Oleh: Ahsanul Huda
Bertemu dengan Allah I dan memandang wajah-Nya kelak pada hari kiamat adalah merupakan sebuah kenikmatan yang tak terhingga besarnya. Oleh karena itu setiap orang yang beriman pasti akan sangat merindukan pertemuan dengan Allah dan memandang wajah-Nya. Untuk mencapai hal itulah mereka harus berusaha menjalani syarat-syarat yang telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an yaitu mengerjakan amalan-amalan shalih dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Allah I berfirman:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan-Nya dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (al-Kahfi: 110)
Demikianlah, pertemuan dengan Allah kelak adalah satu hal yang harus diimani oleh setiap muslim. Namun yang sangat mengherankan, muncul orang-orang yang mengaku muslimin, tetapi mereka mengingkari pertemuan dengan Allah I dan mengingkari akan dapat dilihatnya wajah Allah pada hari kiamat dengan melakukan ta’wil-ta’wil yang batil terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits. Ini menunjukkan kalau mereka sama sekali tidak berharap bertemu Allah.
Adapun bagi ahlus sunnah wal jama’ah -pengikut para shahabat dan tabi’in dan atba’ut tabi’in-, mereka adalah orang-orang yang sangat meyakini akan adanya pertemuan dengan Allah dan berharap untuk diberikan kesempatan melihat wajah-Nya.
Bukan hanya itu, bahkan sesungguhnya seluruh manusia kelak akan sangat mengharapkan untuk mendapatkan kesempatan memandang wajah Allah, karena hal itu merupakan satu kenikmatan. Namun orang-orang kafir akan terhalang untuk memandang wajah Allah, karena kekufuran mereka ketika masih hidup di dunia. sebagaimana firman-Nya:
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (Al-Mu-thaffifin: 15)
Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan lainnya bahwa ahli Surga akan melihat wajah Allah Jalla Jala Luhu. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata.
"Tatkala Allah menghijab (menghalangi) orang kafir dari melihat Allah dalam keadaan murka, maka ayat ini sebagai dalil bahwa wali-wali Allah (kaum Mukminin) akan melihat Allah dalam keadaan ridha.”[1]
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang ru'-yatullaah (melihat Allah pada hari Kiamat), maka beliau rahimahullah menjawab.
“Hadits-haditsnya shahih, kita mengimani dan mengakuinya, dan setiap hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih, kita mengimani dan mengakuinya.”[2]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwasanya kaum Muslimin akan melihat Allah I pada hari Kiamat secara jelas dengan mata kepala mereka sebagaimana melihat matahari dengan terang, tidak terhalang oleh awan sebagaimana mereka melihat bulan di malam bulan purnama. Mereka tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya.
Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana kalian melihat bulan pada malam bulan purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak-desakan) ketika melihat-Nya. Dan jika kalian sanggup untuk tidak dikalahkan (oleh syaithan) untuk melakukan shalat sebelum Matahari terbit (shalat Subuh) dan sebelum terbenamnya (shalat ‘Ashar), maka lakukanlah.”[3]
Kaum Mukminin akan melihat Allah I di padang Mahsyar, kemudian akan melihat-Nya lagi setelah memasuki Surga, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini sudah menjadi kesepakatan para ulama, sebagaimana beliau (Imam Thahawi) berkata :”Melihat Allah adalah pasti benar bagi penghuni (ahli) jannah”[4]
Allah I berfirman.
“Melihat Allah adalah pasti benar bagi penghuni (ahli) jannah tanpa dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana melihat-Nya sebagai mana disebutkan Rabb kita dalam Al-Qur'an; "Wajah-wajah orang mukmin saat itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada Rabb mereka." (Qs. Al-Qiyamah: 22-23)
Dari Hasan ia berkata, “Ia melihat pada Rabbnya, maka dibaguskanlah (dielokkan) dengan nur-Nya.”
Allah I berfirman, “Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya.”[5] Imam Thabari berkata, Ali bin Abi Thalib t dan Anas bin Malik t berkata, “(ada tambahannya) Maksudnya adalah melihat pada wajah Allah I.
