SEBAB-SEBAB PENYIMPANGAN DARI AQIDAH YANG BENAR DAN CARA PENANGGULANGANNYA
Diposting oleh
Ahsanul Huda
Sabtu, 08 Mei 2010
Oleh: Ahsanul Huda
Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena aqidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat dan benar.
Tanpa aqidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lama-kelamaan mungkin menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan sehingga hidupnya terasa sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut dengan menyudahi hidup sekalipun dengan bunuh diri, sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah aqidah yang benar. Masyarakat yang tidak dipimpin oleh aqidah yang benar maka masyarakat tersebut tidak memiliki prinsip-prinsip hidup bahagia, sekalipun mereka bergelimang materi tetapi terkadang justru sering menyeret mereka pada kehancuran sebagaimana yang kita lihat pada masyarakat jahiliyah. Karena sesungguhnya kekayaan materi memerlukan taujih (pengarahan) dalam penggunaannya, dan tidak ada pemberi arahan yang benar kecuali aqidah yang shohihah (yang benar)
Allah swt berfirman :
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al – Mukminun : 51)
Dan firman Allah swt:
“Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan kami Telah melunakkan besi untuknya,(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Saba’ : 10 – 11)
Maka kekuatan aqidah tidak boleh dipisahkan dari kekuatan madiyah (materi). Jika hal itu dilakukan dengan menyeleweng kepada aqidah bathil, maka kekuatan materi akan berubah menjadi sarana penghancur dan alat perusak, seperti yang terjadi di Negara-negara kafir yang memiliki materi, tetapi tidak memiliki aqidah yang benar (shohihah).
Sebab – sebab penyimpangan dari aqidah shohihah yang harus kita ketahui yaitu[1]
1. Kebodohan terhadap aqidah shohihah, karena tidak mau (enggan) mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga tumbuh suatu generasi yang tidak mengenal aqidah shohihah dan juga tidak mengetahui lawan atau kebalikannya. Akibatnya, mereka meyakini yang haq sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang haq, kejahatan dianggap kebaikan. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar radhiallahu’anhu :
“Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan terputus satu demi satu, manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.
2. Ta’ashub (fanatik) terhadap keyakinan nenek moyang dan berpegang teguh dengannya sekalipun ia batil, serta meninggalkan hal-hal yang menyelisihinya sekalipun ia benar; sebagaimana difirmankan Allah Ta'ala:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al – Baqarah : 170)
3. Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam perkara aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan kebenarannya, sebagaimana hal itu merupakan realita kelompok-kelompok yang menyimpang, seperti jahmiyyah, mu'tazilah, asy'ariyyah, sufiyyah dan yang lainnya, di mana mereka taklid kepada orang-orang sebelum mereka dari kalangan para pemimpin kesesatan sehingga mereka tersesat dan menyimpang dari aqidah yang benar.
Imam Syafi’I berkata: perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah seperti orang yang mencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa seikat kayu yang di dapati di dalamnya ada seekor ular yang mematoknya dan tidak mengetahuinya. Di ceritakan oleh Imam Baihaqi.[2]
4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang – orang sholih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang tidak semestinya, sehingga meyakini pada diri mereka sesuatu yang luar biasa atau dapat mendatangkan rezeki, menolak kemudhoratan yang sebenarnya itu semua hanya kuasa Allah semata. Juga menjadikan para wali itu sebagai perantara antara Allah dan makhluk – Nya, sehingga sampai pada tingkat penyembahan kepada para wali tersebut dan bukan penyembahan kepada Allah. Mereka ber – taqarrub (menyembah) kepada kuburan para wali itu dengan hewan qurban sebagai nadzar, do’a, istighatsah dan meminta pertolongan. Sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh terhadap orang – orang salih.
