Oleh: Ahsanul Huda
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini.[1]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”[2]
Mengangkat tema tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan demikian juga karamah. Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan karamah ini telah menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum muslimin. Sehingga dalam gambaran kebanyakan orang, wali Allah adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya sesuai permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang suka mengerjakan shalat lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi siapa yang memililki ciri-ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk menyandang gelar wali Allah sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
Wali Menurut Al Qur’an Dan As Sunnah
Adalah perkara yang lumrah bila kita mendengar kata-kata wali Allah. Di sisi lain, terkadang menjadi suatu yang asing bila disebut kata wali setan. Itulah yang sering kita jumpai di antara kaum muslimin. Bahkan sering menjadi sesuatu yang aneh bagi mereka kalau mendengar kata wali setan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya persepi saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang hakikat wali Allah dan lawannya, wali setan. Padahal Allah telah menetapkan bahwa wali itu ada dua jenis yaitu:
-wali Allah
-wali setan
Allah berfirman:
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (Yunus:62-63)
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa wali adalah orang mukmin yang bertaqwa dan menjauhi maksiat. Ia berdo'a hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Terkadang tampak padanya karamah ketika sedang dibutuhkan.
Maka, wilayah (kewalian) memang ada. Tetapi ia tidak terjadi kecuali pada hamba yang mukmin, ta'at dan mengesakan Allah Saw. Karamah tidak menjadi syarat untuk seseorang disebut wali, sebab syarat demikian tidak diberitahukan oleh Al-Qur'an.
Wilayah itu tidak mungkin terjadi pada seorang fasik atau musyrik yang berdo'a dan memohon kepada selain Allah. Sebab hal itu termasuk amalan orang-orang musyrik, sehingga bagaimana mungkin mereka menjadi para wali yang dimuliakan...?
Wilayah tidak bisa diperoleh melalui warisan dari nenek moyang atau keturunan, tetapi ia didapatkan dengan iman dan amal shalihnya.
Allah swt berfirman tentang wali setan:
“Sesungguhnya Mereka tidak lain adalah setan yang menakut-nakuti wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)
Dari kedua ayat ini jelaslah bahwa wali Allah itu adalah siapa saja yang beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Sedangkan wali setan itu adalah lawan dari mereka.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Wali-wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah tentang mereka, sehingga setiap orang yang bertakwa adalah wali-Nya.”[3] Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Wali Allah adalah orang yang berilmu tentang Allah dan dia terus-menerus diatas ketaatan kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.”[4]
Didalam ayat yang lainnya Allah menyatakan bahwa wali Allah itu tidak mesti ma’shum (terpelihara dari kesalahan). Allah swt berfirman:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, maka mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki disisi Rabb mereka. Itulah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan mengampuni bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan kemudian membalas mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Az Zumar: 33-35)
Karamah Menurut Al Qur’an Dan As Sunnah
Demikian juga halnya, Allah dan Rasul-Nya menerangkan bahwa karamah itu memang ada pada sebagian manusia yang bertakwa, baik dimasa dahulu maupun dimasa yang akan datang sampai hari kiamat. Diantaranya apa yang Allah kisahkan tentang Maryam didalam surat Ali Imran: 37 ataupun Ashhabul Kahfi dalam surat Al Kahfi dan kisah pemuda mukmin yang dibunuh Dajjal di akhir jaman.[5] Selain itu, kenyataan yang kita lihat ataupun dengar dari berita yang mutawaatir bahwa karamah itu memang terjadi di jaman kita ini.
Apa yang tampak pada sebagian ahli bid'ah seperti memukul-mukulkan besi ke perut, memakan api dan sebagainya dengan tidak menimbulkan cedera apapun, maka itu adalah dari perbuatan setan. Hal yang demikian bukan karamah tetapi istidraaj agar mereka semakin jauh tenggelam dalam kesesatan.
Allah swt berfirman:
"Katakanlah, 'Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo bagi-nya'." (Maryam: 75)
Mereka yang pergi ke India, akan menyaksikan orang-orang Majusi lebih dari itu. Di antaranya mereka saling memukulkan pedang, dengan tidak menimbulkan bahaya apapun, padahal mereka adalah orang-orang kafir.