Firman-Nya juga, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.[6]
Yang dimaksud dengan tambahannya ialah kenikmatan melihat Allah I. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Syuhaib ia berkata, Rasulullah r membaca ayat ini (10/26) kemudian ia bersabda:
“Dari Shuhaib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila ahli Surga telah masuk ke Surga, Allah berkata: ‘Apakah kalian ingin tambahan sesuatu dari-Ku?’ Kata mereka: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari api Neraka?’ Lalu Allah membuka hijab-Nya, maka tidak ada pemberian yang paling mereka cintai melainkan melihat wajah Allah Azza wa Jalla. Kemudian Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini: ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.’” [Yunus: 26][7]
Sabda beliau r yang lain:
Bahwa manusia pada bertanya, Wahai Rasulullah, apakah kita dapat melihat Robb kami pada hari kiamat? Rosulullah menjawab, "Apakah kalian kesulitan melihat bulan pada malam purnama? Mereka menjawab, "Tidak wahai Rasulullah. Apakah alian kesulitan dalam melihat matahari yang tanpa ada awan? Mereka menjawab, "Tidak" Rasul berkata, "Begitulah kalian juga akan melihatNya begitu".(Mutafaqun 'alaih).
Kemudian dalam sabda Rasulullah r yang lain
Hadits tentang ru’yah ini telah diriwayatkan oleh sekitar 30 orang sahabat. Tidak sah keimanan terhadap ru'yatullah (mengimani bahwa penghuni jannah akan memandang Raah mereka), bagi orang yang menganggapnya sebagai "praduga", atau mentakwil dengan pemikirannya. Karena penafsiran ru'yatullah itu, dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb, haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran dien atau keyakinan kaum muslimin. Maksud takwil adalah merubah(tahrif), bukan maksudnya setiap takwil dan meninggalkan dhohirnya sebagian dalil yang kuat dari kitab dan sunnah. Atau meninggalkan takwil yang rusak dan bid'ah, menyelisihi madzhab salaf. Takwil (menurut mufassir) adalah tafsir kalam dan keterangan maknanya, baik dhohirnya sepakat atau berselisih. Menurut Fuqoha kontemporer adalah merubah lafad yang rojih kepada yang marjuh karena adanya dalil yang mewajibkan demikian, tafsir yang benar adalah yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan Al Qur'an dan Assunnah.[8]
Adapun melihat Allah bagi ahlul mahsyar dalam hal ini ada tiga perkataan (pendapat), yaitu;
1. Allah I tidak dilihat kecuali oleh orang-orang beriman.
2. Allah I dilihat oleh orang-orang yang dikumpulkan (ahlul mauquf) mukmin dan kafir, kemudian Allah I terhijab dari orang-orang kafir sehingga mereka tidak melihat-Nya setelah itu.
3. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya bersama orang-orang munafik. Namun orang-orang kafir tidak melihat-Nya.
Adapun di dalam kehidupan dunia, maka tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah, bukan karena ada sesuatu yang menghalanginya, akan tetapi mata memang tidak kuat dan lemah untuk menerima dan melihat Allah. Beda halnya dengan kehidupan di akhirat kelak, sebab Allah telah menyempurnakan kekuatan bani Adam sampai kepada penglihatannya, sebagaimana firman-Nya:
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 103)
Allah I pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu[9], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman.” (Al-A’raf: 143)
Ayat ini menunjukkan bahwa gunung-pun hancur luluh ketika Allah menampakkan diri kepadanya, apalagi manusia yang sangat lemah. Dan kepada Musa u hamba-Nya yang mulia dan Allah berbicara langsung kepadanya-- Allah katakan: "Engkau tidak akan sanggup melihat-Ku", yakni di dunia ini. Apalagi orang-orang yang selain para nabi.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi: "Telah sepakat seluruh umat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia ini dan tidak ada perselisihan di kalangan mereka, kecuali tentang Nabi Kita e ".[10]
Demikian juga sabda Rasulullah r
"Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia"[11]
Tidaklah sesuatu yang hidup setelah melihat Allah kecuali ia akan mati (pingsan) dan tidak pula sesuatu itu terdiam akan guncang setelah melihat-Nya. Maka manusia tidak akan mampu untuk melihat Allah kecuali orang yang dikuatkannya seperti Nabi kita (Muhammad).
Apakah Rasulullah e melihat Allah ketika mi'raj?
Sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas t, beliau berpendapat bahwa Rasulullah e telah melihat Rabb-nya dengan mata kepalanya. Namun riwayat-riwayat dari atsar ini sebagiannya dlaif (lemah), seperti riwayat yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid dengan lafadz yang mudtharib (goncang) secara mauquf terhadap ibnu Abbas. Pada satu riwayat disebutkan Rasulullah e melihat dengan mata kepalanya, sedangkan pada riwayat lainnya Rasulullah emelihat Rabb-nya dengan hatinya, seperti yang diriwayatkan dari Atha' bin Abi Rabbah. Dan banyak lagi lafadz-lafadz lainnya yang diriwayatkan dan bersumber dari Ibnu Abbas t.
Dalam riwayat dari Ibnu Abbas tdi atas juga tidak disebutkan dengan tegas bahwa Rasulullah e melihat Allah dengan mata kepalanya. Sebagian riwayat itu hanya menyatakan beliau e "melihat dalam hatinya", "melihat cahaya", "melihat dalam mimpinya" dan lain-lain.
Di samping itu, mereka yang berpendapat bahwa Rasulullah e telah melihat Allah ketika mi'raj, berhujah dengan ayat Allah dalam surat atTak-wir:
وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُقِ الْمُبِينِ
“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang.” (At-Tak-wir: 23)
Dan ayat Allah I :
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (an-Najm: 13-14)
Bantahan bagi pendapat di atas
Sebagian para shahabat lainnya seperti Aisyah, Ibnu Mas'ud, dan Abu Hurairah; demikian pula sebagian ashhabul hadits dan para fuqaha lainnya, mereka berpendapat bahwa Rasulullah e tidak melihat Rabb-Nya ketika beliau e mi'raj. Hal itu sebagaimana telah diriwayatkan dari Aisyah ra, ketika beliau ditanya oleh Masyruq: "Apakah Rasulullah e melihat Rabb-Nya?" Aisyah ra menjawab:
“Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad e melihat Rabb-nya, maka dia telah membikin kedustaan besar kepada Allah. Aku (Masyruq) yang semula berbaring, kemudian terduduk dan berkata: "Ya Umul mukminin, sebentar dulu! jangan terburu-buru! Bukankah Allah telah berfirman: (Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang). (Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.) Aisyah ra menjawab: “Aku adalah orang pertama dari umat ini yang bertanya kepada Rasulullah e tentangnya. Maka beliau menjawab: “Itu adalah Jibril, aku tidak pernah melihatnya dalam bentuk aslinya, yang ia diciptakan atasnya. Aku melihatnya turun dari langit dan menutupi antara langit dan bumi karena besarnya (bentuknya).” Kemudian Aisyah berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman: ”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. Bukankah engkau pernah mendengar: ”Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (HR. Bukhari-Muslim)
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah e melihat cahaya dinukil juga dalam kitab shahih muslim sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syafiq dari Abu Dzar:
Dia berkata kepada Abu Dzar: “Kalau aku sempat bertemu Rasulullah e sungguh aku akan bertanya. Abu Dzar balik bertanya: “Apa yang akan kau tanyakan?”. Aku akan bertanya: “Apakah beliau melihat rabb-Nya?” Maka Abu Dzar pun berkata; “Sungguh aku telah bertanya kepada beliau e. Beliau menjawab: “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Dzar:
Aku bertanya kepada Rasulllah e: “Apakah engkau melihat Rabb-mu? Beliau e menjawab: “Cahaya, bagaimana aku melihatnya?” (HR. Muslim)
Disebutkan oleh para ulama bahwa yang dilihat oleh Rasulullah e adalah hijab-Nya, karena hijabnya adalah cahaya sebagaimana diriwayatkan dari dari Abu Musa al-‘Asy’ari:
Berdiri Rasulullah e di depan kami dengan menyampaikan lima kalimat. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkatnya, diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya.” (HR. Muslim)
Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Bary jilid 8/708, setelah menyebutkan pendapat-pendapat yang menyatakan Rasulullah e melihat Rabb-nya dan pendapat yang sebaliknya, berkata: “Hadits-hadits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah e melihat Rabb-nya, ada yang diriwayatkan secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang diriwayatkan secara mutlak. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-hadits yang mutlak tersebut kepada hadits-hadits yang muqayyad.”
