Oleh: Ahsanul Huda)

            Orang-orang yang melakukan syirik akbar sedangkan dia tidak dipaksa maka dia itu musyrik, baik dia mau atau tidak, sama saja baik sebelum hujjah atau sesudahnya, sama saja tujuannya baik atau buruk, sama saja dia itu ahli ibadah atau ahli fasiq, sama saja dia itu mengaku islam atau tidak. Dan tidak boleh tawaqquf dari menamakan dia sebagai musyrik, karena itu tergolong nama-nama syar’iyyah dan orang-orang yang tawaqquf dalam hal itu adalah orang yang jahil akan nama-nama syar’iy.


I. Dalil-dalil dari Al Qur’an

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (Q.S. At Taubah: 113)

                Allah Subhanahu Wa Ta’ala menamakan mereka sebagai orang-orang musyrik sebelum tagaknya hujjah risaliyyah, yang mana ayat ini turun berkenaan dengan ibu Rasulullah saat beliau hendak memintakan ampunan buatnya.

                Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata tentang ayat ini: “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mau memintakan ampun buat ibunya, namun Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarangnya dari hal itu.” [1]

                 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

“Dan begitulah bagi banyak kaum musyrikin, sekutu-sekutu mereka menghiasi pembunuhan anak-anak mereka.” (Q.S. Al An’am : 137]

                 Allah menamakan mereka sebagai kaum musyrikin sebelum datangnya risalah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah…” (Q.S. At Taubah : 6)

Allah menamakan mereka kaum musyrikin sebelum mendengar firman Allah, yaitu sebelum hujjah.

                  Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آَبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ

“Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (Q.S. Al A’raf : 173)

                   Allah menamakan mereka kaum musyrikin sebelum ada hujjah risaliyyah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ

“Aku (burung Hudhud) mendapati dia dan kaumnya sujud kepada matahari, tidak kepada Allah; dan syaitan Telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk…… (Q.S. An Naml : 24)

وَصَدَّهَا مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ كَافِرِينَ

Sesungguhnya dia itu dahulunya tergolong orang-orang kafir.” (Q.S. An Naml : 43)

              Allah sebutkan bahwa Bilqis tergolong orang-orang kafir sebelum perjumpaannya dengan Sulaiman alahi sallam, sedangkan kekafiran disini dalam ayat ini bermakna Syirik.[2]

               Semua para Rasul telah diutus kepada kaumnya dan mereka itu mengkhitabi kaumnya atas dasar status mereka itu sebagai orang-orang musyrik sebelum diutusnya mereka. Kemudian mereka itu meminta dari kaumnya untuk meninggalkan syirik:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu…!” (Q.S. An Nahl : 36)

               Dan FirmanNya Subhanahu Wa Ta’ala:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“…Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya….” (Q.S. Al A’raf : 59) Dan ayat-ayat lainnya…

II. Dalil-dalil dari hadist

               Adapun hadist-hadist di antara hadist Banu Al Muntafiq yaitu hadist shahih: Mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya kepada beliau dalam hadist yang panjang tentang orang yang telah meninggal dunia dari kalangan ahlu fatrah, maka Rasulullah berkata: “Demi Allah, kuburan yang engkau lewati, baik kuburan orang Amiriy atau Quraisy, berupa orang musyrik, maka katakan: “Muhammad telah mengutus saya kepada kamu untuk memberi kabarmu dengan kabar yang menakutkan kamu, wajah dan perutmu digusur di dalam api neraka.” [3]

                 Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Al Hadyu: “di antara faidah hadist ini adalah bahwa orang yang mati di atas syirik disaksikan bahwa dia di neraka.”

                Orang yang menyekutukan Allah sebelum hujjah risaliyyah dinamakan orang musyrik. Dan ini sangat jelas sekali.

                Dan di antaranya adalah hadist permohonan ampun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam buat ibunya. Ibnu Baz berkata dalam Al Fatawa: 2/258: “Dan dikarenakan Nabi tatkala meminta izin kepada Tuhan-Nya untuk memintakan ampunan buat ibunya, karena dia mati di zaman jahiliyyah, beliau tidak diizinkan untuk memintakan ampunan buat ibunya karena dia mati di atas dien kaumnya para penyembah berhala.”

