidaklah seorang hamba itu beramal karena riya’ dan sum’ah melainkan Allah pasti membongkar niat jeleknya itu di hadapan sekalian manusia pada hari Kiamat.”
[2] Penyebutan derajat yang tinggi setelah kedudukan yang mulia merupakan salah satu bentuk ‘athaf bayan. Karena kedudukan yang mulia itu tidak lain adalah derajat yang tinggi, maksudnya adalah kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT.
Kata Mutiara
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Posting Komentar