Didalam shohih Bukhori disebutkan dari Ibnu Abbas ia berkata dalam firman Allah Ta'ala;
Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. (QS. Nuh : 23)
Mereka adalah laki-laki sholeh dizaman nabi Nuh ,maka tatkala laki-laki sholeh itu mati, syeitan membisikkan kepada kaumnya (Nuh) "Buatlah patung ditempat mereka duduk, serta namailah dengan nama mereka (Wad, suwa, Yaghuts, Nasra), lalu mereka membuat patung itu tapi tidak disembah, sampai yang membuat patung-patung itu mati, seiring dengan berlalunya masa, dan ilmu telah dilupakan maka patung itu disembah".
Ibnu Jarir berkata: "Telah berkata kepada kami Ibnu Hamid, telah berkata kepada kami Mahron dari Sufyan dari Musa dari Muhammad bin Qois berkata: "Yaghuts, Ya'uq dan Nasra adalah kaum Sholeh dari anak Adam dan mereka mempunyai para pengikut, maka tatkala mereka mati sahabat mereka berkata: jikalau kita menggambar mereka pasti akan membuat kita rindu kepada ibadah, maka mereka menggambarnya lalu tatkala mereka mati dan datang kaum yang lain, Iblis membisikkan kepada mereka: "hanyasanya patung itu disembah, dan mereka meminta hujan darinya, kemudian mereka menyembahnya".[3]
5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ayat – ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat – ayat kauniyah) dan ayat – ayat Allah yang tertuang pada kitab – Nya (ayat – ayat Qur’aniyah). Di samping itu juga terbuai dengan hasil – hasil tekhnologi dan kebudayaan, sampai – sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung – agungkan manusia serta menisbatkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia semata. Sebagaimana kesombongan Qarun yang mengatakan:
Karun berkata: “Sesungguhnya Aku Hanya diberi harta itu, Karena ilmu yang ada padaku”. dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh Telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih Kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al – Qhashas : 78)
Dan perkataan orang lain yang juga sombong :
Dan jika kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari kami sesudah dia ditimpa kesusahan, Pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku, dan Aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. dan jika Aku dikembalikan kepada Tuhanku Maka Sesungguhnya Aku akan memperoleh kebaikan pada sisiNya.” Maka kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang Telah mereka kerjakan dan akan kami rasakan kepada mereka azab yang keras.(QS. Fushilat : 50)
Dan dalam ayat yang lain :
Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru kami, Kemudian apabila kami berikan kepadanya nikmat dari kami ia berkata: “Sesungguhnya Aku diberi nikmat itu hanyalah Karena kepintaranku”. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak Mengetahui. (Az – Zumar : 49)
Mereka tidak berpikir dan tidak pula melihat keagungan Allah yang telah menciptakan alam ini dan yang telah menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan kemampuan guna menemukan keistimewaan – keistimewaan alam serta memfungsikannya demi kepentingan manusia.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash – Shaffat : 96)
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu? (QS. Al – A’raf : 185)
6. Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pengarahan yang benar (menurut Islam). Padahal Allah swt telah berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”[4] (QS. Ar-Rum: 30)
Allah swt berfirman, perkokohlah pandanganmu dan istiqamlah di atas agama yang di syari’atkan Allah padamu, berupa kesucian millah Ibrahim as yang Allah bimbing kamu kepadanya dan disempurnakan Allah agama itu untukmu dengan sangat sempurna. Di samp[ing itu hendaknya engkau konsekwen terhadap fitrah lurusmu yang difitrahkan Allah atas makhluq-Nya. Karena Allah swt telah memfitrahkan makhluq-Nya untuk mengenal dan mengesakan-Nya yang tidak ada illah selain-Nya.[5]
Rasululahu telah bersabda :
“Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang tuanya yang (kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al – Bukhari)
Jadi, orang tua mempunyai peranan besar dalam meluruskan jalan hidup anak – anaknya, mendidik dan mengarahkannya ke pendidikan yang benar sesuai dengan syari’at yang diturunkan Allah dan Rasul – Nya.