استأذنت ربي أن أستغفر لأمي فلم يأذن لي واستأذنته أن أزور قبرها فأذن لي

“Aku meminta ijin kepada Rabbku (Allah) untuk memintakan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Dia tidak mengijinkanku, dan aku meminta ijin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia mengijinkanku.”.[4]

                Didalam riwayat lain disebutkan: “Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kuburan ibunya kemudian beliau menangis maka menangislah para shahabat seluruhnya, beliau berkata:… (kemudian beliau menyebutkan lafadz diatas) dan melanjutkan: “Hendaklah kalian berziarah kubur, karena ziarah kubur akan mengingatkan kematian.”

                Berkata Syamsul Haq Al ‘Adzim Abadi di dalam kitabnya “‘Aunul Ma’bud” (9/Bab Fii Ziyarotil Qubur): “(perkataan nabi) “akan tetapi Dia tidak mengijinkanku” ini disebabkan dia (Aminah) mati dalam keadaan kafir, maka tidak boleh memintakan ampun untuk orang kafir (yang sudah mati).”

               Dan di antaranya hadits yang masyhur yang diriwayatkan oleh Muslim, tatkala Rasulullah shalallahu alahi wasallam ditanya tentang ayah laki-laki yang meninggal pada zaman fatrah, maka beliau menghukumi dia dan ayah beliau bahwa kedua-duanya di nereka.

أن رجلا قال: يا رسول الله! أين أبي؟ قال: “في النار” فلما قفي دعاه فقال: “إن أبي وأباك في النار”.

“Bahwasanya seseorang bertanya: “wahai Rasulullah! Dimana ayahku? Beliau menjawab: “di neraka” ketika orang tersebut beranjak pergi, beliau memanggilnya dan berkata: “Sesungguhnya ayahmu dan ayahku di neraka.”[5]

            Di dalam hadits yang lain disebutkan

أن أعرابيا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أين أبي قال في النار قال فأين أبوك قال حيث ما مررت بقبر كافر فبشره بالنار

“Bahwasanya Seorang badui mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian bertanya: Wahai Rasulullah! Dimana ayahku? Beliau menjawab: “di neraka”, kemudian dia bertanya lagi: dimana ayahmu? Beliau menjawab: “Setiap kali kamu melewati kuburan orang kafir maka berilah kabar gembira dia dengan neraka.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam “As Sunan” (1/1573) dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma dengan tambahan: “Wahai Rasulullah! Dahulu ayahku penyambung silaturahmi dan dia…dan dia…(kemudian dia menyebutkan beberapa kebaikannnya), dimana dia? (kemudian Rasulullah menjawab dengan jawaban diatas…..” [6]

                Berkata Abu Bakr Al Haitsami di dalam kitabnya “Majmu’ Az Zawa’id” setelah menyebutkan hadits diatas: “para perowinya, perowi Shahih Bukhari.”

                Dan karena dia mati di atas syirik kepada Allah dan peribadatan kepada selain-Nya Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan orang yang hidup ditengah kaum muslimin sedang dia beribadah kepada Al Badawiy atau Al Husein atau Abdul Qadir Al Jailaniy atau beribadah kepada Rasul Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam atau beribadah kepada Ali atau beribadah kepada yang lain…? maka mereka itu dan yang serupa dengan mereka adalah tidak diudzur, apalagi karena sesungguhnya mereka melakukan syirik akbar sedangkan mereka hidup ditengah kaum muslimin dan Al Qur’an ada dihadapan mereka dan begitu juga sunnah Rasullullah shallallahu alaihi wasallam ada ditengah-tengah mereka, namun mereka berpaling dari itu semua.”

                 Semua para Rasul diutus kepada kaumnya, dan mereka mengkhithabi kaumnya atas dasar status mereka itu sebagai orang-orang musyrik sebelum diutus para rasul itu, terus mereka meminta kaumnya untuk meninggalkan syirik “Beribadahlah kalian kepada Allah tiada ilah bagi kalian selain-Nya…”

III. Pernyataan-Pernyataan Para Imam:

                Syaikhul Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Nama musyrik itu telah ada sebelum risalah, karena dia itu menyekutukan Rabbnya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan menjadikan bersama-Nya tuhan-tuhan yang lain serta dia menjadikan bagi-Nya andad sebelum (datangnya) Rasul. Sehingga pastilah bahwa nama-nama ini (mengada-adakan, melampaui batas, merusak dan yang lainnya) mendahului risalah, dan begitu juga nama jahl (bodoh) dan jahiliyah. Dikatakan jahiliyyah dan jahl sebelum (adanya) Rasul. Dan adapaun ta’adzib (pengadzaban) maka itu tidak (ada sebelum risalah).”[7]

