PERCERAIAN DALAM ISLAM

Diposting oleh Ahsanul Huda Sabtu, 08 Mei 2010

Oleh: Ahsanul Huda

Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-Rum : 21).

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang suami atau isteri melakukan permintaan cerai atau bkhulu’ dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekadar untuk boleh memenangkan perceraian ataua khulu’. Padahal, semestinya persoalan ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).

THALAQ

A.        Definisi  Thalaq

Thalaq secara bahasa berarti mengurai ikatan. Secara syari'at adalah memutus ikatan pernikahan (atas kehendak suami).[1] Thalaq telah dikenal dan dipraktikkan oleh umat-umat terdahulu. Menurut Imam Al-Haramain (semoga Allah merahmatinya) thalaq adalah terminologi Jahiliyah yang dikukuhkan oleh Islam.

1. Thalaq tidak terjadi jika hanya keinginan, dan belum dilafalkan (menurut Jumhurul Ulama')
2. Tetapi menyebut kata 'thalaq' berati thalaq (cerai) walaupun tanpa niat.

B.        Hikmah disyari’atkanya Thalaq

Allah Ta’ala mensyari’atkan pernikahan untuk membangun mahgligai rumah tangga yang bahagia, terbangun atas dasar cinta kasih antara kedua mempelai, dan kasih sayang antara kedua belah pihak, serta untuk mendapatkan keturunan dan menyalurkan nafsu seksual.

Bila kebaikan ini sudah tidak ada, niat dan janji antara keduanya telah pudar disebabkan perangai jelek dari salah satu pihak di antara keduanya. Atau hubungan sudah tidak hamonis lagi, dan faktor-fakotor penyebab lainya yang membawa kepada perpecahan terus menerus yang sulit untuk tercipta lagi ikatan suami istri yan harmonis. Maka dalam kondisi seperti ini Allah mensyri’atkan thalaq sebagai rahmat dan jalan keluarbagi keduanya.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا

“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[2] dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.[3]Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.[4](QS. at-Thalaq : 1)

C.        Hukum thalaq

   1. Haram, jika thalaq termasuk jenis bid'iyyah.
   2. Makruh, jika diputuskan tanpa sebab tertentu padahal masih konsis dalam keisiqamahan.
   3. Wajib, diantara bentuknya adalah adanya Asy-Syiqaq.
   4. Mandub, jika sang istri bukanlah wanita yang 'Afifah, tidak mau shalat atau bejat moralnya selama ia belum bertaubat dan mau meneima nasehat.
   5. ja`iz (boleh), jika memang di dalam pernikahan tidak ada kehangatan cinta karena ketidakampuan pasangan secara biologis.

D.        Lafadz Thalaq

Kata cerai terbagi dua; sharih dan kinayah

Sharih adalah kata yang bermakna cerai dan tidak membutuhkan niat. Alqur'an menggunakan tiga kata sharih yang bermakna cerai.

    * Ath-Thalaq - seperti firman Allah; "Thalaq itu dua kali". (Al-Baqarah: 229)
    * At-Tasrih - seperti firman Allah; "atau menceraikan dengan cara yang ma'ruf" (Al-Baqarah: 229)
    * Al-Mufaraqah - seperti firman Allah; "Atau lepaskanlah mereka dengan baik" (Ath-Thalaq: 2).

Kinayah adalah kata/kalimat yang mengandung makna cerai dan bukan cerai, dan dibutuhkan niat. Kata/kalimat kinayah bermakna cerai jika disertai niat, menurut Ijma'.[5] Sewaktu Rasulullah menyuruh Ka'b bin Malik radhiyallah 'anhu , menjauhi istrinya ia mengatakan kepada istrinya 'ilhaqi bi 'ahliki (kembalilah ke rumah orangtuamu). Tatkala taubatnya diterima oleh Allah[6] Rasulullah tidak memisahkan antara keduanya. Hal ini disebabkan kalimat 'ilhaqi bi 'ahliki adalah kalimat/kata kinayah.[7]