Kemudian Ibnu Hajar Rahimahullah mengkorelasikan (menjama’) antara kedua pendapat yang kelihatannya saling bertentangan tersebut dengan menyatakan: “Dengan ini kita bisa mengumpulkan antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatnya Rasulullah e terhadap Allah -pent.) dengan pendapat Aisyah yang justru mengingkarinya. Yaitu dengan membawa pengingkaran Aisyah kepada penglihatan dengan mata, adapun penetapan Ibnu Abbas adalah penglihatan dengan hatinya.”
Berkata Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi: “Jama’ dari Ibnu Hajar ini sangat bagus dan dengan ini kita dapat mengambil seluruh riwayat-riwayat tersebut.”[12]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah : “Tidaklah ucapan Ibnu Abbas tentang melihatnya Rasulullah e bertentangan dengan hadits Aisyah”. Kemudian beliau Rahimahullah meriwayatkan bahwa Rasulullah e per-nah malihat Rabb-nya dalam tidurnya.[13]
Bahkan disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’adnya bahwa Utsman bin Sa’id ad-Darimi telah menghikayatkan kesepakatan para sahabat tentang tidak melihatnya Rasulullah e terhadap Rabb-nya.[14]
Yakni dengan mata kepala beliau e dalam keadaan sadar. Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan beliau e melihat-Nya adalah dalam keadaan tidur atau dengan hatinya.
Dengan demikian, jika kita memperhatikan bahwa Rasulullah e sendiri tidak melihat Rabb-nya dengan matanya secara sadar di dunia ini dalam riwayat-riwayat yang shahih, maka bagaimana mungkin bagi orang-orang selain beliau dapat melihat-Nya dengan mata kepalanya?
Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
1. Syarhul ‘Aqidah ath-Thahaawiyyah karya Imam At-Thahawi, Takhrij Syaikh al-Albani
2. Majmuu’ Fataawaa karya Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah
3. Al-Iman,karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi
4. Zaadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim
[1] Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/560, no. 883), Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 191), takhrij Syaikh al-Albani, dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (VI/499).
[2] Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/562 no. 889).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 554) dan Muslim (no. 633 (211)), dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Lafazh "tudhommuuna" bermakna tidak terhalang oleh awan, bisa juga dengan lafazh "tudhommuuna"ó yang bermakna tidak berdesak-desakan. Lihat Fat-hul Baari (II/33).
[4] Syarah Aqidah Thahawiyah
[5] Qs. Qaaf: 35.
[6] Qs. Yunus: 26
[7] HR. Muslim (no. 181), at-Tirmidzi (no. 2552 dan 3105), Ibnu Majah (no. 187), Ahmad (IV/332-333), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 472), dari Shuhaib Radhiyallahu 'anhu dan ini adalah lafazh Muslim.
[8] Syarah Aqidah thahawiyah
[9] para Mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
[10] Imam At-Thahawi, Syarh Aqidah ath-Thahawiyah: 196
[11] HR. Muslim (no. 2930 (95)), Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 2044), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma
[12] Al-Iman, karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi hal. 24
[13] Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 37
[14] Ibid
Bertemu dengan Allah I dan memandang wajah-Nya kelak pada hari kiamat adalah merupakan sebuah kenikmatan yang tak terhingga besarnya. Oleh karena itu setiap orang yang beriman pasti akan sangat merindukan pertemuan dengan Allah dan memandang wajah-Nya. Untuk mencapai hal itulah mereka harus berusaha menjalani syarat-syarat yang telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an yaitu mengerjakan amalan-amalan shalih dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Allah I berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan-Nya dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (al-Kahfi: 110)
Demikianlah, pertemuan dengan Allah kelak adalah satu hal yang harus diimani oleh setiap muslim. Namun yang sangat mengherankan, muncul orang-orang yang mengaku muslimin, tetapi mereka mengingkari pertemuan dengan Allah I dan mengingkari akan dapat dilihatnya wajah Allah pada hari kiamat dengan melakukan ta’wil-ta’wil yang batil terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits. Ini menunjukkan kalau mereka sama sekali tidak berharap bertemu Allah.