                 Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Maka macam orang-orang musyrik ini dan yang serupa dengannya dari kalangan orang-orang yang beribadah kepada para wali dan orang-orang shalih, kami menghukumi bahwa mereka itu adalah musyrikun dan kami memandang mereka itu kafir bila telah tegak atas mereka hujjah risaliyyah. Dan dosa-dosa selain ini yang tingkatan dan kerusakannya dibawah (syirik) ini, maka kami tidak mengkafirkan (orang) dengan sebabnya.” [8]

                 Sangat jelas sekali bahwa syaikh rahimahullah menghukumi pelaku syirik akbar sebagai orang musyrik meskipun sebelum (tegak) hujjah.

                  Syaikh Abdullah Ibnu Abdurrahman Aba Buthain rahimahullah berkata: “Dan orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah namun dia suka melakukan syirik akbar, seperti meminta kepada mayyit atau yang ghaib, memohon kepada mereka pemenuhan kebutuhan dan diselamatkan dari bencana , taqarrub kepada mereka dengan nadzar dan sembelihan, maka dia itu musyrik, mau tidak mau.”[9]

                  Syaikh Abdullah Aba Buthain yang sebagai mufti negeri Nejed rahimahullah berkata juga: “Orang pelaku syirik adalah musyrik, mau tidak mau, sebagaimana sesungguhnya pemakan riba itu adalah muraabi mau tidak mau, meskipun dia tidak menamakan apa yang dilakukannya riba, dan peminum khamar itu adalah peminum khamar meskipun dia menamakannya dengan nama lain.”[10]

               Beliau berkata juga setelah menuturkan kisah ‘Adiy Ibnu Hatim: ‘Adiy radliallahu’anhu sama sekali tidak mengira bahwa sikap setujunya kepada mereka (para ulama dan rahib) dalam apa yang telah disebutkan adalah bentuk ibadah kepada mereka, maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hal itu adalah ibadah dari mereka kepada mereka (para ulama dan rahib) padahal mereka itu tidak meyakini sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Dan begitu juga apa yang dilakukan oleh ‘Ubbadul Qubur berupa berdo’a kepada penghuni kubur, memohon pemenuhan kebutuhan kepada mereka dengan sembelihan dan nadzar, (itu semua) adalah ibadah dari mereka kepada orang-orang yang dikubur meskipun mereka tidak menamainya dan tidak meyakininya sebagai ibadah.”[11]

                Dan beliau berkata dalam Ad Durar: 10/393-394 dalam rangka mengkomentari hadist ini (hadist ‘Addiy): “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencela mereka dan menamakan mereka sebagai kaum musyrikin padahal mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan mereka ini adalah ibadah kepada mereka, namun mereka tidak diudzur.”

               Ibnu Qayyim rahimahullah berkata tentang orang-orang yang taqlid (ikut-ikutan) kepada guru-guru mereka dalam masalah yang membuat (pelakunya) kafir: “…ada perbedaan antara muqallid yang memiliki peluang (tamakkun) untuk mencari tahu dan mengenal kebenaran, terus berpaling darinya, dan muqallid yang sama sekali tidak memiliki tamakkun. Dan kedua macam orang ini ada dalam realita. Orang yang memiliki tamakkun dan yang berpaling adalah teledor (mufarrith) lagi meninggalkan yang wajib atasnya juga tidak ada udzur baginya disisi Allah. Dan adapun orang yang tidak mampu untuk bertanya dan untuk mengetahui yang sama sekali tidak memiliki tamakkun untuk tahu ada dua macam:

              Pertama: Orang yang menginginkan petunjuk yang mementingkannya lagi mencintainya dan tidak kuasa mendapatkannya dan mencarinya karena tidak ada orang yang membimbing, maka status hukumnya adalah hukum orang-orang ahlul fatrah dan yang belum sampai dakwah kepadanya.

