MANISNYA IMAN

Diposting oleh Ahsanul Huda Sabtu, 08 Mei 2010

Oleh: Ahsanul Huda


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  (ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ)

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna ai berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab At-Tsaqofi ia berkata, telah menrceritakan kepada kami Ayyub , dari Abi Qilabah berkata, dari Annas bin Malik Ra berkata bahwasanya Rasullullah bersabda: Tiga perkra yang apabila ada pada diri Sseorang maka niscaya akan dapat merasakanmanisnya iman : Hendaklah Allah dan Rasullullah lebih dicintai dari pada yang lainya, dan hendaklah tidak mencintai seseorang dan benci kepada seseorang keculai karena Allah, dan hendaklah ia benci kepada kekufuran sebagaimana ia benci kalau di campakkan ke dalam api neraka." ( HR. Bukhari )

    * (Muhammad bin al Mutsanna) adalah Abu Musa al Unaza.
    * Syeikh Abu Muhammad bin Abi Hamrah berkata : Allah menggunakan ungkapan manis dalam hadits ini karena Dia menyerupakan iman seperti pohon, sebagaimana firman-Nya : “Perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik”.
    * Kalimat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kalimat ikhlas dan pohonnya adalah dasar iman, rantingnya adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, daunnya adalah kebaikan yang senantiasa diperhatikan oleh seorang mukmin, sedangkan buahnya adalah ketaatan.
    * Kalimat  وأن يكره أن يعود فى الكفر  kata yaudu bersabung dengan huruf fii bukan ila yang berarti istiqror (penetapan).

Tanbih : Bahwa semua rijal sanad dalam hadits ini adalah Bashoriyyun (ahlu Bashroh).


Fawaidh Hadits :

    * Isyarat agar senantiasa mempercantik diri dengan amalan-amalan fadhilah dan menjauhkan diri dari amalan-amalan yang buruk.
    * Cinta kepada Allah ada dua macam : pertama; fardu yaitu cinta terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-Nya serta rela terhadap apa yang telah ditetapkan Allah. Kedua; nadb yaitu senantiasa mengerjakan amalan-amalan yang sunnah dan menjauhi perkara yang syubhat.
    * Adapun cinta kepada Rosul juga sama dengan kecintaan kepada Allah, hanya saja diikuti dengan menempuh jalan yang ditempuh oleh beliau dan ridho dengan apa yang telah disyariatkan oleh beliau.
    * Rosul menggunakan kata  مما سواهما  agar hal itu mencakup semuanya baik yang berakal ataupun tidak.
    * Barang siapa mengaku mencintai Allah tetapi dia tidak mencintai Rosul maka kecintaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali, karena Allah berfirman :


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

Adapun firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

    * Ayat di atas mengulang kata atii’u dalam kata Rosul yang itu berarti ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya adalah mutlak, adapun ketaatan kepada pemimpin adalah ketaatan yang terikat tidak mutlak.
    * Imam Muhyidin berkata : “Ini adalah hadits yang agung dan juga merupakan perkara ushul dalam agama. Adapun makna manisnya iman adalah merasakan kelezatanya dalam ketaatan dan dalam memikul beban”. (hal 78)


Bagaimanakah Mencintai Allah Ta’ala?

Dalam rangka mencintai Allah, maka kita harus mengenalnya dengan baik sesuai informasi Alquran dan Rasulullah saw. Baik itu kaitannya dengan rubibiyah-Nya atau uluhiyah-Nya atau asma wa sifat-Nya serta mengenal hukum-hukum-Nya baik perintah maupun larangan-Nya.

Abdullah Saleh Hadrami mengatakan bahwa mencintai Allah Ta’ala adalah patuh dan tunduk dengan mengagungkan, memuliakan, takut dan mengharapkan.

Termasuk cinta kepada Allah Ta’ala adalah mencintai tempat-tempat yang dicintai Allah Ta’ala, seperti: Makkah, Madinah dan masjid-masjid pada umumnya.

Juga mencintai waktu-waktu yang dicintai Allah Ta’ala, seperti: Bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, penghujung malam dll.