Islam tidak mengakui berbagai perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut, juga tidak oleh para sahabatnya. Seandainya di dalam perbuatan tersebut terdapat kebaikan, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Adapun definisi karamah itu sendiri adalah: kejadian diluar kebiasaan yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya.[6]
Menurut persepsi kebanyakan manusia, wali adalah orang yang mengetahui ilmu ghaib. Padahal ilmu ghaib adalah sesuatu yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Memang, terkadang hal itu di-tampakkan pada sebagian RasulNya, jika Dia menghendakinya. Allah swt berfirman:
"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya". (Al-Jin: 26-27)
Dengan tegas, ayat di atas mengkhususkan para rasul, dan tidak menyebutkan yang lain. Sebagian orang menyangka bahwa setiap kuburan yang dibangun di atasnya kubah adalah wali. Padahal bisa jadi kuburan tersebut di dalamnya adalah orang fasik, atau bahkan mungkin tak ada manusia yang dikubur di dalamnya.
Membangun sesuatu bangunan di atas kuburan adalah diharamkan oleh Islam. Dalam sebuah hadits shahih ditegaskan,
"Rasulullah saw melarang mengapur kuburan atau dibangun sesuatu di atasnya." (HR. Muslim)
Seorang wali bukanlah yang dikuburkan di dalam masjid, atau yang dibangun di atasnya suatu bangunan atau kubah. Hal ini justru melanggar ajaran syari'at Islam. Demikian pula, mimpi bertemu dengan mayit tidak merupakan dalil secara syara' atas kewalian. Bahkan bisa jadi ia adalah bunga tidur yang berasal dari setan.
Apakah Wali Allah Itu Memiliki Atribut-atribut Tertentu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki sesuatu yang membedakan mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yang hukumnya mubah seperti pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan merekapun terkadang dijumpai sebagai ahli Al Qur’an, ilmu agama, jihad, pedagang, pengrajin atau para petani.[7]
Apakah Wali Allah Itu Harus Memiliki Karamah? Lebih Utama Manakah Antara Wali Yang Memilikinya Dengan Yang Tidak?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang memilikinya. Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para tabi’in itu lebih banyak daripada di kalangan para sahabat, padahal para sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para tabi’in.[8]
Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu'tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta'atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma'shiyat.
Apakah Setiap Yang diluar Kebiasaan dinamakan Dengan Karamah’?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang diluar kebiasaan itu ada tiga macam:
-Mu’jizat yang terjadi pada para rasul dan nabi
-Karamah yang terjadi pada para wali Allah
-Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan[9]
Sedangkan untuk mengetahui apakah itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang mendapatkannya (wali) tersebut. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah .” [10]
Wali Dan Karamah Menurut Kaum Sufi
Pandangan kaum Sufi tentang wali dan karamah sangatlah rancu, bahkan menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Diantara pandangan mereka adalah sebagai berikut:
1. Wali Adalah Gambaran Tentang Sosok Yang Telah Menyatu Dan Melebur Diri Dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Manuufi (dedengkot Sufi) dalam kitabnya Jamharatul ‘Auliya’ 1/98-99.[11]
2. Gelar wali merupakan pemberian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bisa diraih tanpa melakukan amalan (sebab), dan bisa diraih oleh seorang yang baik atau pelaku kemaksiatan sekalipun.[12]
3. Wali Memiliki Kekhususan Melebihi Kekhususan Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam.
Diantara kekhususan tersebut adalah:
a. Mengetahui apa yang ada di hati manusia sebagaimana ucapan An-Nabhani tentang Muhammad Saifuddin Al Farutsi An Naqsyabandi.
b. Mampu menolak malaikat maut yang hendak mencabut nyawa atau mengembalikan nyawa seseorang. Hal ini diterangkan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
c. Mampu berjalan di atas air dan terbang di udara. An Nabhani menceritakan hal itu tentang diri Muhammad As Sarwi yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamaa’il.
d. Dapat menunaikan shalat lima waktu di Makkah padahal mereka ada di negeri yang sangat jauh. An Nabhani membela perbuatan wali-wali mereka tersebut.