7. Wadah pendidikan dan media komunikasi di sebagian besar negara Islam belum melaksanakan fungsi yang semestinya, di mana kurikulum-kurikulum sekolah pada umumnya tidak memiliki perhatian yang besar terhadap aspek agama, atau tidak memiliki perhatian terhadapnya sama sekali. Demikian juga media komunikasi yang dilihat, didengar dan dibaca pada umumnya menjadi alat penghancur dan penyimpangan, atau ia hanya memperhatikan hal-hal yang bersifat materi dan hiburan, dan tidak memperhatikan perkara-perkara yang bisa meluruskan akhlak, menanamkan aqidah yang benar dan menghadapi arus-arus yang menyimpang; sehingga muncullah suatu generasi yang tidak memiliki senjata untuk menghadapi bala tentara atheis.
8. Menolak bid’ah dengan bid’ah lainnya[6], seperti bid’ahnya kaum khowarij terhadap ahlul kabair yaitu kafir di dunia dan di akhirat kekal di nereka. Kemudian kaum murji’ah membantah pendapat ini dan mengatakan mereka tidak kafir sama sekali dan dosa besarnya itu tidak mempengaruhi imannya sebagaimana ketaatan tidak mempengaruhi seseorang disebabkan dia kafir.Pendapat ini juga masih di bantah oleh kaum Mu’tazilah yang mengatakan mereka di dunia tidak kafir secara mutlak dan tidak pula mukmin secara mutlak tetapi diantara keduanya (manzilatun bainal manzilatain) sedangkan di akhirat dia kekal di neraka.
Bid’ahnya Qodariyah (meniadakan taqdir dari Allah) untuk membantah bid’ahnya kaum Jabariyah yang berpendapat Allah yang mengatur segala-galanya dari perbuatan hamba dan mengibaratkan manusia seperti wayang yang dimainkan dalang.
9. Pengaruh pemahaman asing, hal ini terjadi disebabkan musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan islam dari dalam lalu mereka berpura-pura masuk Islam dan menyebarkan kesesatannya yang berkedok Islam, seperti :
1. Syi’ah, pendirinya adalah seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’.
2. Seseorang yang berpura-pura masuk Islam dan mempengaruhi masyarakat Aceh dengan bid’ah, khurofat dan tahayul yaitu Snoukc Honger ( Abdul Ghofur )
10. Mendahulukan akal dalam masalah ad dien
Rosulullah Sholallahu ‘alahi wassalam bersabda :
“Barang siapa yang berkata di dalam kitab Allah dengan pendapatnya (akal) kemudian benar maka ia telah salah (HR. Ahmad)
Imam Ali semoga Allah meridhonya berkata[7] “ Seandainya Ad dien itu dengan akal maka mengusap bawah sepatu lebih pantas dari pada mengusap atasnya”.
Hal ini terutama dalam masalah ghoibiyah seperti adzab kubur, shiroth,haudh (telaga) dan lain-lainnya.
11. Diterjemahkannya falsafat kedalam bahasa arab. Ini terjadi pada masa khilafah Abasiyah terutama masa pemerintahan Al-Ma’mun (170-218 H) hal ini berpengaruh besar terhadap perkembangan Islam selanjutnya. Dan hari ini kita rasakan ummat Islam bangga dengan perkataan-perkataan para filosof dari pada qoul para salaf. Allahu ‘alam bish showab
Cara – Cara Menanggulangi Penyimpangan Aqidah
Cara menanggulangi penyimpangan di atas teringkas dalam poin – poin berikut ini :
a) Kembali kepada Kitabullah 'Azza wa Jalla dan sunnah Rasul-Nya Nabi Shallahu 'Alaihi was Sallam untuk memperoleh aqidah yang benar, sebagaimana para As-Salaf Ash-Sholeh menyandarkan aqidah mereka kepada keduanya, dan tidak ada cara yang menjadikan baik akhir umat ini kecuali dengan cara yang membuat baik generasi pertamanya, disertai dengan upaya mengetahui aqidah kelompok-kelompok yang menyimpang, mengetahui syubhat-syubhat mereka untuk dibantah dan diperingatkan; sebab orang yang tidak mengetahui kejelekan dikhawatirkan akan terjatuh ke dalamnya.