Adapun bagi ahlus sunnah wal jama’ah -pengikut para shahabat dan tabi’in dan atba’ut tabi’in-, mereka adalah orang-orang yang sangat meyakini akan adanya pertemuan dengan Allah dan berharap untuk diberikan kesempatan melihat wajah-Nya.
Bukan hanya itu, bahkan sesungguhnya seluruh manusia kelak akan sangat mengharapkan untuk mendapatkan kesempatan memandang wajah Allah, karena hal itu merupakan satu kenikmatan. Namun orang-orang kafir akan terhalang untuk memandang wajah Allah, karena kekufuran mereka ketika masih hidup di dunia. sebagaimana firman-Nya:
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (Al-Mu-thaffifin: 15)
Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan lainnya bahwa ahli Surga akan melihat wajah Allah Jalla Jala Luhu. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata.
"Tatkala Allah menghijab (menghalangi) orang kafir dari melihat Allah dalam keadaan murka, maka ayat ini sebagai dalil bahwa wali-wali Allah (kaum Mukminin) akan melihat Allah dalam keadaan ridha.”[1]
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang ru'-yatullaah (melihat Allah pada hari Kiamat), maka beliau rahimahullah menjawab.
“Hadits-haditsnya shahih, kita mengimani dan mengakuinya, dan setiap hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih, kita mengimani dan mengakuinya.”[2]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwasanya kaum Muslimin akan melihat Allah I pada hari Kiamat secara jelas dengan mata kepala mereka sebagaimana melihat matahari dengan terang, tidak terhalang oleh awan sebagaimana mereka melihat bulan di malam bulan purnama. Mereka tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya.
Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana kalian melihat bulan pada malam bulan purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak-desakan) ketika melihat-Nya. Dan jika kalian sanggup untuk tidak dikalahkan (oleh syaithan) untuk melakukan shalat sebelum Matahari terbit (shalat Subuh) dan sebelum terbenamnya (shalat ‘Ashar), maka lakukanlah.”[3]
Kaum Mukminin akan melihat Allah I di padang Mahsyar, kemudian akan melihat-Nya lagi setelah memasuki Surga, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini sudah menjadi kesepakatan para ulama, sebagaimana beliau (Imam Thahawi) berkata :”Melihat Allah adalah pasti benar bagi penghuni (ahli) jannah”[4]
Allah I berfirman.
“Melihat Allah adalah pasti benar bagi penghuni (ahli) jannah tanpa dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana melihat-Nya sebagai mana disebutkan Rabb kita dalam Al-Qur'an; "Wajah-wajah orang mukmin saat itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada Rabb mereka." (Qs. Al-Qiyamah: 22-23)
Dari Hasan ia berkata, “Ia melihat pada Rabbnya, maka dibaguskanlah (dielokkan) dengan nur-Nya.”
Allah I berfirman, “Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya.”[5] Imam Thabari berkata, Ali bin Abi Thalib t dan Anas bin Malik t berkata, “(ada tambahannya) Maksudnya adalah melihat pada wajah Allah I.
Firman-Nya juga, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.[6]
Yang dimaksud dengan tambahannya ialah kenikmatan melihat Allah I. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Syuhaib ia berkata, Rasulullah r membaca ayat ini (10/26) kemudian ia bersabda:
إذ دخل أهل الجنة الجنة ، وأهل النار النار ، نادى مناد : يا أهل الجنة ، إن لكم عند الله موعدا يريد أن ينجزكموه ، فيقولون : وما هو ؟ ألم يثقل موازيننا ، ويبيض وجوهنا ويدخلنا الجنة ، ويجرنا من النار ؟ فيكشف الحجاب : فينظرون إلى الله فما شيء أعطاهم شيئا أحب إليهم من النظر إليه ، وهي الزيادة (رواه مسلم :181, الترمذي : 2555و 3104, وغيرهما)
“Dari Shuhaib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila ahli Surga telah masuk ke Surga, Allah berkata: ‘Apakah kalian ingin tambahan sesuatu dari-Ku?’ Kata mereka: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari api Neraka?’ Lalu Allah membuka hijab-Nya, maka tidak ada pemberian yang paling mereka cintai melainkan melihat wajah Allah Azza wa Jalla. Kemudian Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini: ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.’” [Yunus: 26][7]
Sabda beliau r yang lain:
أن الناس قالوا: يا رسول الله ، هل نرى ربنا عز وجل يوم القيامة ؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « هل تضارون في رؤية القمر ليلة البدر ؟ » قالوا : لا يا رسول الله . قال : « هل تضارون في الشمس ليس دونها سحاب ؟ » قالوا : لا . قال : « فإنكم ترونه كذلك (بخاري و مسلم)
Bahwa manusia pada bertanya, Wahai Rasulullah, apakah kita dapat melihat Robb kami pada hari kiamat? Rosulullah menjawab, "Apakah kalian kesulitan melihat bulan pada malam purnama? Mereka menjawab, "Tidak wahai Rasulullah. Apakah alian kesulitan dalam melihat matahari yang tanpa ada awan? Mereka menjawab, "Tidak" Rasul berkata, "Begitulah kalian juga akan melihatNya begitu".(Mutafaqun 'alaih).