e. Memiliki kesanggupan untuk memberi janin pada seorang ibu walaupun tidak ditakdirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sekali lagi kedustaan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.[13]
Dan masih ada lagi keanehan-keanehan yang ada pada tokoh-tokoh atau wali-wali mereka. Subhanallah, semua itu adalah kedustaan yang nyata!! Sebelumnya Ibnu Arabi menyatakan kalau kedudukan wali itu lebih tinggi dari pada nabi. Didalam sebuah syairnya dia mengatakan:
Kedudukan puncak kenabian berada pada suatu tingkatan
Sedikit dibawah wali dan diatas rasul[14]
Demikian juga Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kami telah mendalami suatu lautan, yang para nabi hanya mampu di tepi-tepinya saja.”[15]
4. Seorang Wali Tidak Terikat Dengan Syariat Islam
Asy Sya’rani menyatakan bahwa Ad Dabbagh pernah berkata: “Pada salah satu tingkatan kewalian dapat dibayangkan seorang wali duduk bersama orang-orang yang sedang minum khamr (minuman keras), dan dia ikut juga minum bersama mereka. Orang-orang pasti menyangka ia seorang peminum khamr, namun sebenarnya ruhnya telah berubah bentuk dan menjelma seperti yang terlihat tersebut.[16]
5. Seorang Wali Harus Ma’shum (Terjaga Dari Dosa)
Ibnu Arabi berkata: “Salah satu syarat menjadi imam kebatinan adalah harus ma’shum. Adapun imam dhahir (syariat-pen) tidak bisa mencapai derajat kema’shuman.”[17]
6. Seorang Wali Harus Ditaati Secara Mutlak
Al Ghazali berkata: “Apapun yang telah diinstruksikan syaikhnya dalam proses belajar mengajar maka hendaklah dia mengikutinya dan membuang pendapat pribadinya. Karena, kesalahan syaikhnya itu lebih baik daripada kebenaran yang ada pada dirinya.” [18]
7. Perbuatan Maksiat Seorang Wali Dianggap Sebagai Karamah
Dalam menceritakan karamah Ali Wahisyi, Asy Sya’rany berkata: “Syaikh kami itu, bila sedang mengunjungi kami, dia tinggal di rumah seorang wanita tuna susila/pelacur.”[19]
8. Karamah Menjadikan Seorang Wali Memiliki Kema’shuman
Al Qusyairi berkata: “Salah satu fungsi karamah yang dimiliki oleh para wali agar selalu mendapat taufiq untuk berbuat taat dan ma’shum dari maksiat dan penyelisihan syari’at.”[20]
Dari bahasan diatas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwasanya pengertian wali menurut kaum sufi sangatlah rancu dan menyimpang, karena dengan pengertian sufi tersebut siapa saja bisa menjadi wali, walaupun ia pelaku kesyirikan, bid’ah atau kemaksiatan. Ini jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah dan fitrah yang suci.[21]
Wallahu a’lam bishshawaab.
Daftar Pustaka
1. Haqiqat Ash Shufiyyah
2. Majmu’ Al Fatawa
3. Tafsir Ibnu Katsir
4. Fathul Bari
5. Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah
6. Majmu’ Fatawa
7. At Tanbihaatus Saniyyah
8. A’lamus Sunnah Al Manshurah
9. Firaq Mu’ashirah
10. Khashaa’ishul Mushthafa
11. Lathaa’iful Asraar
12. Ath Thabaqaatul Kubra
13. Al Futuuhaat Al Makkiyah
14. Ihya’ Ulumuddin
15. Ath Thabaqaatul Kubra
16. Ar Risalah Al Qusyairiyah
17. Buletin Islam AL ILMU Jember Edisi :51 /IV/II/ 1426
[1] Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14
[2] Majmu’ Al Fatawa 11/5
[3] Tafsir Ibnu Katsir 2/422
[4] Fathul Bari 11/ 342
[5] H.R. Al Bukhari no. 7132 dan Muslim no. 2938
[6] Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin
[7] Majmu’ Fatawa 11/194
[8] Majmu’ Fatawa 11/283
[9] At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313
[10] A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193
[11] Firaq Mu’ashirah 2/ 699
[12] Firaq Mu’ashirah 2/701
[13] Khashaa’ishul Mushthafa hal. 280-293
[14] Lathaa’iful Asraar hal.49
[15] Firaq Mu’ashirah 2/698
[16] Ath Thabaqaatul Kubra 2/41
[17] Al Futuuhaat Al Makkiyah 3/183
[18] Ihya’ Ulumuddin 1/50
[19] Ath Thabaqaatul Kubra 2/135
[20] Ar Risalah Al Qusyairiyah hal.150
[21] Buletin Islam AL ILMU Jember Edisi :51 /IV/II/ 1426
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini.[1]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”[2]
Mengangkat tema tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan demikian juga karamah. Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan karamah ini telah menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum muslimin. Sehingga dalam gambaran kebanyakan orang, wali Allah adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya sesuai permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang suka mengerjakan shalat lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi siapa yang memililki ciri-ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk menyandang gelar wali Allah sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
Wali Menurut Al Qur’an Dan As Sunnah
Adalah perkara yang lumrah bila kita mendengar kata-kata wali Allah. Di sisi lain, terkadang menjadi suatu yang asing bila disebut kata wali setan. Itulah yang sering kita jumpai di antara kaum muslimin. Bahkan sering menjadi sesuatu yang aneh bagi mereka kalau mendengar kata wali setan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya persepi saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang hakikat wali Allah dan lawannya, wali setan. Padahal Allah telah menetapkan bahwa wali itu ada dua jenis yaitu:
-wali Allah
-wali setan
Allah berfirman:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (Yunus:62-63)
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa wali adalah orang mukmin yang bertaqwa dan menjauhi maksiat. Ia berdo'a hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Terkadang tampak padanya karamah ketika sedang dibutuhkan.