Kata cerai tidak bisa digunakan untuk bercanda, bergurau, berkelakar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ثلاث جد هن جدوهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة 

"Ada tiga hal sungguh-sungguhnya adalah kesungguhan dan berguraunya adalah kesungguhan; menikah, cerai dan rujuk."(HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan 'Ibnu Majah dishahihkan oleh Al Hakim)

E.         Bentuk-betuk Thalaq

Bentuk-bentuk thalaq terbagi menjadi tiga:

1.       Munajjaz: Suami berkata kepada istri “Kamu jatuh thalaq atau aku ceraikan kamu.” Maka thalaqnya jatuh (syah) seketika itu juga, karena tidak memberikan batasan

2.       Thalaq Mudhof: Suami bekata kepada istrinya “Saya thalaq kamu besok pagi, kamu saya thalaq di awal bulan nanti.” Maka thalaq tesebut belum jatuh (syah) sebelum tibanya tempo tersebut.

3.       Thalaq Mu’alla: Suami menjatuhkan thalaqnya  kepada istri dikaitkan dengan syarat tertentu. Hal ini terbagi menjadi dua bagian

a.       Bila maksud ungkapan thalaq suami mengandung unsur peintah atau larangan atau menguatkan keterangan, seperti ucapan suami, ”Jika kamu kepasar,  saya ceraikan kamu”. Bila yang dimaksud adalah larangan, maka tidak jatuh thalaq dan wajib membyar kafarat sumpah bila istri melanggarnya. Kafarat sumpah beupa memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan budak, atau puasa tiga hari.[8]

b.      Bila bermaksud jatuhnya thalaq ketika syarat terpenuhi, sepeti ucapan suami, “ Jika kamu berikan kepadaku ini, maka kamu saya ceraikan,” maka hal ini jtuh thalaq ketika terpenuhi syarat tersebut.

F.         Macam-macam Thalaq

Para Fuqaha telah membagi thalaq menjadi tiga jenis:

   1. Thalaq sunni, yaitu menthalaq istri di waktu suci yang tidak dicampurinya atau mencerainya di waktu hamil. Allah berfirman, "Ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya".[9]
   2. Thalaq bid'i, yaitu menthalaq istri dalam keadaan haidh atau pada waktu suci namun setelah mencampurinya sedang tidak ada kejelasan apakah ia sedang hamil atau tidak. Untuk jenis ini ada yang memahaminya sebagai Khulu'. Ketika 'Ibnu 'Umar radhiyallah 'anhu menceraikan istrinya di waktu haidh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya untuk : merujukinya, menunggunya hingga suci, dan haidh lagi. Setelah suci merujukinya jika ia menginginkan, atau menceraikannya sebelum ia mencampurinya.[10]
   3. Tathliq Ash-Shaghirah (belum haidh), atau Al-Ayisah (monopause), atau yang belum dicampuri semenjak menikah hal ini tidak termasuk dalam kategori thalaq sunni atau thalaq bid'i.

@ Thalaq di lihat dari segi bisa dirujuk dan tidak bisa dirujuk

   1. Thalaq Raj’i

Thalaq Raj’i adalah seorang suami menalaq istrinya yang sudah digauli dengan thalaq satu, maka suami behak merujuknya kembali bila berkenan selama dlam masa iddah. Bila suami merujuknya kemudian menalaknya yang kedua, baginya tetap ada hak merujuknya kembali bila masih dalam masa iddah. Dalam kedua kondisi ini si perempuan statusnya sebagai isri selagi dalam masa iddah, keduanya behak saling mewarisi, dan istri berhak menerima nafkah dan tempat tinggal.