Kemudian dalam sabda Rasulullah r yang lain
حدثنا جرير ، قال : كنا جلوسا مع النبي صلى الله عليه وسلم فنظر إلى القمر ليلة أريع عشرة ، فقال : « إنكم سترون ربكم عز وجل عيانا كما ترون هذا لا تضامون في رؤيته (أخرجاه في الصحيحين)
Hadits tentang ru’yah ini telah diriwayatkan oleh sekitar 30 orang sahabat. Tidak sah keimanan terhadap ru'yatullah (mengimani bahwa penghuni jannah akan memandang Raah mereka), bagi orang yang menganggapnya sebagai "praduga", atau mentakwil dengan pemikirannya. Karena penafsiran ru'yatullah itu, dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb, haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran dien atau keyakinan kaum muslimin. Maksud takwil adalah merubah(tahrif), bukan maksudnya setiap takwil dan meninggalkan dhohirnya sebagian dalil yang kuat dari kitab dan sunnah. Atau meninggalkan takwil yang rusak dan bid'ah, menyelisihi madzhab salaf. Takwil (menurut mufassir) adalah tafsir kalam dan keterangan maknanya, baik dhohirnya sepakat atau berselisih. Menurut Fuqoha kontemporer adalah merubah lafad yang rojih kepada yang marjuh karena adanya dalil yang mewajibkan demikian, tafsir yang benar adalah yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan Al Qur'an dan Assunnah.[8]
Adapun melihat Allah bagi ahlul mahsyar dalam hal ini ada tiga perkataan (pendapat), yaitu;
1. Allah I tidak dilihat kecuali oleh orang-orang beriman.
2. Allah I dilihat oleh orang-orang yang dikumpulkan (ahlul mauquf) mukmin dan kafir, kemudian Allah I terhijab dari orang-orang kafir sehingga mereka tidak melihat-Nya setelah itu.
3. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya bersama orang-orang munafik. Namun orang-orang kafir tidak melihat-Nya.
Adapun di dalam kehidupan dunia, maka tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah, bukan karena ada sesuatu yang menghalanginya, akan tetapi mata memang tidak kuat dan lemah untuk menerima dan melihat Allah. Beda halnya dengan kehidupan di akhirat kelak, sebab Allah telah menyempurnakan kekuatan bani Adam sampai kepada penglihatannya, sebagaimana firman-Nya:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 103)
Allah I pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam:
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu[9], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman.” (Al-A’raf: 143)
Ayat ini menunjukkan bahwa gunung-pun hancur luluh ketika Allah menampakkan diri kepadanya, apalagi manusia yang sangat lemah. Dan kepada Musa u hamba-Nya yang mulia dan Allah berbicara langsung kepadanya-- Allah katakan: "Engkau tidak akan sanggup melihat-Ku", yakni di dunia ini. Apalagi orang-orang yang selain para nabi.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi: "Telah sepakat seluruh umat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia ini dan tidak ada perselisihan di kalangan mereka, kecuali tentang Nabi Kita e ".[10]
Demikian juga sabda Rasulullah r
"Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia"[11]
Tidaklah sesuatu yang hidup setelah melihat Allah kecuali ia akan mati (pingsan) dan tidak pula sesuatu itu terdiam akan guncang setelah melihat-Nya. Maka manusia tidak akan mampu untuk melihat Allah kecuali orang yang dikuatkannya seperti Nabi kita (Muhammad).
