PERSELISIHAN SEPUTAR IMAN

Diposting oleh Ahsanul Huda Sabtu, 08 Mei 2010

Oleh: Ahsanul Huda


Imam Thahawi berkata :

والإيمان هو الإقرار باللسان والتصديق بالجنان . وجميع ما صح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم من الشرع والبيان كله حق.  والإيمان واحد, وأهله في أصله سواء, والتفاضل بينهم بالخشية والتقى, ومخالفة الهوى, وملازمة الأولى

Iman adalah  mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati. Dan seluruh apa saja yang shahih dari Rasulullah n berupa syareat dan penjelasan semunya itu benar.  Iman itu satu, keutamaan diantara mereka itu dengan rasa takut dan takwa, dan menyelisihi hawa nafsu. Dan kewajiban yang pertama.

Definisi Iman

Secara bahasa kata iman berasal dari kalimat yang memiliki dua pengertian:


Pertama: bermakna "at Ta`min" yaitu memberikan rasa aman. Kalimat "aa-man-tuhu" (saya memberi-kan rasa aman kepadanya) lawan dari kata "a-khaf-tuhu" (saya memberikan rasa takut kepadanya).

Dalam Al Qur`an disebutkan:

Kata "aman" adalah lawan dari kata "khauf" (takut).

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah e bersabda :

“Bintang adalah penjaga (pelindung) langit, jika bintang tersebut menghilang (pergi) maka akan datang kepada langit tersebut penggantinya, aku adalah penjaga (pelindung) sahabat-sahabatku, jika aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada sahabat-sahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka, para sahabatku adalah penjaga (pelindung) umatku, jika para sahabatku telah pergi, maka akan datang kepada umatku apa telah yang dijanjikan."[1]

Ibnul Atsir berkata: "Kalimat "al amnah" didalam hadist ini merupakan bentuk jama` dari kalimat "amiin" yang berarti "al hafizh" (penjaga)."[2]


Kedua: kata iman bermakna "at Tashdiq" (pembenaran, percaya).

Dalam Al Qur`an disebutkan:

"Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami." (QS. Yusuf: 17)

Kalimat "aa-mantu bi-kadza" berarti "shaddaqtu" (aku membenarkannya, aku mempercayainya). [3]

Secara istilah Ahlus Sunnah wal Jama`ah berpendapat bahwa iman adalah: "Perkataan dan perbuatan, perkataan dalam hati dan lisan serta perbuatan hati dan anggota badan." Atau yang biasa diartikan dengan: "Membenarkan dengan hati, mengi-krarkan dengan lisan dan mengamal-kan dengan anggota badan, akan bertambah dengan keta`atan dan berkurang dengan kema`siatan".[4]

"Membenarkan dengan hati" maksudnya adalah: menerima segala apa yang dibawa oleh Rasulullah e.

"Ikrar dengan lisan" maksudnya adalah: mengucapkan dua kalimat syahadat yaitu:

"Aku bersaksi bahwa tiada ilah -yang berhak disembah- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah."

"Mengamalkan dengan anggota badan" maksudnya adalah: Hati mengamalkan dalam bentuk keyaki-nan, sedang anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya."

Inilah pengertian iman menurut Ahlu as Sunah. Dengan demikian, amalan seseorang dapat berpengaruh pada keimanannya. Sehingga iman dapat bertambah dan berkurang seiring dengan  bertambah dan berkurangnya amal shalih. [5]

Dalam persoalan definisi Iman, manusia banyak sekali memilik perbedaan pendapat:

Iman Malik, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawai dan seluruh ahlul hadits dan panduduk Madinah: Iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.

Kebanyakan dari sahabat kami berkata sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thohawi: bahwa iman adalah mengikrarkan dengan lisan, dan membenarkan dengan hati.

Di antara mereka ada yang berkata: mengikrarkan dengan lisan adalah rukun tambahan yang bukan dasar. Ini adalah pendapat Abu Mansur Al Maturidi dan diriwayatkan dari Abu Hanifah.

Al Karomiyah berpendapat: bahwa iman adalah mengikrarkan dengan lisan saja. Dan orang munafik menurut mereka adalah orang mukmin yang sempurna iman akan tetapi mereka mengatakan bahwa mereka (orang munafik) berhak mendapat ancaman yang telah Allah janjikan atasnya. (ini adalah perkataan yang jelas rusak dan bathil).