Maka, wilayah (kewalian) memang ada. Tetapi ia tidak terjadi kecuali pada hamba yang mukmin, ta'at dan mengesakan Allah Saw. Karamah tidak menjadi syarat untuk seseorang disebut wali, sebab syarat demikian tidak diberitahukan oleh Al-Qur'an.
Wilayah itu tidak mungkin terjadi pada seorang fasik atau musyrik yang berdo'a dan memohon kepada selain Allah. Sebab hal itu termasuk amalan orang-orang musyrik, sehingga bagaimana mungkin mereka menjadi para wali yang dimuliakan...?
Wilayah tidak bisa diperoleh melalui warisan dari nenek moyang atau keturunan, tetapi ia didapatkan dengan iman dan amal shalihnya.
Allah swt berfirman tentang wali setan:
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya Mereka tidak lain adalah setan yang menakut-nakuti wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)
Dari kedua ayat ini jelaslah bahwa wali Allah itu adalah siapa saja yang beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Sedangkan wali setan itu adalah lawan dari mereka.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Wali-wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah tentang mereka, sehingga setiap orang yang bertakwa adalah wali-Nya.”[3] Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Wali Allah adalah orang yang berilmu tentang Allah dan dia terus-menerus diatas ketaatan kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.”[4]
Didalam ayat yang lainnya Allah menyatakan bahwa wali Allah itu tidak mesti ma’shum (terpelihara dari kesalahan). Allah swt berfirman:
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (33) لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ (34) لِيُكَفِّرَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ الَّذِي عَمِلُوا وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ (35)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, maka mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki disisi Rabb mereka. Itulah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan mengampuni bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan kemudian membalas mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Az Zumar: 33-35)
Karamah Menurut Al Qur’an Dan As Sunnah
Demikian juga halnya, Allah dan Rasul-Nya menerangkan bahwa karamah itu memang ada pada sebagian manusia yang bertakwa, baik dimasa dahulu maupun dimasa yang akan datang sampai hari kiamat. Diantaranya apa yang Allah kisahkan tentang Maryam didalam surat Ali Imran: 37 ataupun Ashhabul Kahfi dalam surat Al Kahfi dan kisah pemuda mukmin yang dibunuh Dajjal di akhir jaman.[5] Selain itu, kenyataan yang kita lihat ataupun dengar dari berita yang mutawaatir bahwa karamah itu memang terjadi di jaman kita ini.
Apa yang tampak pada sebagian ahli bid'ah seperti memukul-mukulkan besi ke perut, memakan api dan sebagainya dengan tidak menimbulkan cedera apapun, maka itu adalah dari perbuatan setan. Hal yang demikian bukan karamah tetapi istidraaj agar mereka semakin jauh tenggelam dalam kesesatan.
Allah swt berfirman:
قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلَالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَدًّا
"Katakanlah, 'Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo bagi-nya'." (Maryam: 75)
Mereka yang pergi ke India, akan menyaksikan orang-orang Majusi lebih dari itu. Di antaranya mereka saling memukulkan pedang, dengan tidak menimbulkan bahaya apapun, padahal mereka adalah orang-orang kafir.