Allah swt telah befirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Al-Imran :103)
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tali Allah di sini adalah Al-Qur’an, sebagaimana di sebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari harits Al-A’war, dari Ali sebagai hadits marfu’ tentang sifat Al-Qur’an[8].
“Al-Qur’an itu adalah tali Allah yang paling kuat dan jalan-Nya yang lurus”
Kemudian sabda Rasulullah saw
“Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, serta ia menilai hadits hasan shahih)
Yakni jalan yang lurus yang berjalan sesuai dengan sunnatulah dan jalan orang-orang yang diberi petunjuk yaitu empat Khalifah berdasarkan ijma’. [9]
b) Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shohihah, aqidah salaf, di berbagai jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini. Karena sesungguhnya dengan Aqidah yang shahih akan mendaptkan rasa aman dan akan mendapat petunjuk dari Allah swt. Sebagaimana firman Alah swt:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am; 82)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut berkata : maksudnya mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja. Mereka tidak meyekutukannya sama sekali, mereka itulah orang-orang yang tenteram pada hari kiamatdan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.[10]
c) Harus ditetapkan kitab – kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kitab – kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
d) Menyebarkan para da’i yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah bathil. Karena sesungguhnya jalan kebenaran itu hanya ada satu dan barangsiapa yang menyimpang dari jalan ini, berarti dia berada di atas kebatilan dan berjalan di atas kesesatan. Jalan tersebut adalah Al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.
Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu meriwayatkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat satu garis kemudian beliau bersabda: Ini adalah Jalan Allah. Kemudian beliau menggaris beberapa garis ke kanan dan ke kiri kemudian bersabda Ini adalah subul (jalan-jalan) dan di atas setiap jalan-jalan itu ada setan yang menyeru kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): Dan sesungguhnya ini adalah Jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan jangan kalian ikuti jalan-jalan lain, niscaya ia akan memisahkan kalian dari jalan Allah.[11]
Daftar Pustaka :
1. Kitab Tauhid 1, karya Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
2. Risalah Taklid, karya Ibnu Qayyim
3. Fathul Majid Syarh Kitab Tauhi, karya Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab
4. Tafsir Ibnu katsir, karya Ibnu Katsir
5. Syarh usulul I’tiqhod Ahlus Sunah wal Jama’ah, karya Syaikh Imam Al Hafidz Abi Qosim Habatullah bin Hasan bin Man shur At Thobari Al Lakaa’i
6. Minhajul Muslim, karya Abu Bakar Zabir Al-Jazairi
7. Syarh Ar’Ba’in An-Nawawi, karya Imam Nawawi
[1] Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid 1 hal.9-14
[2] Ibnu Qayyim, Risalah Taklid, hal. 61
[3] Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid, hal: 209-210
[4] fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu katsir, hal 371
[6] Syaikh Imam Al Hafidz Abi Qosim Habatullah bin Hasan bin Man shur At Thobari Al Lakaa’i, Syarh usulul I’tiqhod Ahlus Sunah wal Jama’ah, jilid 1 hal 37-44
[7] Abu Bakar Zabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, hal. 171
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, hal 104
[9] Imam Nawawi, Syarh Ar’Ba’in An-Nawawi, hal. 274
[10] Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid, hal. 32
[11] HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Darimi dan Al-Hakim, dihasankan oleh Al-Arnauth di dalam Syarhus Sunnah, Al-Baghawi 1/197
Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena aqidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat dan benar.