Al Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan As Shalihi salah seorang pemuka Qodariyah berpendapat: bahwa iman adalah mengetahui dengan hati (ini adalah perkataan yang jelas rusak dari yang sebelumnya). Karena Fir'aun dan kaumnya adalah orang yang beriman (menurut mereka) karena mengetahui kebenaran Musa dan Harun tapi mereka tidak beriman.  Sebagaimana Nabi Musa berkata kepada Fir'aun: Al Isra': 102, An Naml: 14. Bahkan Iblis menurut Jahm itu mukmin yang sempurna imannya karena tidak bodoh dengan RabbNya bahkan mengetahuiNya. Al Hijr: 36, 39, Shaad: 82. Kekafiran menurut bodoh dengan Rabb.

Para penganut faham Al Khawarij dan 'Allaf (dari Mu'tazilah) berpendapat bahwa Iman itu ialah ketaatan secara menyeluruh. Baik itu wajib maupun sunnah. Hal ini menyelisihi ajaran Rasulullah saw.

Al Juba'i dan umumnya Mu'tazilah di Bashrah berpendapat bahwa Iman adalah segala bentuk ketaatan yang wajib, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan selain yang sunnah. Pendapat ini ikut menggolongkan orang-orang munafik sebagai orang beriman.

Sedangkan sisa penganut Mu'tazilah yang lain berpendapat bahwa Iman adalah amal, ucapan dan keyakinan. Perbedaan pendapat ini dengan pendapat Ahlu Sunnah adalah bahwa Ahlu Sunnah tidak menjadikan seluruh amal perbuatan sebagai syarat sahnya Iman, tetapi menjadikan umumnya amal perbuatan syarat kesempurnaan Iman. Sebaliknya kaum Mu'tazilah menjadikan seluruh amal perbuatan sebagai syarat sahnya Iman.[6]

Kesimpulannya adalah: bahwa iman itu dengan hati, lisan dan seluruh anggota tubuh, sebagaimana pendapat jumhur salaf dari imam yang tiga.

Perselisihan Antara Abu Hanifah Dengan Para Imam Seputar Permasalahan Iman Merupakan Perselisihan Gambaran

Perselisihan antara Abu Hanifah dan para tokoh lainnya dari kalangan Ahlu Sunnah adalah perselisihan "kulit" persoalan saja.[7] Al Imam Abu Hanifah melihat hakikat keimanan secara bahasa disertai dalil-dalil dari firman Allah Ta’ala, sedangkan para ulama lainnya memandang hakikat keimanan itu dari sudut pengertiannya menurut tatanan Pembuat syari'at.

Diskusi tentang beberapa dalil tersebut:

1.       Cara berdalil yang pertama dapat disanggah, yaitu bahwa Iman berarti ungkapan dari pembenaran, dengan bukti bahwa Iman dan pembenaran tidak sinonim. Alasan keduanya bukan sinonim adalah: orang yang mendapat berita, apabila ia menerima kebenaran pembawa berita dikatakan: Ia membenarkannya, dan tidak dikatakan: Ia mengimaninya (Aamanahu atau Aamana bihi), tetapi mungkin dikatakan: (Aamana lahu) yakni beriman kepada/mempercayainya. Kalau keduanya sinonim, kata "membenarkan" juga digunakan untuk amal perbuatan, sebagaimana kata Iman. Seperti disabdakan Rasulullah e : "Kedua mata berzina, zina keduanya adalah dengan melihat yang haram. Telinga juga berzina, dan zina telinga adalah mendengar yang haram…" hingga akhir hadits, "…tinggal kemaluan, yang akan membenarkan hal itu atau mendustakannya."[8]

2.       Mereka menyatakan, "Sesungguhnya Rasul e telah mengantarkan kita pada pengertian –pengertian Iman. Dari pengertian itu kita dapat memahami satu aksioma, bahwa bila dikatakan seseorang itu membenarkan (Allah Ta’ala dan Hari Akhir), namun lidahnya belum mengucapkan keimanan sedangkan ia mampu (bicara), ia juga tidak shalat, puasa, maka ia bukanlah orang yang beriman.