Apakah Rasulullah e melihat Allah ketika mi'raj?
Sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas t, beliau berpendapat bahwa Rasulullah e telah melihat Rabb-nya dengan mata kepalanya. Namun riwayat-riwayat dari atsar ini sebagiannya dlaif (lemah), seperti riwayat yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid dengan lafadz yang mudtharib (goncang) secara mauquf terhadap ibnu Abbas. Pada satu riwayat disebutkan Rasulullah e melihat dengan mata kepalanya, sedangkan pada riwayat lainnya Rasulullah emelihat Rabb-nya dengan hatinya, seperti yang diriwayatkan dari Atha' bin Abi Rabbah. Dan banyak lagi lafadz-lafadz lainnya yang diriwayatkan dan bersumber dari Ibnu Abbas t.
Dalam riwayat dari Ibnu Abbas tdi atas juga tidak disebutkan dengan tegas bahwa Rasulullah e melihat Allah dengan mata kepalanya. Sebagian riwayat itu hanya menyatakan beliau e "melihat dalam hatinya", "melihat cahaya", "melihat dalam mimpinya" dan lain-lain.
Di samping itu, mereka yang berpendapat bahwa Rasulullah e telah melihat Allah ketika mi'raj, berhujah dengan ayat Allah dalam surat atTak-wir:
وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُقِ الْمُبِينِ
“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang.” (At-Tak-wir: 23)
Dan ayat Allah I :
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (an-Najm: 13-14)
Bantahan bagi pendapat di atas
Sebagian para shahabat lainnya seperti Aisyah, Ibnu Mas'ud, dan Abu Hurairah; demikian pula sebagian ashhabul hadits dan para fuqaha lainnya, mereka berpendapat bahwa Rasulullah e tidak melihat Rabb-Nya ketika beliau e mi'raj. Hal itu sebagaimana telah diriwayatkan dari Aisyah ra, ketika beliau ditanya oleh Masyruq: "Apakah Rasulullah e melihat Rabb-Nya?" Aisyah ra menjawab:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ. قَالَ وَكُنْتُ مُتَّكِئًا فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْظِرِينِي وَلاَ تَعْجَلِينِي أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
]وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُقِ الْمُبِينِ[23]وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى[13 [ فَقَالَتْ: أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا مِنَ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ. فَقَالَتْ: أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ ]لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ[ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ ]وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ[ (متفق عليه)
“Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad e melihat Rabb-nya, maka dia telah membikin kedustaan besar kepada Allah. Aku (Masyruq) yang semula berbaring, kemudian terduduk dan berkata: "Ya Umul mukminin, sebentar dulu! jangan terburu-buru! Bukankah Allah telah berfirman: (Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang). (Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.) Aisyah ra menjawab: “Aku adalah orang pertama dari umat ini yang bertanya kepada Rasulullah e tentangnya. Maka beliau menjawab: “Itu adalah Jibril, aku tidak pernah melihatnya dalam bentuk aslinya, yang ia diciptakan atasnya. Aku melihatnya turun dari langit dan menutupi antara langit dan bumi karena besarnya (bentuknya).” Kemudian Aisyah berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman: ”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. Bukankah engkau pernah mendengar: ”Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (HR. Bukhari-Muslim)
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah e melihat cahaya dinukil juga dalam kitab shahih muslim sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syafiq dari Abu Dzar:
ثُمَّ قُلْتُ ِلأَبِي ذَرٍّ لَوْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسَأَلْتُهُ. فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ كُنْتَ تَسْأَلُهُ؟ قَالَ: كُنْتُ أَسْأَلُهُ: هَلْ رَأَيْتَ رَبُّكَ؟ قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ قَدْ سَأَلْتُ فَقَالَ: ((رَأَيْتُ نُوْرًا)). (رواه مسلم)
Dia berkata kepada Abu Dzar: “Kalau aku sempat bertemu Rasulullah e sungguh aku akan bertanya. Abu Dzar balik bertanya: “Apa yang akan kau tanyakan?”. Aku akan bertanya: “Apakah beliau melihat rabb-Nya?” Maka Abu Dzar pun berkata; “Sungguh aku telah bertanya kepada beliau e. Beliau menjawab: “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Dzar:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهَ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ؟ قَال: (نُوْرٌ أَنَّى أَرَاهُ)
Aku bertanya kepada Rasulllah e: “Apakah engkau melihat Rabb-mu? Beliau e menjawab: “Cahaya, bagaimana aku melihatnya?” (HR. Muslim)
Disebutkan oleh para ulama bahwa yang dilihat oleh Rasulullah e adalah hijab-Nya, karena hijabnya adalah cahaya sebagaimana diriwayatkan dari dari Abu Musa al-‘Asy’ari:
قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفَضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ. يَرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلَ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلَ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ. (رواه مسلم)
Berdiri Rasulullah e di depan kami dengan menyampaikan lima kalimat. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkatnya, diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya.” (HR. Muslim)
Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Bary jilid 8/708, setelah menyebutkan pendapat-pendapat yang menyatakan Rasulullah e melihat Rabb-nya dan pendapat yang sebaliknya, berkata: “Hadits-hadits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah e melihat Rabb-nya, ada yang diriwayatkan secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang diriwayatkan secara mutlak. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-hadits yang mutlak tersebut kepada hadits-hadits yang muqayyad.”