Islam tidak mengakui berbagai perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut, juga tidak oleh para sahabatnya. Seandainya di dalam perbuatan tersebut terdapat kebaikan, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Adapun definisi karamah itu sendiri adalah: kejadian diluar kebiasaan yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya.[6]
Menurut persepsi kebanyakan manusia, wali adalah orang yang mengetahui ilmu ghaib. Padahal ilmu ghaib adalah sesuatu yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Memang, terkadang hal itu di-tampakkan pada sebagian RasulNya, jika Dia menghendakinya. Allah swt berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya". (Al-Jin: 26-27)
Dengan tegas, ayat di atas mengkhususkan para rasul, dan tidak menyebutkan yang lain. Sebagian orang menyangka bahwa setiap kuburan yang dibangun di atasnya kubah adalah wali. Padahal bisa jadi kuburan tersebut di dalamnya adalah orang fasik, atau bahkan mungkin tak ada manusia yang dikubur di dalamnya.
Membangun sesuatu bangunan di atas kuburan adalah diharamkan oleh Islam. Dalam sebuah hadits shahih ditegaskan,
"Rasulullah saw melarang mengapur kuburan atau dibangun sesuatu di atasnya." (HR. Muslim)
Seorang wali bukanlah yang dikuburkan di dalam masjid, atau yang dibangun di atasnya suatu bangunan atau kubah. Hal ini justru melanggar ajaran syari'at Islam. Demikian pula, mimpi bertemu dengan mayit tidak merupakan dalil secara syara' atas kewalian. Bahkan bisa jadi ia adalah bunga tidur yang berasal dari setan.
Apakah Wali Allah Itu Memiliki Atribut-atribut Tertentu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki sesuatu yang membedakan mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yang hukumnya mubah seperti pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan merekapun terkadang dijumpai sebagai ahli Al Qur’an, ilmu agama, jihad, pedagang, pengrajin atau para petani.[7]
Apakah Wali Allah Itu Harus Memiliki Karamah? Lebih Utama Manakah Antara Wali Yang Memilikinya Dengan Yang Tidak?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang memilikinya. Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para tabi’in itu lebih banyak daripada di kalangan para sahabat, padahal para sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para tabi’in.[8]
Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu'tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta'atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma'shiyat.
Apakah Setiap Yang diluar Kebiasaan dinamakan Dengan Karamah’?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang diluar kebiasaan itu ada tiga macam:
-Mu’jizat yang terjadi pada para rasul dan nabi
-Karamah yang terjadi pada para wali Allah
-Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan[9]
Sedangkan untuk mengetahui apakah itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang mendapatkannya (wali) tersebut. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah .” [10]
Wali Dan Karamah Menurut Kaum Sufi
Pandangan kaum Sufi tentang wali dan karamah sangatlah rancu, bahkan menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Diantara pandangan mereka adalah sebagai berikut:
1. Wali Adalah Gambaran Tentang Sosok Yang Telah Menyatu Dan Melebur Diri Dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Manuufi (dedengkot Sufi) dalam kitabnya Jamharatul ‘Auliya’ 1/98-99.[11]
2. Gelar wali merupakan pemberian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bisa diraih tanpa melakukan amalan (sebab), dan bisa diraih oleh seorang yang baik atau pelaku kemaksiatan sekalipun.[12]
3. Wali Memiliki Kekhususan Melebihi Kekhususan Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam.
Diantara kekhususan tersebut adalah:
a. Mengetahui apa yang ada di hati manusia sebagaimana ucapan An-Nabhani tentang Muhammad Saifuddin Al Farutsi An Naqsyabandi.
b. Mampu menolak malaikat maut yang hendak mencabut nyawa atau mengembalikan nyawa seseorang. Hal ini diterangkan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
c. Mampu berjalan di atas air dan terbang di udara. An Nabhani menceritakan hal itu tentang diri Muhammad As Sarwi yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamaa’il.
d. Dapat menunaikan shalat lima waktu di Makkah padahal mereka ada di negeri yang sangat jauh. An Nabhani membela perbuatan wali-wali mereka tersebut.