3.       Kata Iman, tak bisa sama sekali menjadi lawan kata bagi kata At Takdzib (pendustaan), yang juga menjadi lawan dari kata At Tashdiq (pembenaran). Tapi Iman hanya menjadi lawan Kufur. Sedangkan kekufuran itu tak hanya sebatas pendustaan. Bahkan bila seseorang menyatakan kepada (Rasulullah saw), "Aku tahu engkau benar, tapi aku tidak mau mengikutimu, bahkan aku membenci, menyelisihi dan memusuhimu, maka kekufuran orang itu lebih besar lagi. Maka jelas, bahwa Iman bukan sekedar pembenaran. Demikian juga kekufuran bukan sekedar pendustaan saja. Kekufuran terkadang bisa berupa pendustaan, tepi terkadang bisa juga berupa kebencian dan permusuhan meski tidak mendustakan.

4.       Adapun kalimat "hilang sebagian berarti hilang seluruhnya", kalau yang dimaksud dengan hilang dalam konteks kalimat tersebut adalah berkurang kualitasnya sebagaimana sebelumnya, maka benar. Karena hilang sebagian tidak berarti hilang seluruh bagiannya.

5.       Adapun pernyataan mereka bahwa di hubungkannya Iman dengan amal perbuatan itu menunjukkan bahwa keduanya berpaut, sehingga amal tidak tergolong pengertian Iman, maka (jawabnya) bahwa iman, terkadang disebutkan secara terpisah dari amal atau dari Islam, namun terkadang disebutkan seiring dengan amal shalih, terkadang juga disebutkan seiring dengan Islam. Kalau disebut secara lepas maka ia sudah mengandung konsekwensi amal.
Argumentasi Para Pengikut Abu Hanifah


Diantara dalil-dalil yang dijadikan hujjah para sahabat Abu Hanifah  antara lain:

1.     Iman/percaya secara bahasa adalah ungkapan dari pembenaran, Qs. Yusuf: 17.

2.     Selanjutnya makna iman secara bahasa tadi, yaitu pembenaran dalam hati, adalah kewajiban hamba yang sesungguhnya terhadap Allah Ta’ala, lewat pembenaran Rasulullah saw dengan apa yang beliau bawa dari Allah Ta’ala.

3.     Karena Iman adalah kebalikan dari kufur, yang berarti pengingkaran dan pembangkangan. Keduanya ada di hati, maka demikian juga yang menjadi kebalikannya (keimanan). Adapun firman Allah Ta’ala dalam surat An Nahl: 106, menunjukkan bahwa hatilah yang jadi letak keimanan, bukan lidahnya.

4.     Karena kalau iman itu terangkai dari ucapan dan perbuatan, maka bila hilang satu bagian, hilang juga seluruhnya.

5.     Amal perbuatan dihubungkan dengan Iman, penghubungan itu menunjukkan keduanya berbeda, Allah Ta’ala berfirman, "Orang-orang yang beriman dan beramal shalih."


Bantahan:

§   Tidak setiap makna iman bersinonim dengan tashdiq. Lafadz iman mengabarkan tentang perkara ghaib saja sedangkan lafadz tashdiq bisa digunakan dalam perkara ghaib atau yang dapat disaksikan.

§   Lafadz iman tidak berkonotasi dengan takdzib, tapi dengan lafadz kufur. Dan kufur tidak hanya dengan takdzib. Bahkan perkataan: "Aku membenarkanmu tapi aku tidak mau mengikutimu, bahkan aku akan memusuhimu, membencimu dan menyelisihimu ini lebih besar kekufurannya. Maka iman tidak hanya tashdiq saja sebagaimana kufur tidak hanya takdzib saja.  Tetapi kufur bisa hanya dengan takdzib saja dan bisa dengan menyelisihi dan memusuhi tanpa takdzib.

§   Kalau seandainya bersinonim, maka tasdiq-pun bisa juga dengan perbuatan, sebagaimana iman juga bisa dengan amal. Rasulullah saw bersabda: "Kedua mata berzina dengan melihat, telinga berzina dengan mendengar……dan kemaluan yang membenarkan dan mendustakannya." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dll)

§   Imam al-Hasan al-Bashri berkata: "Tidak-lah iman dengan hayalan dan angan-angan, akan tetapi apa yang terpatri di dalam dada dan dibenarkan oleh amal.

§   Kalau disebut tashdiq, maka maksudnya adalah tashdiq khusus. Karena Allah Ta’ala tidak memerintahkann kita dengan iman secara global, tetapi dengan iman yang khusus. Adapun tashdiq yang sempurna di dalam hati menuntut adanya amalan hati dan anggota badan. Dan ini merupakan tuntutan iman yang sempurna.