Bagi perenpuan yang di thalaq raj’i baik thalaq satu atau dua, hendaknya tetap berada dirumah suaminya, bisa jadi suami merujuknya kembali. Di sunhkan istri berhias dan bedandan untuk menarik perhatian dan cinta sang suami. Sedangkan sang suami tidak boleh menyuruhnya pergi sehinga habis masa iddahnya.[11]

   2. Thalaq Ba’in

Thalaq ba’in adalah thalaq yang memutuskan tali pernikahan antara suami istri secara total. Jenis thalaq ini ada dua macam:

1.       Thalaq ba’in syugra yaitu thalaq yang kurang dari tiga (thalaq satu dan dua). Bila suami menalaq istrinya dengan thalaq satu sampai habis masa iddah istri tapi tidak merujuknya, disebut dengan thalaq ba’in sughra. Dalam hal ini suami sepeti halnya orang lain, bila ia pingin menikahinya kembali harus dengan akad dan mahar baru tanpa harus dinikahi terlebih dahulu oleh pria lain. Begitu pula halnya dengan thalaq yang kedua, bila suami tidak merujuknya pada masa iddah istri. Bila ingin menikahinya kembali harus dengan akad dan mahar yang baru.

2.       Thalaq ba’in kubra yaitu thalaq tiga. Bila suami menalaq istrinya dengan thalaq tiga, putuslah tali pernikahan antara keduanya untuk selamanya.

Pada masa awal-awal Islam seorang suami berhak merujuki istrinya sekalipun menthalaqnya seratus kali selagi pada masa 'iddah. Islam membolehkan merujuki istri hanya terbatas dua kali thalaq. Pada thalaq kali ketiganya suami tidak boleh merujukinya kembali kecuali jika si bekas istrinya telah menikah dengan pria lain. "Jika sisuami mencerainya (sesudah thalaq kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia kawin dengan suami (pria) lain." [12] Pernikahan antara bekas istri yang telah dithalaq tiga kali bukan hanya sekedar aqad tetapi keduanya harus saling telah merasai.

Bekas istri Rifa'ah yang telah dithalaq tiga kali, dinikahi oleh 'Abdurrahman bin Az Zubair radhiyallah 'anhu seorang pria yang tidak berfungsi kelelakiannya. "Kamu ingin kembali kepada Rifa'ah? tanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ."Tidak boleh, kamu harus merasai madunya, dan ia harus pula merasai madumu".[13] Bahkan agama melarang orang yang melakukan pernikahan dengan niat hanya untuk menghalalkan bagi sisuami pertama.




KHULU’

A.        Pengertian Khulu’

Menurut bahasa, kata khulu’ dengan didhommahkan huruf kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

 ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187).

Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan imbalan  mengambil sesuatu darinya.Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if tidak (tebusan).[14]

Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak definisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahawasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasi suami-isteri dengan keriehaan daripada keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya.[15] Adapan Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus” [16]

B.        HUKUM AL-KHULU’

Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khuatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khuatir bahawa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ (Al-Baqarah : 229).

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Dia menjawab, “Ya”, maka dia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” (HR Al-Bukhari)

Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah,[17] Ibnu Taimiyyah,[18] Al-Hafizh Ibnu Hajar,[19] Asy-Syaukani,[20] dan Syaikh Abdullah Al-Basam,[21] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya.[22]

Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut.[23]

1. Mubah (Diperbolehkan).

Ketentuannya, si wanta sudah benci tinggal bersama suaminya kerana kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khuatir bahawa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” (Al-Baqarah : 229)

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan pernyataannya, bahawasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khuatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini boleh muncul kerana adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, boleh jadi kerana jeleknya akhlak atau bentuk fiziknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya memmerlukan penceraian, kerana khuatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga).[24]

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (mintak cerai) bagi wanita, apabila si isteri membenci akhlak suaminya atau khuatir berbuat dosa kerana tidak dapat menunaikan haknya. Apabila si suami mencintainya, maka disunnahkan bagi si isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian.[25]

2. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Kerana Dua Keadaan.

a). Dari Sisi Suami.

Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar si isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan tuntutan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Janganlah kamu menyusahkan mereka kerana hendak mengambil kembali sebahagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” (An-Nisa : 19)[26]

Apabila suami menceraikannya, maka dia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [27]

b). Dari Sisi Isteri

Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasian suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Semua wanita yang minta cerai (mintak cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya bau syurga” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035)[28]

3. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).

Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka si isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal.[29]

4. Wajib.

Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan

Demikian juga seandainya si suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan si isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Si wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajipan bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun terpaksa menyerahkan harta. Kerana seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur.[30]

C.        Waktu Khulu’

Harus atau dibolehkan bagi seorang suami mengkhulu’ isterinya sama ada dalam waktu suci ataupun haid.

Berlainan keadaannya dengan talak biasa, di mana suami haram menjatuhkan talak ke atas isteri dalam waktu haid. Ini kerana ia akan mendatangkan mudharat pada isteri sebab terpaksa menunggu lebih lama lagi untuk menghabiskan waktu ‘iddahnya kerana kiraan ‘iddah itu bermula dalam waktu suci.

Akan tetapi dalam hal khulu’, diharuskan atau dibolehkan bagi suami mengkhulu’ isterinya dalam waktu haid, kerana khulu’ itu adalah keinginan isteri untuk membebaskan dirinya dari suami. Jadi, tidak berbangkit masalah kemudharatan bagi isteri dalam menunggu waktu ‘iddah yang panjang kerana khulu’ itu adalah kehendaknya.

D.        Rukun – rukun Khulu’

Menurut ulama Mazhab asy-Syafi’e rukun khulu’ itu ada lima perkara:

Rukun Pertama : Al-Mujib (Suami)

Yang dimaksudkan dengan al-mujib ialah penyataan khulu’ dari suami misalnya: “Aku ceraikan engkau atau aku mengkhulu’ engkau dengan lima ratus ringgit”  

Ataupun suami menjawab pertanyaan isteri, misalnya isteri berkata: “Ceraikan aku dengan lima ratus ringgit”. Lalu suami menjawab “Aku ceraikan engkau dengan lima ratus ringgit”.

Disyaratkan bagi seorang suami itu hendaklah ia seorang yang baligh, berakal dan mampu membuat pilihan ( tidak dipaksa ). Maka tidak sah khulu’ seorang kanak-kanak, orang gila dan orang yang dipaksa. Manakala khulu’ suami yang mahjur ‘alahi menurut mazhab asy-Syfi’ie adalah sah sama ada dengan izin wali ataupun tidak. Mahjur ‘alaihi itu ialah orang yang ditegah mengurus hartanya kerana ditakuti dia tidak tahu untuk mengembangkannya atau membazirkannya.

Adapun orang yang muflis dan safih (orang yang tidak boleh membuat keputusan sendiri dengan baik mengenai hartanya) maka khulu’ dari keduanya ini adalah sah.

Oleh itu wajiblah isteri membayar bayaran ganti, dan mestilah diserahkan bayaran ganti itu kepada wali  bagi suami yang safih. Adalah tidak harus diserahkan bayaran ganti tersebut kepada suami yang safih, kerana ditakuti ia tidak dapat mengurus harta tersebut kecuali setelah mendapat izin dari walinya, maka bolehlah diserahkan bayaran ganti itu kepada suami yang safih tersebut.

Jika isteri menyerahkan bayaran ganti itu kepada suami yang safih tanpa pengetahuan wali dan harta itu lenyap, maka wajiblah ke atas isteri membayar mahar mithli. Mahar mithli ialah mahar yang sebanding dengan mahar perempuan-perempuan dalam keluarga isteri yang terdekat misalnya adik-beradik, dan jika tidak ada, hendaklah mengikut jumlah mahar yang menjadi kebiasaan bagi perempuan senegerinya.     

Misalnya, jika mahar bagi kakak atau adik dalam keluarga isteri ialah lima ratus ringgit, maka wajiblah isteri membayar sebanyak jumlah tersebut kepada wali suaminya.

Manakala suami yang muflis pula diharuskan baginya menerima bayaran ganti, kerana pada asalnya ia menepati syarat dan mampu bertindak ke atas hartanya.

Rukun Kedua : Al-Qabil atau al-Mukhtali’

                Maksud al-qabil atau al-mukhtali’ ialah adanya penerimaan lafaz khulu’ sama ada dari isteri itu sendiri atau dari orang lain bagi pihak isteri.