Mencintai orang-orang yang dicintai Allah Ta’ala, seperti: Para nabi dan rasul, para malaikat, shiddiqin, syuhada dan shalihin.

Termasuk cinta kepada Allah Ta’ala pula adalah mendahulukan apa yang dicintai Allah Ta’ala daripada kesenangan, syahwat dan keingininan diri sendiri.

Termasuk cinta kepada Allah Ta’ala adalah membenci apa dan siapa yang dibenci Allah Ta’ala , yaitu dengan membenci orang-orang kafir, munafik, fasik dan para pelaku maksiat. Kita wajib baraa’ dan berlepas diri dari mereka, karena termasuk pembatal cinta ini adalah sikap walaa’ (loyal dan cinta) kepada mereka.

Apa Saja yang Menghantarkan Kita Mencintai Allah?

Menurut Ibnul Qayyim, ulama abad ke -7, ada 10 hal yang menyebabkan orang mencintai Allah SWT:

   1. Membaca Alquran dan memahaminya dengan baik
   2. Mendekatkan diri kepada Allah melalui media shalat sunah sesudah shalat wajib.
   3. Selalu menyebut dengan berdzikir dalam segala kondisi dengan hati, lisan, dan perbuatan
   4. Mengutamakan kehendak Allah di saat berbenturan dengan keinginan hawa nafsu.
   5. Menanamkan di dalam hati asma dan sifat-sifat Allah dan memahami maknanya.
   6. Memperhatikan karunia dan kebaikan Allah kepada kita baik nikmat dhahir maupun nikmat batin.
   7. Menundukkan hati dan diri ke haribaan Allah.
   8. Menyendiri bermunajat dan membaca kitab suci-Nya di waktu malam saat orang sedang lelap tidur.
   9. Bergaul dan berkumpul bersama orang-orang shaleh serta mengambil hikmah dan ilmu mereka.
  10. Menjalankan segala sebab yang dapat menjauhkan kita dari pada Allah.

Tanda-tanda cinta kepada Allah

Ibrahim bin Al Junaid berkata, "Tanda kebenaran cinta seorang pecinta ada enam perkara :

   1. Selalu dzikir dengan hatinya.
   2. Mengutamakan mencintai tuannya dari pada dirinya sendiri dan seluruh makhluk yang ada.
   3. Senang dengan-Nya dan merasa geram pada setiap orang yang hendak memutuskan hubungan denganNya.
   4. Rindu untuk bertemu dengan-Nya dan melihat wajah-Nya.
   5. Ridho kepada-Nya dari setiap kesempitan dan kesusahan yang menimpanya.
   6. Mengikuti Rasul-Nya. [1]

Buah dari pada cinta kepada Allah

Buah dari pada cinta kepada Allah sangat banyak sekali, diantaranya :

1.      Allah akan saddadahu dalam pendengarannya, penglihatannya, penyerangan dan jalannya.

2.      Cinta kepada Allah menyebabkan seorang hamba dikabulkan doanya dan menolongnya dari hal yang ditakuti. Rasulullah saw bersabda :

3.      Cinta kepada Allah akan menumbuhkan kegembiraan hati

4.      Yahya bin Abi Katsir berkata, "Kami telah memperhatikan, tapi kami tidak menemukan sesuatu yang lebih melezatkan dari pada cinta kepada Allah dan mencari ridhauNya.[2] Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Hati itu tidak akan merasakan kesenangan dan kelezatan kecuali dalam kecintaan kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan apa yang dicintai-Nya, dan tidaklah mungkin akan mendapatkan kecintaan-Nya kecuali dengan berpaling dari setiap yang dicintai  selain-Nya. Ini adalah hakekat 'Laa ilaaha illallah', dan ia merupakan millah Ibrahim al kholil alaihis salam dan semua para nabi dan rasul.[3]

5.      Jika seorang hamba cinta kepada rabnya, maka Allah akan mencintainya dan juga penduduk langit. Rasulullah bersabda,

إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحْبِبْهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ  السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ

Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memanggil Jibril, sesungguhnya Allah mencintai si Fulan maka cintailah dia!. Maka Jibrilpun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru penduduk langit, "Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia!. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diterima di bumi.[4]

6.      Allah akan menjaganya dari tertimpanya suatu kejelekan.

Sayyid Sabiq berkata, " Jika Allah mencintai manusia maka Dia akan menunjukinya suatu kebaikan, dan menolongnya untuk sampai pada tujuan yang paling tinggi, mengangkat derajatnya dan menjaganya dari kejelekan yang menimpanya atau gangguan yang didapatinya.[5]

Beberapa Bukti Cinta Kita Kepada Rasulullah (sallallahu alayhi wasalam)

Walaupun cinta sebenarnya adalah amalan hati, namun kebenaran cinta mestilah dibuktikan dalam bentuk nyata, apakah dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Sudah menjadi adat kebiasaan bahwa apa saja dakwaan tidak akan diterima kecuali jika ada buktinya, sebab jika setiap dakwaan manusia diterima maka akan musnahlah neraca keadilan dan kebenaran.

Dan selagi dakwaan cinta kepada Allah, rasulNya dan orang-orang saleh tidak diperlukan pembuktiannya, maka selama itulah berarti kita memberi jalan kepada para pendusta berbuat bid’ah dan khurafat sesuka hati dalam masyarakat.

Di antara bukti cinta kita kepada Rasul adalah sebagai berikut:

1.      Patuh dan mengikuti ajaran Rasulullah.

Kepatuhan seseorang terhadap ajaran Rasulullah adalah bukti yang paling kuat menandakan kebenaran cintanya. Tanpa mematuhi ajarannya membuktikan kepalsuan dakwaan cintanya. Bukti paling besar menunjukkan kecintaan seseorang kepada Rasulullah adalah dengan taat dan mengikutinya. Dan sungguh Allah telah menjadikan ittiba’un Nabi (mengikuti nabiNya) sebagai bukti cinta kepada Allah, maka Allah akan mencintainya jika mengikuti nabiNya.

Firman Allah:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)

Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini menjadi ketetapan hukum kepada orang yang mengaku cinta Allah tetapi tidak berada di atas jalan Muhammad, berarti ia dusta dengan dakwaannya itu, hingga ia mengikuti syare’at Muhammad pada seluruh perkataan dan perbuatan. Sebagaimana ditetapkan dalam sebuah hadits:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak pernah kami perintahkan maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari)[6]

Al-Hasan Al-Basry dan para salaf berkata: Suatu kaum mendakwa bahwa mereka cinta kepada Allah, lalu Allah menguji mereka dengan menurunkan ayat ini (Katakanlah: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku…) (Ali Imran 31).[7]

Yang benar dari mencintai nabi adalah mentaati dan mengikuti serta lebih mementingkan apa yang dicintai Allah dan RasulNya daripada diri sendiri. Pengaruh yang Nampak adalah mencintai apa yang dicintainya dan membenci apa yang dibencinya.

Dikuatkan oleh Al Qadhi Iyadh berkata, “Yang benar dalam mencintai nabi terdapat dalam tanda-tanda berikut dan yang paling utama adalah Mengikuti dan mengamalkan sunnah-sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatannya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, beradab dengan adabnya dalam keadaan susah maupun lapang, disenangi maupun tidak. Sebagaimana firman Allah:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)

Dan mengutamakan apa yang disyareatkannya daripada hawa nafsu dan syahwatnya, seperti firman Allah:

وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

 “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya.” (Al Hasyr: 9)[8]

Banyak nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah yang menjelaskan besarnya ittiba’ dan keterangan akan pentingnya. Sesungguhnya kebahagiaan seorang Muslim di dunia dan akhirat adalah dengan berdiri di atas ittiba’ (mengikuti) nabi, dan celakanya seseorang disebabkan karena menyelisihi apa yang datang dari Rasulullah.

2.      Memuliakan (ta’dzim) dan menghormati beliau serta berakhlak kepadanya.

Ta’dzim kepada nabi adalah menempatkannya pada maqam kenabian dan risalah dalam berakhlak dan menghormatinya, dan ini merupakan bentuk cinta yang mulia.