            Kesimpulan tentang pertentangan bahwa Islam dan Iman bersinonim, bukan dari perkataan Abu Hanifah, tapi berasal dari sahabat-sahabatnya. Dasarnya adalah kisah antara beliau dengan Hammad bin Zaid. Ketika Abu Hanifah menyampaikan hadits "Islam apa yang utama?" Lalu Hammad berkata kepadanya; "Tidakkah engkau tahu hadits, Islam apa yang utama, Beliau e bersabda: Iman, kemudian menjadaikan hijrah dan jihad bagian dari Iman?" Lalu Abu Hanifah terdiam. Para sahabatnya berkata: "wahai Abu Hanifah, kenapa engkau tidak menjawabnya?" Beliau berkata: "Dengan apa aku harus menjawab? Dia menyampaikan ini kepadaku dari Rasulullah saw.[9]
Perkataan Seputar Bertambah Dan Berkurangnya Iman Secara Global Dan Rinci

Manusia tidak sama dalam masalah iman yang diperintahkan kepada mereka. Contohnya:

§  kewajiban pada awal Islam tidak seperti kewajiban setelah turunnya al-Qur'an secara keseluruhan.

§  Kewajiban bagi orang yang sampai kepadanya beberapa hadits dari Nabi tidak seperti orang yang sampai kepadanya seluruh hadist, seperti kewajiban atas raja Habasyi.

Tashdiq yang diikuti dengan tuntutannya (amal hati dan amal anggota badan) lebih sempurna dibandingkan tashdiq tanpa amal. Sebagaimana ilmu yang diamalkan lebih sempurna daripada ilmu yang tidak di amalkan. Seperti orang berkewajiban melaksanakan haji dan zakat harus mengetahui apa yang diperintahkan kepadanya dan meyakini bahwa haji dan zakat diwajibkan kepadanya yang tidak diwajibkan kepada selainnya kecuali secara global.

Orang yang di dalam hatinya terdapat tashdiq yang kokoh dan tidak dikalahkan oleh syahwat dan syubhat tidak akan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Tapi kalau tidak kokoh, ia akan dikalahkan oleh keduanya atau salah satunya ketika bermaksiat. Bahkan kalau senantiasa bermaksiat, maka lenyaplah pembenaran atas keharamannya dan ancaman sangsinya.

Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah berzina seorang pezina ketika akan berzina kecuali dia dalam keadaan beriman."

Ketika seorang berzina, maka hilanglah pembenaran akan keharaman zina walaupun masih ada akar pembenaran di dalam hatinya yang kemudian akan kembali lagi.

Allah Ta’ala mensifati orang-orang bertaqwa dalam surat Al-A'raf: 201.

Mujahid berkata; "Dia adalah laki-laki yang akan berbuat dosa lalu ia ingat Allah Ta’ala, maka ia pun meninggalkannya, Syahwat dan marah adalah permulaan dari kemaksiatan, maka ketika menyadarinya, ia pun kembali (kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala).

Dalil Al-Qur'an Dan As-Sunnah Tentang Bertambah Dan Berkurangnya Iman

1.     Al-Anfal: 2.

2.     Maryam: 76

3.     Al-Mudatstsir: 31

4.     Al-Fath: 4

5.     Ali Imran: 173

6.     Rasulullah saw mensifati wanita dengan kurang akal dan diennya

7.     Sabda Rasulullah saw

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ      

"Tidak beriman salah seorang kalian sehingga akau lebih dicintainya dari pada anaknya, orang tuanya dan manusia seluruhnya." Maksudnya adalah  hilang kesempurnaan iman.

8.     Hadits Syu'batul iman

9.     Hadits Syafa'at bahwa akan keluar dari Neraka orang yang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji yang sangat sangat kecil.

Adapun hadits tentang jawaban Rasulullah saw, bahwa iman tidak bertambah dan berkurang adalah lemah, bahkan  maudlu' menurut Ibnu Hibban, al-Hakim, Ibnul Jauzi dan Imam adz-Dzahabi.

Perkatan Para Sahabat Tentang Bertambah Dan Berkurangnya Iman

1.   Perkataan Abu Darda':

مِنْ فِقْهِ الْعَبْدِ أَنْ يَتَعَاهَدَ إِيْمَانَهُ وَمَا نَقَصَ مِنْهُ وَمِنْ فِقْهِ الْعَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَيَزْدَادَ هُوَ أَمْ يَنْتَقِصُ؟

"Di antara tanda kefaqihan hamba, memperbaharui (menambah) imannya dan apa yang kurang darinya dan di antara tanda kefaqihan hamba mengetahui apakah (imannya) bertambah atau berkurang?"