Tanpa aqidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lama-kelamaan mungkin menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan sehingga hidupnya terasa sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut dengan menyudahi hidup sekalipun dengan bunuh diri, sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah aqidah yang benar. Masyarakat yang tidak dipimpin oleh aqidah yang benar maka masyarakat tersebut tidak memiliki prinsip-prinsip hidup bahagia, sekalipun mereka bergelimang materi tetapi terkadang justru sering menyeret mereka pada kehancuran sebagaimana yang kita lihat pada masyarakat jahiliyah. Karena sesungguhnya kekayaan materi memerlukan taujih (pengarahan) dalam penggunaannya, dan tidak ada pemberi arahan yang benar kecuali aqidah yang shohihah (yang benar)
Allah swt berfirman :
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al – Mukminun : 51)
Dan firman Allah swt:
وَلَقَدْ آَتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ (10) أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (11)
“Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan kami Telah melunakkan besi untuknya,(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Saba’ : 10 – 11)
Maka kekuatan aqidah tidak boleh dipisahkan dari kekuatan madiyah (materi). Jika hal itu dilakukan dengan menyeleweng kepada aqidah bathil, maka kekuatan materi akan berubah menjadi sarana penghancur dan alat perusak, seperti yang terjadi di Negara-negara kafir yang memiliki materi, tetapi tidak memiliki aqidah yang benar (shohihah).
Sebab – sebab penyimpangan dari aqidah shohihah yang harus kita ketahui yaitu[1]
1. Kebodohan terhadap aqidah shohihah, karena tidak mau (enggan) mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga tumbuh suatu generasi yang tidak mengenal aqidah shohihah dan juga tidak mengetahui lawan atau kebalikannya. Akibatnya, mereka meyakini yang haq sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang haq, kejahatan dianggap kebaikan. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar radhiallahu’anhu :
إنما تنقض عرى لإسلام عروة إذا نشأ في الإسلام من لايعرف الجا هلية
“Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan terputus satu demi satu, manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.
2. Ta’ashub (fanatik) terhadap keyakinan nenek moyang dan berpegang teguh dengannya sekalipun ia batil, serta meninggalkan hal-hal yang menyelisihinya sekalipun ia benar; sebagaimana difirmankan Allah Ta'ala:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al – Baqarah : 170)
3. Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam perkara aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan kebenarannya, sebagaimana hal itu merupakan realita kelompok-kelompok yang menyimpang, seperti jahmiyyah, mu'tazilah, asy'ariyyah, sufiyyah dan yang lainnya, di mana mereka taklid kepada orang-orang sebelum mereka dari kalangan para pemimpin kesesatan sehingga mereka tersesat dan menyimpang dari aqidah yang benar.
Imam Syafi’I berkata: perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah seperti orang yang mencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa seikat kayu yang di dapati di dalamnya ada seekor ular yang mematoknya dan tidak mengetahuinya. Di ceritakan oleh Imam Baihaqi.[2]
4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang – orang sholih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang tidak semestinya, sehingga meyakini pada diri mereka sesuatu yang luar biasa atau dapat mendatangkan rezeki, menolak kemudhoratan yang sebenarnya itu semua hanya kuasa Allah semata. Juga menjadikan para wali itu sebagai perantara antara Allah dan makhluk – Nya, sehingga sampai pada tingkat penyembahan kepada para wali tersebut dan bukan penyembahan kepada Allah. Mereka ber – taqarrub (menyembah) kepada kuburan para wali itu dengan hewan qurban sebagai nadzar, do’a, istighatsah dan meminta pertolongan. Sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh terhadap orang – orang salih.
Didalam shohih Bukhori disebutkan dari Ibnu Abbas ia berkata dalam firman Allah Ta'ala;
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. (QS. Nuh : 23)
Mereka adalah laki-laki sholeh dizaman nabi Nuh ,maka tatkala laki-laki sholeh itu mati, syeitan membisikkan kepada kaumnya (Nuh) "Buatlah patung ditempat mereka duduk, serta namailah dengan nama mereka (Wad, suwa, Yaghuts, Nasra), lalu mereka membuat patung itu tapi tidak disembah, sampai yang membuat patung-patung itu mati, seiring dengan berlalunya masa, dan ilmu telah dilupakan maka patung itu disembah".