Kemudian Ibnu Hajar Rahimahullah mengkorelasikan (menjama’) antara kedua pendapat yang kelihatannya saling bertentangan tersebut dengan menyatakan: “Dengan ini kita bisa mengumpulkan antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatnya Rasulullah e terhadap Allah -pent.) dengan pendapat Aisyah yang justru mengingkarinya. Yaitu dengan membawa pengingkaran Aisyah kepada penglihatan dengan mata, adapun penetapan Ibnu Abbas adalah penglihatan dengan hatinya.”
Berkata Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi: “Jama’ dari Ibnu Hajar ini sangat bagus dan dengan ini kita dapat mengambil seluruh riwayat-riwayat tersebut.”[12]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah : “Tidaklah ucapan Ibnu Abbas tentang melihatnya Rasulullah e bertentangan dengan hadits Aisyah”. Kemudian beliau Rahimahullah meriwayatkan bahwa Rasulullah e per-nah malihat Rabb-nya dalam tidurnya.[13]
Bahkan disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’adnya bahwa Utsman bin Sa’id ad-Darimi telah menghikayatkan kesepakatan para sahabat tentang tidak melihatnya Rasulullah e terhadap Rabb-nya.[14]
Yakni dengan mata kepala beliau e dalam keadaan sadar. Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan beliau e melihat-Nya adalah dalam keadaan tidur atau dengan hatinya.
Dengan demikian, jika kita memperhatikan bahwa Rasulullah e sendiri tidak melihat Rabb-nya dengan matanya secara sadar di dunia ini dalam riwayat-riwayat yang shahih, maka bagaimana mungkin bagi orang-orang selain beliau dapat melihat-Nya dengan mata kepalanya?
Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
1. Syarhul ‘Aqidah ath-Thahaawiyyah karya Imam At-Thahawi, Takhrij Syaikh al-Albani
2. Majmuu’ Fataawaa karya Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah
3. Al-Iman,karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi
4. Zaadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim
[1] Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/560, no. 883), Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 191), takhrij Syaikh al-Albani, dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (VI/499).
[2] Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/562 no. 889).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 554) dan Muslim (no. 633 (211)), dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Lafazh "tudhommuuna" bermakna tidak terhalang oleh awan, bisa juga dengan lafazh "tudhommuuna"ó yang bermakna tidak berdesak-desakan. Lihat Fat-hul Baari (II/33).
[4] Syarah Aqidah Thahawiyah
[5] Qs. Qaaf: 35.
[6] Qs. Yunus: 26
[7] HR. Muslim (no. 181), at-Tirmidzi (no. 2552 dan 3105), Ibnu Majah (no. 187), Ahmad (IV/332-333), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 472), dari Shuhaib Radhiyallahu 'anhu dan ini adalah lafazh Muslim.
[8] Syarah Aqidah thahawiyah
[9] para Mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
[10] Imam At-Thahawi, Syarh Aqidah ath-Thahawiyah: 196
[11] HR. Muslim (no. 2930 (95)), Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 2044), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma
[12] Al-Iman, karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi hal. 24
[13] Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 37
[14] Ibid
Kata Mutiara
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Posting Komentar