2.   Umar berkata kepada para sahabatnya: "Mari kita manambah Iman kita", lalu mereka berdzikir kepada Allah Ta’ala.

3.   Do'a Ibnu Mas'ud: اَللَّهُمَّ زِدْنَا إِيْمَانًا وَيَقِيْنًا وَفِقْهًا  "Ya Allah! Tambahkan keimanan, keyakinan dan pemahaman untuk kami"

4.   Perkataan Mu'ad bin Jabal dan Abdullah bin Rawahah: اِجْلِسْ بِنَا نُؤْمِنُ سَاعَةً "mari duduk bersama kami, kita beriman sebentar."

5.   Perkataan 'Amar bin Yasir:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ : إِنْصَافٌ مِنْ نَفْسِهِ وَاْلإِنْفَاقُ مِنْ إِقْتَارٍ وَبَذْلُ السَّلاَمَ لِلْعَالَمِ

 "Tiga hal apabila terdapat pada diri seseorang, telah sempurna imannya: berbuat adil terhadap diri sendiri, berinfaq sewaktu kekurangan harta dan menyebarkan keselamatan bagi alam ini."
Tempat bertambah dan berkurangnya iman

Bertambah dan berku-rangnya iman dapat terjadi pada empat bagian iman, yaitu kepercayaan hati (perkataan hati dan ilmu yang diyakini hati), perbuatan hati (seperti cinta dan takut kepada Allah, cinta kepada mukminin dan benci kepada orang-orang kafir, serta tawakal dan lainnya), perkataan lisan (seperti dua kalimat syahadat, dzikrullah, shalawat kepadaRasulullah dan lainnya) dan perbuatan anggota badan (seperti shalat, puasa, haji dan lainnya).[10]

Perkataan atau kepercayaan hati

Ketika seseorang bertambah ilmunya dan hatinya meyakini ilmu ter-sebut, maka bertambahlah iman orang tersebut, karena iman dalam aspek hatinya bertambah. Dari sini diketahui bahwa iman seseorang pada aspek ini (hati) antara yang satu dengan lainnya akan berbeda-beda, sesuai de-ngan banyak atau sedikitnya ilmu orang tersebut.

Syakhul Islam Ibnu Taymiyyah –Rahimahullah– berkata:[11]

“Ilmu dan kepercayaan yang ada dalam hati orang berbeda-beda, se-suai kadar global (sedikit) atau detail (banyak)nya ilmu dan keperca-yaan orang tersebut.

Orang yang kepercayaannyakepada kabar-kabar dari Rasulullah hanya bersifat global, tidaklah sama dengan orang yang kepercayaannya terhadap kabar-kabar Rasulullah bersifat detail, seperti ilmu (kabar) tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah, syurga dan neraka serta tentang ummat-ummat sebelumnya.”

Oleh karena itu, mengisi hati dengan ilmu syar’i yang banyak –suatu ketaatan yang besar– adalah sarana yang paling ampuh sekali untuk me-nambah keimanan.

Imam Ibnu Baththāl –Rahimahullah– berkata:[12]

اَلتَّفَاوُتُ فِي التَّصْدِيْقِ عَلَى قَدْرِ الْعِلْمِ وَالْجَهْلِ، فَمَنْ قَلَّ عِلْمُهُ كَانَ تَصْدِيْقُهُ مِثْلاً بِمِقْدَارِ ذَرَّةٍ، وَالَّذِي فَوْقَهُ فِي الْعِلْمِ بِمِقْدَارِ بُرَّةٍ أَوْشَعِيْرَةٍ

“Perbedaan derajat dalam kepercayaan terjadi dikarenakan perbedaan tingkat keilmuan dan kebodohan. Barangsiapa yang sedikit ilmunya, maka imannya semisal (seberat) dzarrah (biji sawi), sedang orang yang lebih banyak ilmunya, maka imannya seberat burrah (biji gandum) atau sya’īrah(tepung).”

Perbuatan hati

Tidak semua orang yang perkataan (kepercayaan) hatinya bertambah, maka akan bertambah pula perbuatan hatinya. Ada penambahan keper-cayaan yang melahirkan penambahan pekerjaan hati dan ada pula yang tidak.