Ibnu Jarir berkata: "Telah berkata kepada kami Ibnu Hamid, telah berkata kepada kami Mahron dari Sufyan dari Musa dari Muhammad bin Qois berkata: "Yaghuts, Ya'uq dan Nasra adalah kaum Sholeh dari anak Adam dan mereka mempunyai para pengikut, maka tatkala mereka mati sahabat mereka berkata: jikalau kita menggambar mereka pasti akan membuat kita rindu kepada ibadah, maka mereka menggambarnya lalu tatkala mereka mati dan datang kaum yang lain, Iblis membisikkan kepada mereka: "hanyasanya patung itu disembah, dan mereka meminta hujan darinya, kemudian mereka menyembahnya".[3]
5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ayat – ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat – ayat kauniyah) dan ayat – ayat Allah yang tertuang pada kitab – Nya (ayat – ayat Qur’aniyah). Di samping itu juga terbuai dengan hasil – hasil tekhnologi dan kebudayaan, sampai – sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung – agungkan manusia serta menisbatkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia semata. Sebagaimana kesombongan Qarun yang mengatakan:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
Karun berkata: “Sesungguhnya Aku Hanya diberi harta itu, Karena ilmu yang ada padaku”. dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh Telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih Kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al – Qhashas : 78)
Dan perkataan orang lain yang juga sombong :
وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُجِعْتُ إِلَى رَبِّي إِنَّ لِي عِنْدَهُ لَلْحُسْنَى فَلَنُنَبِّئَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِمَا عَمِلُوا وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ
Dan jika kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari kami sesudah dia ditimpa kesusahan, Pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku, dan Aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. dan jika Aku dikembalikan kepada Tuhanku Maka Sesungguhnya Aku akan memperoleh kebaikan pada sisiNya.” Maka kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang Telah mereka kerjakan dan akan kami rasakan kepada mereka azab yang keras.(QS. Fushilat : 50)
Dan dalam ayat yang lain :
فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru kami, Kemudian apabila kami berikan kepadanya nikmat dari kami ia berkata: “Sesungguhnya Aku diberi nikmat itu hanyalah Karena kepintaranku”. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak Mengetahui. (Az – Zumar : 49)
Mereka tidak berpikir dan tidak pula melihat keagungan Allah yang telah menciptakan alam ini dan yang telah menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan kemampuan guna menemukan keistimewaan – keistimewaan alam serta memfungsikannya demi kepentingan manusia.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash – Shaffat : 96)
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu? (QS. Al – A’raf : 185)
6. Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pengarahan yang benar (menurut Islam). Padahal Allah swt telah berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”[4] (QS. Ar-Rum: 30)
Allah swt berfirman, perkokohlah pandanganmu dan istiqamlah di atas agama yang di syari’atkan Allah padamu, berupa kesucian millah Ibrahim as yang Allah bimbing kamu kepadanya dan disempurnakan Allah agama itu untukmu dengan sangat sempurna. Di samp[ing itu hendaknya engkau konsekwen terhadap fitrah lurusmu yang difitrahkan Allah atas makhluq-Nya. Karena Allah swt telah memfitrahkan makhluq-Nya untuk mengenal dan mengesakan-Nya yang tidak ada illah selain-Nya.[5]
Rasululahu telah bersabda :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang tuanya yang (kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al – Bukhari)
Jadi, orang tua mempunyai peranan besar dalam meluruskan jalan hidup anak – anaknya, mendidik dan mengarahkannya ke pendidikan yang benar sesuai dengan syari’at yang diturunkan Allah dan Rasul – Nya.
