SIKAP AHLU SUNNAH TERHADAP FITNAH DI ANTARA PARA SAHABAT

Diposting oleh Ahsanul Huda Sabtu, 08 Mei 2010

Oleh: Ahsanul Huda

A.       Awal mula terjadinya fitnah

Ketika terjadi fitnah pada pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra., Abdulah bin Saba’ dan kaumnya mendatangi Ali bin Abi Thalib ra. dan kemudian memprovokasinya untuk menggantikan Utsman bin Affan ra.  Namun Ali bin Abi Thalib ra. menolak provokasi tersebut bahkan kemudian membunuh sebagian pengikut Abdullah bin Saba’ namun Abdullah bin Saba’ sendiri berhasil melarikan ke Mesir.

Ketika berada di Mesir dia bertemu dengan beberapa kaum munafiquun untuk merencanakan suatu makar yang hebat.  Kemudian dengan pengaruhnya, Abdullah bin Saba’ berhasil membuat opini tentang keburukan pemerintahan Utsman bin Affan ra di Madinah. sehingga beberapa orang kaum muslimin terpengaruh oleh cerita yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ tersebut.

Setelah dirasakan banyak kaum muslimin yang terpengaruh olehnya maka Abdullah bin Saba’ berangkat ke madinah beserta rombongannya menuju Madinah.  Sesampainya Madinah Abdullah bin Saba’ dan rombongannya membuat fitnah yang besar terhadap Khalifah Utsman bin Affan.

Saking hebatnya fitnah itu karena juga disebarkan oleh rombongan Abdullah bin Saba’ yang besar jumlahnya maka sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum terpengaruh oleh ucapan kaum munafiquun tersebut sampai – sampai putra Khalifah pertama yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq mendatangi Khalifah Utsman bin Affan ra. dengan marah dan menarik jenggotnya.Dan pada puncaknya kaum munafiquun dan sebagian kaum muslimin yang baik yang terprovokasi oleh ucapan Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya mengepung rumah Utsman bin Affan ra. kemudian membunuhnya.

 Setelah meninggalnya Utsman bin Affan ra. maka kaum munafiquun dan sebagian sahabat serta kaum muslimin yang lain membai’at Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah berikut.  Kemudian munculah fitnah yang menyebabkan sahabat terpecah belah yaitu tentang hukuman bagi para pembunuh Utsman bin Affan ra.

 Sahabat radhiyallahu’anhum terpecah menjadi 2 kubu yaitu kubu Ali bin Abi Thalib ra. dan kubu ‘Aisyah ra., Mu’awiyyah ra., Thalhah ra., Zubair ra dan lainnya. Kubu ‘Aisyah ra dan sahabat lainnya menuntut disegerakannya hukuman qishas bagi pembunuh Utsman bin Affan ra.  Namun Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. menundanya karena 2 ijtihad, pertama negara dalam keadaan kacau sehingga perlu ditertibkan dahulu dan yang kedua pembunuh Utsman bin Affan ra. sebagian adalah munafiquun dan sebagian lagi kaum muslimin yang baik yang termakan provokasi, maka Ali bin Abi Thalib ra. membutuhkan kepastiannya.

 Namun ‘Aisyiah ra., Thalhah ra., Zubair ra., dan sahabat nabi yang lain tetap pada ijtihadnya yaitu menuntut Ali bin Abi Thalib ra untuk menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra.

Akhirnya setelah masing – masing sahabat Nabi tersebut membawa pasukan dan siap untuk berperang, lalu kemudian Ali bin Abi Thalib ra. sepakat dengan pihak Aisyah ra. dan menyetujui untuk menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra.  Rupanya kesepakatan Ali dengan kubu ‘Aisyah ra. membuat gerah kaum munafiquun yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’.

Pada malam harinya (Perang Jamal berlangsung pada malam hari) kaum munafiquun menyusup ke barisan sahabat Thalhah ra. dan Zubair ra. dan melakukan penyerangan mendadak.  Karena merasa diserang maka kubu Thalhah ra. dan Zubair ra. balas menyerang ke pasukan Ali bin Abi Thalib ra dan perang besar pun tak terhindarkan.  Perang ini disebut Perang Jamal dan berakhir dengan kemenangan Ali bin Abi Thalib ra. dan meninggalnya 2 orang sahabat yang dijamin masuk surga yaitu Thalhah ra. dan Zubair ra.

 Sahabat Mu’awiyyah ra. yang pada waktu itu masih menjadi Gubernur di Damaskus menggerakan pasukannya menuju Madinah dengan tuntutan yang sama yaitu menyegerakan mengqishas pembunuh Utsman bin Affan ra.