Syakhul Islam Ibnu Taymiyyah –Rahimahullah– berkata:[13]

“Kepercayaan yang melahirkan amal hati lebih sempurna dari keper-cayaan yang tidak melahirkan amal hati. Ilmu yang diamalkan oleh pemiliknya lebih sempurna dari ilmu yang tidak diamalkan. Contoh-nya; apabila ada dua orang yang sama-sama mengetahui bahwa Allah adalah haq, Rasul-Nya adalah haq, syurga dan neraka adalah haq.

Bagi orang pertama ilmu tersebut melahirkan kecintaan kepada Allah, takut kepada-Nya, kerinduan kepada syurga dan katakutan dari neraka. Sedangkan pada orang kedua, ilmunya tidak melahirkan yang demi-kian, maka ilmu orang yang pertama lebih sempurna dari ilmu orang yang kedua.”

Perkataan lisan dan perbuatan anggota badan

Apabila kepercayaan hati pada pekerjaan hati bertambah karena keta-atan kepada keduanya, maka keimanan seseorang pada dua sisi tersebut akan bertambah, demikian pula dengan imannya secara keseluruhan. Sebaliknya, apabila dalam hati serta anggota badan dan lisan terjadi ke-maksiatan, maka kemaksiatan tersebut akan mengurangi keimanan sese-orang.

Hadits-Hadits Yang Menunjukkan Bahwa Amal Perbuatan Masuk Dalam Pengertian Iman

Hadits tentang syu'batul iman (cabang-cabang keimanan).

الإيمان بضع وسبعون شعبة فأفضلها لآ إله إلا الله ، وأدناها إماطه الأذى عن الطريق

"Iman ada tujuh puluhan cabang, Yang paling utama adalah perkataan La Ilaaha Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu di jalan." (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Bukhari, ada enam puluhan cabang)

Kalau iman adalah akar, maka ia memiliki cabang yang banyak. Dan setip cabangnya disebut iman, seperti shalat, zakat, amalan hati seperti malu, tawakal rasa takut dan seterusnya.

Di antara cabang iman ini ada yang apabila tidak ada maka tidak ada pula iman, seperti Syahadat. Dan ada pula yang tidak menyebabkan hilangnya iman jika ia tidak ada, seperti menghilangkan gangguan dari jalan.

Cabang-cabang iman ini juga bertingkat-tingkat, ada yang lebih mendekati dengan cabang syahadat dan ada pula yang lebih mendekati cabang yang terakhir.

Kalau cabang iman disebut juga iman, maka cabang kekufuran juga disebut kufur. Seperti berhukum dengan syariat Allah adalah iman, maka berhukum dengan selainnya adalah kekufuran.

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ أَحَبَّ للهِ وَأَبْغَضَ للهِ وَأعْطَى للهِ وَمَنَعَ للهِ : فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيْمَانَ

"Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan pemberian karena Allah, maka ia telah menyempurnakan imannya." (HR. Tirmidzi)

Mencintai dan membenci adalah amalan hati, sedangkan mengeluarkan harta dan menahannya adalah kesempurnaan iman, karena harta adalah yang paling akhir berkaitan dengan jiwa. Sedangkan badan ada di antara hati dan harta.

Barangsiapa yang awal dan akhir urusannya hanya untuk Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala adalah tuhannya dalam segala kondisi dan tidak akan ada kesyirikan pada dirinya.

Abu al-Ma'in an-Nisfi dan yang lainnya menolak hadits ini dengan tuduhan bahwa perawinya lupa makanya ia ragu antara tujuh puluhan dan enam puluhan. dan hadits ini menyelisihi Al-Qur'an.


Bantahan: Keraguan perawi antara tujuh puluhan dan enam puluhan tidak menghilangkan kedzabitannya, karena Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan enam puluhan tanpa ragu.

Sedangkan tuduhan berseberangan dengan kitab. Manakah di dalam kitab yang menyelisihinya? Di dalam kitab hany menunjukkan kesesuaiannya. Tuduhan ini bersumber dari taqlid dan rasa ta'ashub.

Qaul ada dua: perkataan hati, yaitu I'tiqad (keyakinan) dan pe4rkataan lisan, yaitu mengucapkan kalimat yang baik. Sedangkan amal ada dua; amal hati, berupa niat dan ikhlas dan amal jawarih (anggota badan).