Ta’dzim kepada nabi terkadang dengan hati, lisan dan anggota badan. Maka ta’dzim dengan hati adalah meyakini kedudukannya sebagai Rasul yang dipilih Allah dengan risalahNya, mengkhususkannya dengan kenabian, meninggikannya dengan kekuasaanNya dan mengutamakannya dari seluruh makhluk di alam ini, sebagaimana harus mengedapankan cintanya daripada diri, anak, orang tua dan manusia seluruhnya.

Ta’dzim dengan lisan adalah dengan memujinya dengan yang menjadi miliknya, atau memujinya dengan apa yang dipuji oleh Allah terhadapnya tanpa berlebihan dan mengurangi, termasuk pula shalawat dan salam atasnya.

Sedangkan ta’dzim dengan anggota badan adalah beramal karena menaati dan mengikutinya, mencintai apa yang beliau cintai, membenci apa yang beliau benci, berusaha menampakkan agama, menolong syareatnya dan menjaga kehormatannya.

Asas ta’dzim kepada nabi adalah dengan membenarkan segala perkhabarannya, mematuhi segala suruhannya, menjauhi segala larangannya dan beribadat kepada Allah dengan cara yang disyariatkannya. Barangsiapa yang tidak memenuhi asas ta’dzim di atas maka rusaklah ta’dzimnya kepada Rasul.[9]

Ada dua kemungkinan yang dapat merusakkan ta’dzim seseorang kepada Rasulullah, yaitu:

Pertama: Tafrit maknanya mengurangi hak-hak Rasul seperti meragukan kejujuran, keadilan dan kebenaran yang beliau bawa, meninggalkan selawat dan salam terhadapnya, menghina sunnahnya dan lain-lainnya.

Yang terkait dengan al Jufa’ adalah meninggalkan shalawat dan salam atas nabi baik lafadz maupun tulisan, atau meremehkan petunjuk dan sunnahnya serta kurangnya perhatian terhadapnya, atau memuliakan para pemikir, kitab, atau pemimpin yang tidak menghiraukan Rasulullah, padahal mereka tidak akan mungkin sampai pada derajat salah satu dari pada sahabat.

Sungguh para ulama salaf ketika diceritakan tentang nabi atau dibacakan satu hadit dari sekian hadits, maka akan Nampak sikap hormat dan akhlak yang mulia mereka tunjukkan, seakan nabi berada di depan mereka bahkan ada juga yang menangis ketika diceritakan tentang nabi. Muhammad bin AL Munkadir ketika ditanya tentang hadits maka beliau akan menangis hingga orang yang duduk di sekitarnya merasa kasihan kepadanya. Abdurrahman bin Mahdi jika membaca hadits nabi maka beliau akan menyuruh orang yang hadir untuk diam dan berkata dengan firman Allah Al Hujurat: 2, beliau menafsirkan bahwa wajib untuk diam ketika dibacakan hadits nabi dan apa yang didengar dari sabda nabi.

Demikian para salaf berakhlak terhadap Rasulullah dan sunnah-sunnahnya, maka bagaimana dengan kita berakhlak dan hormat kepada Rasulullah? Kita memohon kebaikan kepada Allah.

Kedua: Ifrat maknanya melampaui batas, menyanjung beliau melebihi martabatnya yang telah ditetapkan oleh Allah seperti mendakwa beliau tahu perkara ghaib secara mutlak, alam ini berasal daripada nur beliau, beliau telah wujud sebelum wujudnya alam ini dan lain-lainnya.

Allah telah menjelaskan dalam Al Qur’an tentang berakhlak terhadap nabi dan menghormatinya, apa yang semestinya dilakukan oleh setiap Muslim dalam berakhlak terhadap Rasulullah pada ayat-ayat terpisah dan uslub-uslub berbeda. Seperti firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (1) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2) إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (3) إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (4) وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang Telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka Sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat: 1-5)

Atas sebab inilah maka Imam Abdul Hadi Al Muqaddasy membagi ta’dzim kepada dua iaitu: Ta’dzim masyru’ dan Ta’dzim ghairu masyru’.