Disyaratkan hendaklah dalam penerimaan lafaz khulu’ itu adanya penyerahan ‘iwadh atau bayaran ganti. Disyaratkan hendaklah penerima itu seorang yang mukallaf iaitu seorang yang bertanggungjawab ke atas dirinya sendiri. Adapun khulu’ seorang kanak-kanak sama ada mumaiyyiz ataupun tidak, atau orang gila tidaklah diambil kira dalam syara’.

Adapun khulu’ ke atas isteri yang safih tidak sah, kerana dia ditegah dari bertindak ke atas hartanya walaupun ada keizinan walinya. Jika ia berlaku maka jatuhlah talak raj’i (talak yang dibolehkan rujuk tanpa akad baru) bukan talak ba’in sughra seperti yang berlaku dalam hukum khulu’.

Jika khulu’ ini berlaku sebelum jima’ ke atas isteri yang safih maka jatuhlah talak ba’in tanpa sebarang bayaran kepada suami.

 Rukun Ketiga : Al- Mua’wad

                Al-Mua’wad ialah barang tebusan yang ditebus oleh isteri dengan menyerahkan bayaran ganti (‘iwadh) kepada suami. Yang dimaksudkan di sini ialah hak suami ke atas isteri dalam perkahwinan, di mana seorang isteri itu adalah di bawah kuasa suaminya. Jika berlaku khulu’ wajiblah bagi isteri membayar bayaran ganti kepada suaminya bagi menebus hak suami itu dalam perkahwinan kerana khulu’ itu adalah atas kehendak isteri.

Disyaratkan hendaklah keadaan kedua suami isteri itu masih terikat dengan perkahwinan.

Rukun Keempat : Al-‘Iwadh

Al-‘iwadh ialah bayaran ganti yang diambil oleh suami daripada isteri sebagai tebusannya dalam menuntut khulu’. Sama ada ia adalah mahar yang diberikan oleh suami semasa pernikahan seperti yang disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma menganai isteri Tsabit bin Qais. Sabda Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam:

...................قال رسول الله: اقبل الحديقة وطلقها تطليقة

“Bersabda Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit: “Terimalah kembali kebun itu dan ceraikanlah ia dengan satu talak”.[31] 

Ataupun bayaran ganti itu berbentuk harta atau wang, sama ada nilainya sedikit atau lebih dari mahar yang asal ataupun dalam bentuk hutang ataupun manfaat, kerana tidak ada disebutkan kadar tertentu bagi bayaran ganti ini. [32] Oleh itu setiap apa yang harus dijadikan mahar, maka haruslah ia  dijadikan sebagai bayaran ganti atau tebusan dalam khulu’.

Disyaratkan pada bayaran ganti ini beberapa perkara:

1.    Hendaklah ia berharga atau bernilai menurut pandangan syara’.

2.    Hendaklah harta itu diketahui atau dimaklumi.

3.    Hendaklah harta itu boleh diserahkan kepada orang lain.

4.    Dapat dimiliki sepenuhnya.

F.      Persyaratan Khulu’

Jika persengketaan  antara suami isteri kian parah dan tidak mungkin lagi diambil langkah-langkah kompromistis supaya mereka bersatu kembali atau pihak isteri sudah menggebu-gebu untuk bercerai dengan suaminya, maka ia boleh menebus dirinya dari kekuasaan suaminya dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya sebagai ganti dari buruknya keadaan yang menimpa suaminya karena bercerai dengannya, Allah SWT berfirman, ”Dan tidak halal bagi kamu mengambil dari sesautu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya (suami isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi saw. lalu bertutur, ”Ya Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit karena, imannya dan bukan (pula) karena perangainya, melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ”Maka mau engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya, ”Ya (mau)” kemudian ia mengembalikannya kepadanya dan selanjutnya beliau menjawab suaminya (Tsabit) agar mencerainya.”[33]

G.       Peringatan Keras Terhadap Masalah Khulu’

Dari Tsauban  r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap wanita yang mau talak kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan agama, maka haram baginya mencium seberbak surga.” [34]

“Darinya (Tsauban) r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda, “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita munafik.”[35]

Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit Isterinya

Manakala seorang suami tidak senang kepada isterinya dan benci kepadanya karena suatu hal, maka hendaklah mentalaknya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Ia tidak boleh manahannya dan mempersulitnya untuk menebus dirinya sendiri. Allah SWT berfirman, ”Dan apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepada engkau dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah:231).