               Dan Kedua: (Orang) yang tidak memiliki keinginan untuk mencarinya dan tidak membisikan jiwanya dengan selain apa yang menjadi keinginannya.”[12]

               Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata dalam rangka menafsirkan perkataan Ibnul Qayyim di atas: “Sesungguhnya Al ‘Allamah Ibnul Qayyim memastikan kekafiran orang-orang yang taqlid kepada guru-guru mereka dalam masalah-masalah yang membuatnya kafir bila mereka memiliki tamakkun untuk mencari dan mengetahui kebenaran dan mereka itu memiliki ahliyyah untuk itu (maksudnya mereka baligh lagi berakal), namun mereka justru berpaling dan tidak ambil peduli. Sedangkan orang yang tidak memiliki tamakkun dan ahliyyah untuk mengetahui apa yang dibawa para rasul, maka dia itu menurutnya (Ibnul Qayyim) adalah tergolong ahlul fatrah kalangan yang sama sekali belum sampai kepadanya dakwah seorang rasulpun. Dan kedua macam orang ini (yaitu ahlul fatrah dan orang-orang yang taqlid kepada guru-gurunya dalam masalah-masalah mukaffirah yang tidak memiliki tamakkun untuk mencari kebenaran dan tidak memilik ahliyyah untuk itu) tidak dihukumi sebagai orang Islam dan mereka tidak masuk kedalam deretan kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan sebagiannya, dan ucapannya akan datang dihadapanmu. Dan adapun nama syirik itu tepat bagi mereka dan nama (musyrik) untuk mereka itu. Dan Islam macam apa yang tersisa bila pelakunya dan kaidahnya yang paling besar yaitu syahadah akan Laa Ilaha Illallah dilanggar..??!.”[13]

                Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Bahkan ahlul fatrah yang belum sampai kepadanya risalah dan Al Qur’an dan mereka mati di atas jahiliyyah, mereka itu tidak dinamakan muslimin dengan ijma dan tidak boleh dimintakan ampunan baginya. Hanyasannya para ulama berselisih dalam hal pengadzaban mereka di akhirat.”[14]

                Bila engkau telah paham ini maka mudah bagimu memahami apa yang samar atasmu dari sebagian perkataan Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab, yaitu sikapnya yang tidak mengkafirkan orang jahl yang menyembah kubah Al Kawwaz dan perkataan yang serupa itu. Sesungguhnya syaikh rahimahullah tidak mengkafirkan orang-orang musyrik langsung saja karena saat itu adalah zaman fatrah, sehingga sampai dakwah kepadanya.

                Oleh sebab itu maka dua putra Syaikh Abdullathif yaitu Abdullah dan Ibrahim serta Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman mengatakan saat ditanya tentangnya, mereka berkata: “Maka dikatakan, Ya, karena sesungguhnya Syaikh Muhammad rahimahullah tidak langsung serta merta mengkafirkan manusia kecuali setelah tegaknya hujjah dan dakwah, sebab mereka saat itu berada dizaman fatrah dan (zaman) ketidaktahuan akan atsar-atsar risalah, dan oleh sebab itu beliau berkata: “Karena kejahilan mereka dan ketidakadaan orang yang mengingatkan mereka, adapun bila hujjah sudah tegak maka tidak ada larangan mengkafirkan mereka meskipun mereka tidak memahaminya.”[15]

               Abdullah dan Husen putera Syaikh Muhammad berkata tatkala keduanya ditanya tentang orang yang mati sebelum adanya dakwah Syaikh Muhammad: “Orang yang meninggal dunia dari kalangan para pelaku syirik sebelum sampainya dakwah ini maka hukum yang divoniskan atasnya adalah bahwa bila dia itu diketahui melakukan Syirik dan menjadikannya sebagai ajaran kemudian mati di atasnya, maka ini dhahirnya mati di atas kekufuran (maksudnya dengan kekafiran disini adalah syirik karena pemberlakuan hukumnya atas orang itu, Ali Al Khudlair) sehingga tidak boleh dido’akan, tidak boleh berkurban atas namanya, dan tidak boleh juga bersedekah atas namanya. Adapun hakikat sebenarnya adalah dikembalikan kepada Allah SWT, bila ternyata hujjah telah tegak atas dia di masa hidupnya dan dia membangkang, maka dia kafir dalam hukum dhahir dan bathin. Dan bila ternyata hujjah belum tegak atasnya maka urusannya kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”[16]

                 Putera-putera Syaikh Muhammad dan Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar tatkala ditanya tentang hal itu, mereka mengatakan: “Bila dia melakukan kekafiran dan kemusyrikan karena kejahilan atau tidak adanya orang yang mengingatkannya, maka kami tidak memvonis dia kafir sehingga hujjah tegak atasnya namun kami tidak menghukumi dia sebagai orang muslim.”

                 Jelaslah dihadapan pembaca yang budiman bahwa orang semacam ini bukan kafir karena hujjah belum tegak atasnya, dan dia bukan muslim karena dia menyekutukan Rabbnya, sebab sesungguhnya tauhid dan syirik adalah dua hal yang berlawanan yang tidak bisa bersatu dan dua hal yang kontradiksi yang keduanya tidak bisa bersatu dan tidak bisa hilang kedua-duanya.