7. Wadah pendidikan dan media komunikasi di sebagian besar negara Islam belum melaksanakan fungsi yang semestinya, di mana kurikulum-kurikulum sekolah pada umumnya tidak memiliki perhatian yang besar terhadap aspek agama, atau tidak memiliki perhatian terhadapnya sama sekali. Demikian juga media komunikasi yang dilihat, didengar dan dibaca pada umumnya menjadi alat penghancur dan penyimpangan, atau ia hanya memperhatikan hal-hal yang bersifat materi dan hiburan, dan tidak memperhatikan perkara-perkara yang bisa meluruskan akhlak, menanamkan aqidah yang benar dan menghadapi arus-arus yang menyimpang; sehingga muncullah suatu generasi yang tidak memiliki senjata untuk menghadapi bala tentara atheis.
8. Menolak bid’ah dengan bid’ah lainnya[6], seperti bid’ahnya kaum khowarij terhadap ahlul kabair yaitu kafir di dunia dan di akhirat kekal di nereka. Kemudian kaum murji’ah membantah pendapat ini dan mengatakan mereka tidak kafir sama sekali dan dosa besarnya itu tidak mempengaruhi imannya sebagaimana ketaatan tidak mempengaruhi seseorang disebabkan dia kafir.Pendapat ini juga masih di bantah oleh kaum Mu’tazilah yang mengatakan mereka di dunia tidak kafir secara mutlak dan tidak pula mukmin secara mutlak tetapi diantara keduanya (manzilatun bainal manzilatain) sedangkan di akhirat dia kekal di neraka.
Bid’ahnya Qodariyah (meniadakan taqdir dari Allah) untuk membantah bid’ahnya kaum Jabariyah yang berpendapat Allah yang mengatur segala-galanya dari perbuatan hamba dan mengibaratkan manusia seperti wayang yang dimainkan dalang.
9. Pengaruh pemahaman asing, hal ini terjadi disebabkan musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan islam dari dalam lalu mereka berpura-pura masuk Islam dan menyebarkan kesesatannya yang berkedok Islam, seperti :
1. Syi’ah, pendirinya adalah seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’.
2. Seseorang yang berpura-pura masuk Islam dan mempengaruhi masyarakat Aceh dengan bid’ah, khurofat dan tahayul yaitu Snoukc Honger ( Abdul Ghofur )
10. Mendahulukan akal dalam masalah ad dien
Rosulullah Sholallahu ‘alahi wassalam bersabda :
من قال في كتاب الله برأيه فاصاب فقد أخطأ
“Barang siapa yang berkata di dalam kitab Allah dengan pendapatnya (akal) kemudian benar maka ia telah salah (HR. Ahmad)
Imam Ali semoga Allah meridhonya berkata[7] “ Seandainya Ad dien itu dengan akal maka mengusap bawah sepatu lebih pantas dari pada mengusap atasnya”.
Hal ini terutama dalam masalah ghoibiyah seperti adzab kubur, shiroth,haudh (telaga) dan lain-lainnya.
11. Diterjemahkannya falsafat kedalam bahasa arab. Ini terjadi pada masa khilafah Abasiyah terutama masa pemerintahan Al-Ma’mun (170-218 H) hal ini berpengaruh besar terhadap perkembangan Islam selanjutnya. Dan hari ini kita rasakan ummat Islam bangga dengan perkataan-perkataan para filosof dari pada qoul para salaf. Allahu ‘alam bish showab
Cara – Cara Menanggulangi Penyimpangan Aqidah
Cara menanggulangi penyimpangan di atas teringkas dalam poin – poin berikut ini :
a) Kembali kepada Kitabullah 'Azza wa Jalla dan sunnah Rasul-Nya Nabi Shallahu 'Alaihi was Sallam untuk memperoleh aqidah yang benar, sebagaimana para As-Salaf Ash-Sholeh menyandarkan aqidah mereka kepada keduanya, dan tidak ada cara yang menjadikan baik akhir umat ini kecuali dengan cara yang membuat baik generasi pertamanya, disertai dengan upaya mengetahui aqidah kelompok-kelompok yang menyimpang, mengetahui syubhat-syubhat mereka untuk dibantah dan diperingatkan; sebab orang yang tidak mengetahui kejelekan dikhawatirkan akan terjatuh ke dalamnya.