Karena keadaan yang semakin kacau Ali bin Abi Thalib ra. tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut lalu terjadilah perang yang berikutnya yang dikenal dengan nama Perang Shiffin yang berakhir dengan gencatan senjata meskipun pada waktu itu Ali bin Abi Thalib ra. hampir memenangkan pertempuran tersebut.  Lalu Mu’awiyyah ra. kembali ke Damaskus dan tetap menolak membaiat Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah (Lalu sebagian kaum muslimin membai’at Muawiyyah ra. sebagai Amirul Mukminin)

Dan pada itu negara Islam terbagi 2 yaitu Ali bin Abi Thalib ra di Madinah dan Muawiyyah ra. di Damaskus.  Pada kondisi tersebut ada sebagian kecil kaum muslimin yang tidak puas kepada keduanya, dan kaum muslimin yang tidak puas kepada Ali ra. dan Mu’awiyyah ra. mereka membentuk firqah baru (inilah firqah pertama dalam Islam, disusul Syiah, Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyyah, Qadariyyah, Jabariyyah dan lain sebagainya) yang disebut sebagai Khawarij dan mereka mengkafirkan kedua sahabat nabi tersebut.

 Lalu kaum Khawarij mengutus pembunuh kepada keduanya, namun qadarullah hanya Ali bin Abi Thalib ra yang terbunuh, sedangkan percobaan pembunuhan terhadap Muawiyyah ra. dapat digagalkan.

B. Pandangan ahl sunnah wa al-jamaah terhadap konflik yang berlaku dikalangan para sahabat.

Ahlu Sunnah mengambil jalan pertengahan. Mereka memuliakan para sahabat r.a. sebagaimana yang dimuliakan oleh al-Quran dan as-Sunnah yang sahih. Ahlu Sunnah juga menyanjung dan berterima kasih kepada para sahabat atas segala pengorbanan mereka dalam menegakkan Islam dan menyebarkannya sehingga tersebar sebagaimana yang disaksikan pada hari ini. Atas dasar inilah Ahlu Sunnah mencintai para sahabat dan membenci siapa saja yang membenci para sahabat.

Dalam hal ini ada dua kaedah penting yang wajib diketahui:

Pertama: Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap diam terhadap apa yang terjadi di antara para sahabat serta tidak membahasnya. Sebab jalan yang selamat dalam menyikapi hal seperti ini adalah diam seraya berkata,

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)

Kedua: Menjawab pelbagai atsar (riwayat berkaitan sahabat) yang diriwayatkan tentang kejelekan para sahabat melalui beberapa penafian:

1.      Sesungguhnya di antara atsar tersebut terdapat atsar yang didustakan dan diada-adakan oleh musuh-musuh mereka untuk memperburuk nama baik mereka.

2.      Sesungguhnya di antara atsar tersebut ada yang telah ditambah, dikurangi mahupun diubah dari yang aslinya, sehingga di dalamnya terdapat kedustaan. Atsar tersebut telah diubah, kerana itu, tidak perlu diperhitungkan.

3.      Di antara atsar sahih mengenai hal tersebut, yang jumlahnya sedikit, sesungguhnya mereka dalam hal tersebut boleh difahami kerana ada dua kemungkinan. Yakni sebagai mujtahid yang benar atau sebagai mujtahid yang salah. Persoalan hal tersebut adalah masih di dalam ruang ijtihad, di mana jika seorang mujtahid itu benar maka dia mendapat dua pahala dan jika ia salah maka dia memperoleh satu pahala dan kesalahannya diampuni. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w.,

“Jika seorang hakim berijtihad dan benar (ijtihadnya) maka dia memperolehi dua pahala. Jika ia berijtihad dan salah (ijtihadnya) maka ia memperolehi satu pahala.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Amr bin al-Ash)

4.      Sesungguhnya mereka adalah manusia biasa. Kerana itu adalah wajar jika salah seorang mereka salah, sebab mereka tidak suci dari dosa, sebagai seorang manusia. Akan tetapi apa yang terjadi pada mereka telah banyak pelebur-nya, di antaranya:

Pertama, boleh jadi ia telah bertaubat dari padanya, dan taubat itu menghapus keburukanbetapa pun kesalahan itu adanya. Demikian sebagaimana disebutkan dalam pelbagai dalil.

Kedua, bahawasanya mereka memiliki keutamaan dan anugerah yang mewajibkan diampuninya dosa yang mereka lakukan, jika itu memang ada. Allah s.w.t. berfirman,

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang huruk.” (Hud: 114)

Di samping itu mereka adalah sahabat Nabi s.a.w., dan berjihad bersama beliau s.a.w., merupakan sesuatu yang berupaya menghapuskan kesalahan yang lebih kecil.