Apabila hilang keempat-empatnya maka hilanglah iman secara keseluruhan. Apabila hilang tashdiq (pembenaran) dengan hati, maka tiada berguna bagian-bagian iman yang lain, karena tashdiqnya hati syarat bergunanya bagian yang lain. Dan apabila tashdiq hati masih ada, sedangkan bagian-bagiannya hilang maka ini-lah tempatnya perang.

Jawarih yang tidak taat disebabkan tidak adanya ketaatan hati. Karena kalau hati taat dan tunduk patuh, pasti jawarih menjadi taat dan tunduk patuh juga. Sesuai sabda Rasulullah saw: "Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging jika ia baik, maka akan baik pula seluruh badan dan apabila ia rusak maka rusak pula seluruh badan, ketahuilah bahwa dia itu adalah hati."


Barangsiapa hatinya baik, maka pasti baik pula badannya, bukan sebaliknya.

Penyebutan Iman Dan Islam Secara Beriringan Bukan Berarti Terlepasnya Satu Dari Yang Lainnya

Iman terkadang disebut secara terpisah dari amal dan Islam. Dan terkadang digandenga dengan amal shalih dan terkadang pula dengan Islam. Iman yang disebutkan secara tersendiri mencakup amal, berdasarkan surat Al-Anfal:2.

Di dalam al-Qur'an lafadz Iman, jika disebut secara global (umum/independen), maka yang dimaksud adalah lafadz al-Birr (kebaikan), Taqwa, dien dan dienul Islam.

Para sahabat bertanya kepada Nabi etentang Iman, lalu Allah Ta’ala menurunkan surat Al-Baqarah: 177.

Sabda Nabi e kepada utusan Abdul Qais: "Aku perintahkan kalian untuk beriman kepada Allah Ta’ala yang Esa. Apakah kalian tahu apa itu Iman? Syahadat "La Ilaha IllAllah Ta’ala Wahdahu La Syarikalah",(syahadat bahwa tiada Illah kecuali Allah yang Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya), menegakkan shalat, mengeluarkan zakat dan kalian tunaikan seperlima dari harta ghanimah." 

Maksudnya: Iman kepada Allah Ta’ala dengan Iman dalam hati, karena tanpa keimanan hati tiada berguna amalan Iman. Ini adalah dalil yang jelas bahwa amal masuk ke dalam pengertian Iman.

Hal ini seperti keberadaan dua kalimat syahadat. Salah satunya adalah bagian dari yang lain yang saling berkaitan dalam makna dan hukum, maka seolah-olah seperti sesuatu yang satu. Begitu juga antara Iman dan Islam. Tidak ada Iamn bigi orang yang tidak Islam, dan tidak ada Islam bagi orang yang tidak beriman. Seorang mukmin tidak akan tegak imannya tanpa Islam, begitu juga tidak syah Islam seseorang tanpa Iman.


Bukti-buktinya:

Lafadz kafir bila disebut sendirian dengan ancaman akhirat, masuk di dalamnya orang-orang munafik. Dan apabila disebut bersama, kafir berarti orang yang menampakkan kekafirannya adapun munafik; orang yang beriman dengan lisannya sedangkan hatinya tidak beriman.

Begitu juga lafadz birr (kebaikan) dan takwa, dosa dan 'udwan (permusuhan), taubat dan istighfar dan lafadz fakir dan miskin.

Ayat yang membedakan keduanya adalah surat Al-Hujurat: 14

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu."

Menurut para mufassirin, 'kami telah tunduk',

Adalah kami tunduk dengan amalan-amalan dzahir kami. Mereka adalah orang-orang munafik.

Mereka adalah orang-orang beriman yang sempurna imannya, mereka bukan orang-orang munafik. Mereka seperti pembunuh, pezina yang dinafikan imannya. Dan ini adalah pendapat yang lebih rajih.

Kaidah dalam masalah Iman dan Islam adalah: إِذَا اجْتَمَعَا اِفْتَرَقَا وَإِذَا افْتَرَقَا اِجْتَمَعَا   "Apabila keduanya bersatu, maka masing-masing punya makna sendiri, dan apabila berpisah (penyebutannya) maka maknanya bersatu (sama).
Pendapat-Pendapat Tentang Istitsna' (Pengecualian) Dalam Iman

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Yang dimaksud dengan pengecualian dalam masalah iman adalah seperti seorang berkata,”Saya seorang mukmin, Insya' Allah

Tentang masalah ini para ulama berselisih pendapat: ada yang mewajibkannya, ada yang mengharamkannya dan ada yang membolehkannya.