                  Orang ini telah menyekutukan Allah, sedangkan bila ada syirik maka tauhid hilang yang merupakan inti Islam, jadi dia adalah musyrik dan adapun ta’dzib (pengadzaban) maka ini urusan yang berkaitan dengan hujjah.

                  Syaikh Abdullathif, Syaikh Ishaq dan Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman telah menukil ijma dari Ibnul Qayyim, bahwa para ahlul fatrah dan orang yang belum sampai dakwah kepadanya, sesungguhnya kedua macam orang ini tidak dihukumi sebagai orang Islam dan mereka tidak masuk kedalam deretan kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan sebagiannya. Dan adapun syirik maka itu tepat atas mereka dan namanya mencakup mereka. Islam apa yang tersisa bila inti dan kaidahnya yang terbesar yaitu syahadah Laa Ilaha Illallah dilanggar.[17]

                Syaikh Ahmad Hamud Al Khalidiy berkata dalam komentarnya terhadap kitab Takfir Al Mu’ayyan: Yaitu mereka itu dinamakan orang-orang musyrik dan mereka tidak diadzab kecuali tegak hujjah atas mereka, Ibnu Taimiyyah Syaikhul Islam berkata: nama musyrik telah ada sebelum risalah, karena dia menyekutukan Tuhannya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan menjadikan bersamanya tuhan-tuhan yang lain, serta dia menjadikan bagi-Nya andad sebelum Rasul.–hingga ucapan– Dan adapun pengadzaban maka tidak (ada sebelum risalah).”[18]



Daftar pustaka

1.  Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu Katsir

2.  Majmu Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah

3.  Thariq Al Hijratain Wa Babus Sa’a adatain karya Ibnu Qayyim

4.  Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfi Syubuhat karya Dawud Ibni Jirjis

5.  Al Haqaiq karya Syaikh Ali Al Khudlair







[1] Tafsir Ibnu Katsir: 2/479

[2] Lihat Haqaiq At Tauhid

[3] Musnad Imam Ahmad: 4/13 (162/51) lihat Az Zanad Syarh Lum’ah Al I’tiqad

[4] Hadits yang diriwayatkan Muslim di dalam “Shahihnya” “Kitabul Janaiz bab Isti’dzanun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam rabbahu ‘azza wajalla Fii Ziyaroti Qabri Ummihi” (976), Ibnu Hibban “As Shahih” (3169, Ibnu Majah “As Sunan” (1572) Al Baihaqi “Sunanul Kubro” (6949,6984,13857), Abu Bakr bin Abi Syaibah “Al Mushannaf” (11807) dan Abu Ya’la “Al Musnad” (6193)

[5] Hadits yang diriwayatkan Al Imam Muslim di dalam “Shahihnya” (203), Abu Daud “As Sunan” (4718), Ibnu Hibban “As Shahih” (578), Al Baihaqi “Sunanul Kubro” (13856), Ahmad “Al Musnad” (7/13861), Abu ‘Awanah “Al Musnad” (289), Abu Ya’la Al Mushili “Al Musnad” (3516)

[6] Hadits ini diriwayatkan Al Bazzar di dalam “Al Musnad” (2/1089), At Thabarani “Al Mu’jamul Kabir” (1/326), Ibnu Qudamah Al Maqdisi “Al Ahadits Al Mukhtarah” (1005)

[7] Majmu Al Fatawa: 20/38

[8] Ad Durar As Saniyyah: 1/522

[9] risalah makna kalimat At Tauhid yang diterbitkan bersama dengan Al Kalimaat An Nafi’ah: 106

[10] Risalah Al Intishar Lihizbillahil Muwahidin War Raddu ‘Alal Mujadil ‘Anil Musyrikin: 12 digabung dengan Aqidatul Muwahhidin

[11] Al Intishar: 12-13

[12] Thariq Al Hijratain Wa Babus Sa’a adatain: 544-545

[13] Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis: 99

[14] Hukmu Takfir Al Mu’ayyan: 151

[15] Ad Durar As Saniyyah: 10/434-435

[16] Ad Durar As Saniyyah: 10/ 142

[17] Al Haqaiq karya Syaikh Ali Al Khudlair: 17

[18] Majmu Al Fatawa: 20/38

0 komentar

Posting Komentar