Ketiga, bahawasanya kebaikan mereka itu dilipat-gandakan lebih banyak dari selain mereka, bahkan tidak seorang pun yang menyamai keutaman mereka. Dan telah dengan tegas diberitakan oleh Nabi s.a.w., bahawa mereka adalah sebaik-baik generasi. Dan bahawa satu mud (sebelah tapak tangan) yang disedekahkan oleh salah seorang dari mereka itu lebih utama dari satu gunung emas yang disedekahkan oleh selain mereka. Semoga Allah meredhai mereka (radhiallahu ‘anhum).

Ini termasuk I’tiqad Ahlu Sunnah sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Jaafar al-Thahawi al-Hanafi: kami amat mencintai para sahabat Rasulullah s.a.w., kami tidak membedakan kecintaan kami hanya kepada salah seorang tertentu saja dan tidak pula mengesampingkan yang lain dari kalangan para sahabat r.a. kami membenci golongan yang membenci serta menyebutkan para sahabat dengan segala keburukan. Kami tidak menyebutkan para sahabat kecuali dengan kebaikan dan mencintai para sahabat berlandaskan agama, keimanan dan ikhsan, padahal mereka membenci para sahabat ini dengan kekufuran, munafiq dan taghut.[1]

Berkata Abu Zaid al-Qairawani dalam kitab beliau: sesungguhnya sebaik-baik golongan adalah mereka yang sempat hidup bersama dengan Nabi s.a.w. sebaik-baik sahabat adalah Khulafa al-Rashidin yang memberi petunjuk. Tidaklah disebut dan diingat salah seorang sahabat ini melainkan dengan sebaik-baiknya kenyataan dan sebutan. Menjauhkan diri daripada apa yang diperselisihkan dan celaan terhadap diri sahabat. Bahkan, merekalah yang paling berhak disebutkan segala kebaikan serta mereka jugalah sebaik-baik teladan. [2]

Syaikh al- Islam Ibn Taimiyyah menerangkan dalam Fatawanya: Kami menahan diri tentang apa-apa yang terjadi diantara mereka dan kami mengetahui bahwa sebagian cerita-cerita yang sampai kepada kami tentang (keburukan) mereka adalah dusta. Mereka (para shahabat) adalah mujtahid, jika mereka benar maka mereka akan dapat dua ganjaran dan akan diberi pahala atas amal shalih mereka, serta akan diampuni dosa-dosa mereka. Adapun jika ada pada mereka kesalahan-kesalahan sungguh kebaikan dari Allah telah mereka peroleh, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa mereka dengan taubat atau dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka atau dengan yang seumpamanya. Sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik masa, sebagaimana sabda Nabi s.a.w.[3]

Kata Ibn Katsir: Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka sesudah wafatnya Rasulullah s.a.w., maka ada yang terjadi secara tidak sengaja seperti Perang Jamal (antara Ali dengan Aisyah) dan adapula yang terjadi berdasar ijtihad seperti Perang Shiffin (antara Ali dengan Mu’awiyah). Ijtihad terkadang benar dan terkadang salah, akan tetapi (bila salah) pelakunya akan diampuni Allah dan akan dapat ganjaran adapun ia salah. Adapun jika ia benar ia akan dapat dua ganjaran. Dalam hal ini Ali dan para shahabatnya lebih mendekati kepada kebenaran daripada Mu'awiyah mudah-mudahan Allah meridhai mereka semuanya (Ali, 'Aisyah, Muawiyah dan para shahabat mereka)[4]

Abu Uthman al-Shabuni berbicara lebih lanjut dalam kitabnya Aqidah Salaf Wa Ashab al-Hadits: apa yang terjadi perselisihan dan polemik di antara sahabat nabi s.a.w. perlulah dihentikan. Kata-kata yang keluar dari lisan hendaklah dibersihkan daripada menyebut sebarangan yang mampu membuka aib dan mengurangi kehormatan mereka. Hendaklah mengasihi dan menyokong kepada setiap para sahabat.[5]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut:

   1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih
   2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
   3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
   4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang dilakukan sebelumnya.
   5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
   6.  Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas dosa.
   7. Kaum mukminin senantiasa mendoakan mereka
   8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari (karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka.” [6]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala.

Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.”[7]



[1] Ibn Abi al-Izz, Aqidah Thahawiyah, hal.  528

[2] Muhammad Amhazun, Jld.1, hal. 132

[3] Ibn Taimiyah, al-Fatawa, Jld. 3, hal. 406

[4] Ibn Katsir, hal. 154

[5] Muhammad Amhazun, Jld.1, hal. 133

[6] Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84

[7] Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82

0 komentar

Posting Komentar