Dan,  Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagai dari apa yang telah kamu berikan kepadanya terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah  menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’:19).

H.       Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak

Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.

Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’.

Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.

Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya.

Ketiga: Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).

Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’.

Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh.

Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga.

Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230).

Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah  dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para shahabat Nabi saw. [36]

Wallahu a’lam


Daftar Pustaka

   1. Al-Qur'an dan Terjemahnya
   2. Tafsirul Qur'anil 'Azhim, Al-Hafizh 'Imaduddin 'Isma'il bin Katsir, cetakan pertama, Riyadh, Maktabah Darus Salam, 1413/1992
   3. Fathul Qadir, Muhammad bin 'Ali bin Muhammad Asy-syaukani, raja'ahu wa 'allaqa 'alaih Hisyam Al-Bukhari dan Khudr 'Ukari, Beirut, Al-Maktabah Al-'Ashriyyah, 1417/1997
   4. Subulus Salam, Muhammad bin 'Isma'il bin Shalah Ash-Shan'ani, shahahahu wa 'allaqa 'alaih DR. Husain bin Qasim Al-Husaini, Mathbu'at Jami'atul Imam Muhammad bin Su'ud Al-Islamiyyah, 1408
   5. Al-Qadhi 'Abul Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd Al-Andalusi, Semarang, Maktabah wa Mathba'ah Toha Putra.
   6. Kifayatul Akhyar, Taqiyyuddin 'Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi'i, Surabaya, Syarikah Nur 'Amaliyah
   7. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Jakarta, Balai Pustaka Indonesia, 1995
   8. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani
   9. Jami Ahkamun Nisa, Musthafa Al-Adawi, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cetakan Pertama, Tahun 1419H.
  10. Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah
  11. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
  12. Shahih Fiqhis Sunnah, Sayyid Sabiq
  13. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H
  14. Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah)







[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Jakarta, Balai Pustaka Indonesia, 1995

[2] isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu Suci sebelum dicampuri. tentang masa iddah lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4.

[3] yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, besan dan sebagainya.

[4] Suatu hal yang baru maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.

[5]  Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi'i, Kifayatul Akhyar 2/86 dan 84

[6]  At-Taubah/19:118

[7]  Taqiyyuddin 'Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi'i, Kifayatul Akhyar 2/84-86

[8] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijiri, al-Kamil : 1026

[9]  QS. at-Thalaq: 1

[10] Mutafaqun ‘alaih

[11] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijiri, al-Kamil : 1029

[12] al-Baqarah: 230

[13] HR. Asy Syafi'i, 'Abdurrazzaq, 'Ibnu 'Abi Syaibah, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i. 'Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari 'A'isyah - semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua

[14] Fiqhus Sunnah II:253, Manarus Sabil II:226 dan Fathul Bari IX:395

[15] Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340

[16] Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468

[17] Al-Mughni, 7/51

[18] Majmu Al-Fatawa, 32/282

[19] Fathul Bari, 9/315

[20] Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260

[21] Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468

[22] Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260

[23] Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah, 3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa, 4/153-154 dengan beberapa tambahan.

[24] Fathul Bari, 9/318

[25] Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469

[26] Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469

[27] Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343

[28] Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342

[29] Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342

[30] Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343

[31] HR. Bukhari

[32] Perkara ini berdasarkan firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah, ayat 229 di atas

[33] (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2036 dan Fathul Bari IX:395 no:5276).

[34] Shahih: Shahihul Ibnu Majah no:1682, “Aunul Ma’bud VI:308, no:2209, Ibnu Majah I:662 no:20555 dan Tirmidzi II:329 no:1199

[35] Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6681 dan Tirmidzi II:329 no:1198

[36] Zaadul Ma’ad V:199

0 komentar

Posting Komentar