e. Memiliki kesanggupan untuk memberi janin pada seorang ibu walaupun tidak ditakdirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sekali lagi kedustaan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.[13]
Dan masih ada lagi keanehan-keanehan yang ada pada tokoh-tokoh atau wali-wali mereka. Subhanallah, semua itu adalah kedustaan yang nyata!! Sebelumnya Ibnu Arabi menyatakan kalau kedudukan wali itu lebih tinggi dari pada nabi. Didalam sebuah syairnya dia mengatakan:
Kedudukan puncak kenabian berada pada suatu tingkatan
Sedikit dibawah wali dan diatas rasul[14]
Demikian juga Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kami telah mendalami suatu lautan, yang para nabi hanya mampu di tepi-tepinya saja.”[15]
4. Seorang Wali Tidak Terikat Dengan Syariat Islam
Asy Sya’rani menyatakan bahwa Ad Dabbagh pernah berkata: “Pada salah satu tingkatan kewalian dapat dibayangkan seorang wali duduk bersama orang-orang yang sedang minum khamr (minuman keras), dan dia ikut juga minum bersama mereka. Orang-orang pasti menyangka ia seorang peminum khamr, namun sebenarnya ruhnya telah berubah bentuk dan menjelma seperti yang terlihat tersebut.[16]
5. Seorang Wali Harus Ma’shum (Terjaga Dari Dosa)
Ibnu Arabi berkata: “Salah satu syarat menjadi imam kebatinan adalah harus ma’shum. Adapun imam dhahir (syariat-pen) tidak bisa mencapai derajat kema’shuman.”[17]
6. Seorang Wali Harus Ditaati Secara Mutlak
Al Ghazali berkata: “Apapun yang telah diinstruksikan syaikhnya dalam proses belajar mengajar maka hendaklah dia mengikutinya dan membuang pendapat pribadinya. Karena, kesalahan syaikhnya itu lebih baik daripada kebenaran yang ada pada dirinya.” [18]
7. Perbuatan Maksiat Seorang Wali Dianggap Sebagai Karamah
Dalam menceritakan karamah Ali Wahisyi, Asy Sya’rany berkata: “Syaikh kami itu, bila sedang mengunjungi kami, dia tinggal di rumah seorang wanita tuna susila/pelacur.”[19]
8. Karamah Menjadikan Seorang Wali Memiliki Kema’shuman
Al Qusyairi berkata: “Salah satu fungsi karamah yang dimiliki oleh para wali agar selalu mendapat taufiq untuk berbuat taat dan ma’shum dari maksiat dan penyelisihan syari’at.”[20]
Dari bahasan diatas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwasanya pengertian wali menurut kaum sufi sangatlah rancu dan menyimpang, karena dengan pengertian sufi tersebut siapa saja bisa menjadi wali, walaupun ia pelaku kesyirikan, bid’ah atau kemaksiatan. Ini jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah dan fitrah yang suci.[21]
Wallahu a’lam bishshawaab.
Daftar Pustaka
1. Haqiqat Ash Shufiyyah
2. Majmu’ Al Fatawa
3. Tafsir Ibnu Katsir
4. Fathul Bari
5. Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah
6. Majmu’ Fatawa
7. At Tanbihaatus Saniyyah
8. A’lamus Sunnah Al Manshurah
9. Firaq Mu’ashirah
10. Khashaa’ishul Mushthafa
11. Lathaa’iful Asraar
12. Ath Thabaqaatul Kubra
13. Al Futuuhaat Al Makkiyah
14. Ihya’ Ulumuddin
15. Ath Thabaqaatul Kubra
16. Ar Risalah Al Qusyairiyah
17. Buletin Islam AL ILMU Jember Edisi :51 /IV/II/ 1426
[1] Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14
[2] Majmu’ Al Fatawa 11/5
[3] Tafsir Ibnu Katsir 2/422
[4] Fathul Bari 11/ 342
[5] H.R. Al Bukhari no. 7132 dan Muslim no. 2938
[6] Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin
[7] Majmu’ Fatawa 11/194
[8] Majmu’ Fatawa 11/283
[9] At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313
[10] A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193
[11] Firaq Mu’ashirah 2/ 699
[12] Firaq Mu’ashirah 2/701
[13] Khashaa’ishul Mushthafa hal. 280-293
[14] Lathaa’iful Asraar hal.49
[15] Firaq Mu’ashirah 2/698
[16] Ath Thabaqaatul Kubra 2/41
[17] Al Futuuhaat Al Makkiyah 3/183
[18] Ihya’ Ulumuddin 1/50
[19] Ath Thabaqaatul Kubra 2/135
[20] Ar Risalah Al Qusyairiyah hal.150
[21] Buletin Islam AL ILMU Jember Edisi :51 /IV/II/ 1426
Kata Mutiara
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Posting Komentar