1.             Mewajibkannya. Mereka memiliki dua alasan.

a.      Maksud Iman adalah apa yang dibawa mati manusia. Manusia menjadi kafir atau mukmin di sisi Allah Ta’ala ketika matinya. Inilah alasan yang dipilih golongan Kalabiyyah. Kelompok ini-pun terlalu berlebihan sehingga mereka tetap membaca Istitsna' dalam perkara yang pasti/ tanpa keraguan.

b.      Iman yang mutlak mencakup pelaksanaan seluruh apa yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada hambanya dan meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya. Maka orang yang menyatakan Iman tanpa beristitsna' menganggap suci dirinya. Inilah alasan yang dipegang kaum salaf dalam beristitsna'.

2.             Mengharamkannya. Karena orang berististna dia masih ragu dengan keimanannya. Mereka beralasan bahwa Kata "Insya Allah " dalam QS. Al-Fath;27, kembali kepada rasa aman dan takut. Adapun masuk masjidil haram adalah kepastian.

Sanggahan: Makna "Insya Allah " dalam surat Al-Fath: 27, adalah sebagai tahqiq/penguat untuk kata masuk, bukan keraguan.

3.             Membolehkan dan melarangnya dengan catatan. Inilah pendapat yang benar. [14]

Apabila orang ynag beristitsna' bermaksud ragu dalam fundamental imannya maka dilarang. Dan membolehkannya bila yang dimaksud dia seorang mukmin seperti yang disifati Allah Ta’ala dalam surat Al-Anfal: 2-4, Al-hujurat: 15. Atau dia tidak memahami iman pada akhir hayatnya atau dia mengaitkan dengan kehendak Allah Ta’ala tanpa keraguan.

Dan pendapat inilah yang diambil oleh Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abu Al-Baqa’ Al-Futuhy,” Boleh mengaku beriman dengan pengecualian seperti seorang mengatakan,”Saya beriman Insya' Allah Y”, pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi’i dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud”. [15]









Daftar Pustaka

1.  Nawaqidhul Iman Al I`tiqadiyah karya  Dr. Muhammad ibn Abdullah ibn 'Ali Al-Wuhaibi

2.  Kitab Tauhid karya  Syaikh Utsaimin

3.  Ma'arijul Qabul Karya  Hafidz bin Ahmad AL-Hakimi

4.  Majmu' Fatawaa karya Ibn Taimiyyah

5.  Al-Īmān Al-Awsath (Maktabah al-Furqān & Makhtabah al-Īmān)

6.  Fath al-Bāri karya Ibnu Hajar Al-Asqalani

7.  Al-Īmān, karya Az-Zindani











[1] HR. Muslim, kitab "Fadhailus Sahabat" no. 2531

[2] Nawaqidhul Iman Al I`tiqadiyah, Dr. Muhammad ibn Abdullah ibn 'Ali Al-Wuhaibi: 1/ 31-32

[3] Nawaqidhul Iman Al I`tiqadiyah; Dr. Muhammad ibn Abdullah ibn 'Ali Al-Wuhaibi: 1/ 32

[4] Nawaqidhul Iman Al I`tiqadiyah; Dr. Muhammad ibn Abdullah ibn 'Ali Al-Wuhaibi: I/ 35-36

[5] Kitab Tauhid, Syaikh Utsaimin: 2/ 2-3

[6] Lihat Ma'arijul Qabul, Hafidz bin Ahmad Al-Hakimi: II/ 31.

[7] Ibn Taimiyyah menyebutnya sebagai perbedaan ungkapan saja (Majmu' Fatawaa VII: 297).

[8] HR. Bukhari (6243), Muslim (2657) dan Abu Daud (2152)

[9] Dikeluarkan oleh Abdur Razak dan Imam Ahmad dari jalan Ma'mar.

[10] Nawāqidh al-Īmān al-I’tiqādiyyah, Dr. Muhammad ibn Abdullah ibn 'Ali Al-Wuhaibi :1/91-93.

[11] al-Īmān al-Awsath (Maktabah al-Furqān & Makhtabah al-Īmān), hal. 106.

[12] Fath al-Bārī,Ibnu Hajar Al-Asqalani: 1/103.

[13] Al-Īmān, Az-Zindani , hal. 221.



[14] Kitab Al-Iman, Az-Zindani, hal. 140

[15] Syarah Al-Kaukabul Munir, hal. 417.


0 komentar

Posting Komentar