Allah swt telah befirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا4
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Al-Imran :103)
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tali Allah di sini adalah Al-Qur’an, sebagaimana di sebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari harits Al-A’war, dari Ali sebagai hadits marfu’ tentang sifat Al-Qur’an[8].
هو حبل الله المتين وصراط المستقيم
“Al-Qur’an itu adalah tali Allah yang paling kuat dan jalan-Nya yang lurus”
Kemudian sabda Rasulullah saw
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ
“Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, serta ia menilai hadits hasan shahih)
Yakni jalan yang lurus yang berjalan sesuai dengan sunnatulah dan jalan orang-orang yang diberi petunjuk yaitu empat Khalifah berdasarkan ijma’. [9]
b) Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shohihah, aqidah salaf, di berbagai jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini. Karena sesungguhnya dengan Aqidah yang shahih akan mendaptkan rasa aman dan akan mendapat petunjuk dari Allah swt. Sebagaimana firman Alah swt:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am; 82)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut berkata : maksudnya mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja. Mereka tidak meyekutukannya sama sekali, mereka itulah orang-orang yang tenteram pada hari kiamatdan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.[10]
c) Harus ditetapkan kitab – kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kitab – kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
d) Menyebarkan para da’i yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah bathil. Karena sesungguhnya jalan kebenaran itu hanya ada satu dan barangsiapa yang menyimpang dari jalan ini, berarti dia berada di atas kebatilan dan berjalan di atas kesesatan. Jalan tersebut adalah Al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.
Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu meriwayatkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat satu garis kemudian beliau bersabda: Ini adalah Jalan Allah. Kemudian beliau menggaris beberapa garis ke kanan dan ke kiri kemudian bersabda Ini adalah subul (jalan-jalan) dan di atas setiap jalan-jalan itu ada setan yang menyeru kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): Dan sesungguhnya ini adalah Jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan jangan kalian ikuti jalan-jalan lain, niscaya ia akan memisahkan kalian dari jalan Allah.[11]
Daftar Pustaka :
1. Kitab Tauhid 1, karya Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
2. Risalah Taklid, karya Ibnu Qayyim
3. Fathul Majid Syarh Kitab Tauhi, karya Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab
4. Tafsir Ibnu katsir, karya Ibnu Katsir
5. Syarh usulul I’tiqhod Ahlus Sunah wal Jama’ah, karya Syaikh Imam Al Hafidz Abi Qosim Habatullah bin Hasan bin Man shur At Thobari Al Lakaa’i
6. Minhajul Muslim, karya Abu Bakar Zabir Al-Jazairi
7. Syarh Ar’Ba’in An-Nawawi, karya Imam Nawawi
[1] Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid 1 hal.9-14
[2] Ibnu Qayyim, Risalah Taklid, hal. 61
[3] Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid, hal: 209-210
[4] fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu katsir, hal 371
[6] Syaikh Imam Al Hafidz Abi Qosim Habatullah bin Hasan bin Man shur At Thobari Al Lakaa’i, Syarh usulul I’tiqhod Ahlus Sunah wal Jama’ah, jilid 1 hal 37-44
[7] Abu Bakar Zabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, hal. 171
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, hal 104
[9] Imam Nawawi, Syarh Ar’Ba’in An-Nawawi, hal. 274
[10] Syaikh Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid, hal. 32
[11] HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Darimi dan Al-Hakim, dihasankan oleh Al-Arnauth di dalam Syarhus Sunnah, Al-Baghawi 1/197
Kata Mutiara
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Posting Komentar