Ta’zim masyru’ (ta’zim yang disuruh) iaitu ta’zim atau sanjungan yang disukai olih orang yang disanjungi. Dia reda dengan sanjungan itu, malah disuruh berbuat demikian dan mendapat ganjaran bagi orang yang melakukannya.

Ta’zim ghairu masyru’ (ta’zim yang dilarang) iaitu ta’zim yang dibenci olih orang yang disanjung itu, dia murka dan diancam dengan dosa bagi yang melakukannya. Ini sebenarnya bukan ta’zim tetapi sebenarnya ghuluw atau ifrat (melampau). Atas sebab inilah golongan Syiah Rafidhah bukanlah ta’zim kepada Ali Bin Abi Talib kalau mereka mendakwa bahwa Ali itu tuhan, nabi atau bersifat maksum dan lain-lain, sebagaimana orang nasrani bukanlah ta’zim terhadap Isa Bin Maryam kalau mereka sampai mendakwa Isa itu anak Tuhan. Baginda Rasul bersabda:

 "Janganlah kamu keterlaluan menyanjung aku sebagaimana sanjungan yang diberikan orang nasrani terhadap Isa anak Maryam, sesungguhnya aku hambaNya, olih itu panggilan aku Abdullah (hamba Allah) dan rasulNya (pesuruh Allah).[HR Bukhari]

Anas Bin Malik berkata bahwa seorang lelaki (sahabat) berkata kepada Rasulullah: Ya Muhammad, ya penghulu kami, hai anak penghulu kami, hai orang yang paling baik di antara kami, hai anak orang yang paling baik di antara kami. Begitu mendengar sanjungan itu baginda pun bersabda: Hentikanlah kata-katamu itu, janganlah kamu rela digoda syaitan, saya adalah Muhammad Bin Abdullah, hamba Allah dan utusanNya, demi Allah, aku tidak suka kamu mengangkat derjat dan kedudukanku mengatasi kedudukan yang telah dianugerahkan olih Allah Azza Wa Jalla kepadaku. [Hadis ini sanadnya sahih dengan syarat Muslim]

3.      Banyak mengingatinya, rindu melihat wajahnya dan ingin sangat bertemu dengannya. Sabda Rasulullah: 

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من أشد أمتي لي حبا ، ناس يكونون بعدي يود أحدهم لو رآني ، بأهله وماله.

"Orang yang paling aku cintai di kalangan umatku ialah orang-orang sesudahku yang sangat ingin melihat aku (walaupun dengan mengorbankan) keluarganya dan hartanya." (HR Muslim)[10]

Ibnu Asatir menyatakan dalam terjemahnya tentang Bilal Bin Rabah bahwa ketika Bilal akan menghembuskan nafasnya yang terakhir, isterinya sangat sedih sambil menyebut: Waa Wailaah (alangkah malangnya), tetapi pada saat itu Bilal sempat berkata: Waa Farhaah (alangkah gembiranya) karena beliau akan bertemu di alam sana dengan orang yang paling beliau cintai, yaitu Muhammad dan para sahabatnya.

Masih wujudkan perasaan seperti ini dikalangan umat Islam sekarang? Perasaan ini telah lenyap dari alam ini kecuali orang-orang yang mendapat rahmat Allah. Fikiran kebanyakan manusia hari ini dipenuhi oleh sifat ingin berlomba-lomba mengejar kesenangan duniawi yang murah ini sehingga sedikit sekali yang ingat kepada Rasulullah, apatah lagi merindui untuk berjumpa dengannya.

Ingat, bahwa setiap umat akan dibangkit bersama rasul mereka masing-masing saksi pada Hari BerHisab nanti. Nabi Muhammad akan menjadi saksi kita. Tidak perlukan kita kepada syafaatnya, wajarkah kita melupakan orang yang paling berperanan ini?

4.      Mencintai keluarganya, kaum kerabat dan shabat-sahabatnya.

Bukti cinta kita kepada keluarganya dan sahabat-sahabatnya ialah dengan menghormati mereka, mengakui keutamaan mereka, memelihara kehormatan dan kedudukan mereka serta benci kepada orang-orang yang membenci atau menghina mereka. Allah SWT reda kepada meeka, Firman Allah:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah reda kepada mereka dan mereka pun reda kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka syorga-syorga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah 9:100)

Baginda memuji sahabat-sahabatnya, antara lain sabdanya: Sebaik-baik manusia ialah (manusia yang hidup dalam) kurunku, kemudian mereka yang mengikutinya, kemudian mereka yang mengikutinya [HR Bukhari]

5.      Mencintai sunnahnya dan para ulama yang gigih menyebarkannya.

Orang yang paling teguh pegangannya dengan sunnah rasul dan gigih berdakwah menyebarkan sunnah ialah para salaf salih dan pengikut setia mereka yang sehaluan dalam prinsipnya hingga ke hari ini.

Oleh sebab itu kita mestilah hargai perjuangan ulama masa silam dan menjaga kehormatan mereka serta beradab kepada mereka dan memaafkan mereka andaikata terdapat kekeliruan yang tidak disengajakan. Kita mestilah menilai pendapat mereka dengan pemahaman yang positif, karena tujuan mereka tidak lain kecuali untuk menegakkan agama yang benar ini. Ini tidak pula bermakna kita tidak bolih menjelaskan atau memperbetulkan kekeliruan mereka. Itu adalah tugas para ulama hingga hari kiamat.

Yang kita maksudkan ialah kita mestilah berbaik sangka terhadap ulama masa silam dan bersopan dengan mereka karena merekalah pembawa syariat ini, kalaulah Allah tidak jadikan mereka sebagai pemikul tugas ini, barangkali agama ini tidak sampai pada kita.Kalau mereka orang-orang terdahulu yang baik (salaf salih) marilah kita menjadi orang-orang akhir zaman yang baik (khalaf salih).

Jangan pula sampai terjadi: kita ambil manfaat daripada peninggalan atau warisan mereka, tetapi di saat yang sama kita ingkari kelebihan mereka atau kita cari-cari kekurangan mereka sampai akhirnya kita lupakan keutamaan dan jasa baik mereka. Inilah antara lain sebab utama hilangnya keberkatan agama dan ilmu dari kita menerima pandangan mereka, kita kasihi mereka dan kita mohon ampunan kepada Allah untuk mereka. Beginilah sepatutnya sikap orang mukmin sepanjang zaman.

Firman Allah:

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."  (Surah Al-Hasyr 59:10)[11]

Walahu a’alam

Daftar Pustaka

1.  Al-Qur'an Al-Kariim

2.  Fathul Bari

3.  Hadits Arba'in An-Nawawi

4.  Shahih Bukhari

5.  Shahih Muslim

6.  Qo'idah fil mahabbah

7.  At Ta'abbud

8.  Majmu' Fatawa

9.  Ash Sharimul Manki fi ar raddi ala as Subki

10.www.al-nidaa.com







[1]  Al Mahabbah Lillah swt : 70, Qo'idah fil mahabbah : 24

[2] At Ta'abbud : 67

[3] Majmu' Fatawa, 29/32

[4] HR. Bukhari (3209), kitab bad'ul wahyi, bab Malaikat

[5] Islamuna : 63

[6] Shahih Al Bukhari, kitab Al I’tisham, bab idza ijtahada al hakim fa akhth’a khilafa rasul min ghairi  ilmin fahukmuhu mardud, 9/123

[7] Tafsir Ibnu Katsir, 1/358

[8] Asy Syifa, 2/24

[9] Ash Sharimul Manki fi ar raddi ala as Subki, Ibnu Abdil Hadi, hlm. 341-342

[10] Shahih Muslim, kitab Al Jannah wa na’imiha wa ahluha, bab fiman yauddu fu’yatannabi, 4/2178

[11] www.al-nidaa.com.my/makalah/hadits.13-04-2007

0 komentar

Posting Komentar