HUKUM MENINGGALKAN SHAUM BAGI WANITA HAMIL, MENYUSUI DAN KAFAROHNYA

Diposting oleh Ahsanul Huda Sabtu, 08 Mei 2010

Oleh: Ahsanul Huda

Dalam kajian ilmiyah masalah hukum berbuka shaum bagi wanita hamil, menyusui dan kafarohnya ini. Marilah kita mencoba melirik dan menengok para salafus shalih dalam memutuskan hukum di atas, kita kaji materi ini sesuai dengan kaidah salafus shalih (ahlus sunnah wal jama’ah) dalam membahasnya dan kita merujuk kepada keputusan yang telah mereka putuskan, karena mereka adalah ahlul wasath, mu’tadil (proporsional) dalam bersikap dan menentukan hukum, tidak ifrod (berlebih-lebihan) dan juga tidak tafrid (loyo), sehingga kita dapat terbebas dari pemikiran ghullatut thowaif (kelompok-kelompok yang berlebih-lebihan), seperti Rafidhah, Khawarij, Mu’tazilah dan Murjiah serta thaifah-thaifah sesat lainnya.

Dalam kajian ini, kita ingin kembalikan masalah ini kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah atas dasar pemahaman salafus shalih, sehingga keputusan yang kita ambil tidak kelihatan kaku atau terlalu memudahkan masalah. Maka untuk melihat masalah tersebut dengan jelas dan proporsional akan kami hadirkan pendapat para ulama imam madzhab.

A.        Pendahuluan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shoum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya shoum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak shoum) membayar fidyah, (yaitu) : Memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan shoum lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui”. (QS. Al Baqarah : 183-184).

Adapun tafsir ayat (Artinya : “.....Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, (jika mereka tidak shaum) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin ..... ”). Hadits dikelurkan dari Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata tentang ayat ini : “Barangsiapa yang tidak mampu shaum kecuali dengan kesungguhan (susah payah), maka baginya boleh berbuka dan memberi makan satu orang setiap hari, dan perempuan hamil, menyusui serta orang tua yang lanjut usia (tua renta) dan orang-orang yang sakit terus menerus”. [1]

B.        Syubhat (QS. Al-Baqarah : 184)

Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa ra. Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari seorang miskin.[2] Oleh karena itu Ibnu Abbas ra dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan).  "Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang  sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha', kemudian dimansukh oleh ayat.  "Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"  (Al-Baqarah : 185)

Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin.[3] Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka menyangka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan !

Yang benar dan tidak diragukan lagi bahwa ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih ra menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istisna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar.[4] Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan pengertian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i terdahulu dengan dalil syar'i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.

Ayat di atas bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari Sunnah adalah apa yang diriwayatkan  Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa ra: "Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah ra, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat :  "Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"[5] Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?  Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur'an adapun hukum kedua dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : "Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya".  Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal ra : "Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah saw datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat.  "Artinya : Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kalian berpuasa ...."[6] Kemudian Allah menurunkan ayat.  "Artinya : Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur'an ...." [7]Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya ...." [8]

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.  Oleh karena itu Ibnu Abbas ra sesuai sahabat, haditsnya sesuai dengan dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa ra, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya.[9]

Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya.  "Artinya : Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin".[10] Maka jelaslah bagi kita, bahwa wanita hamil dan menyusui  termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk mereka.[11] 

C.        Hukum Bagi Wanita Hamil , Menyusui Dan Kafarohnya

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat :

1.        Pendapat madzhab Maliki (Al Malikiyyah) :

Boleh tidak shaum (berbuka) bagi wanita yang hamil dan wanita yang menyusui manakala ia takut jika dengan shaum ia dan anaknya atau ia saja atau anaknya saja menjadi sakit atau tambah sakit atau timbul kerusakan dan mara bahaya.

a) Bagi wanita yang hamil ia harus mengqadha’ (mengganti shaum yang ditinggalkan) tanpa fidyah

b) Bagi yang menyusui ia harus mengqadha’ dan fidyah

2.     Pendapat madzhab Hanafi (Al Hanafiyyah)

Boleh berbuka bagi wanita hamil dan yang menyusui jika shoumnya dirasa dapat membahayakan dirinya dan anaknya, atau atas ia saja dan atau anaknya saja. Ia (wanita hamil dan yang menyusui) wajib mengqadla’ tanpa fidyah

3.     Pendapat madzhab Hambali (Al Hanabilah)

Boleh berbuka bagi wanita hamil dan yang menyusui jika ia takut terjadi mara bahaya bagi dirinya dan anaknya atau bagi dirinya saja.

a)  Ia wajib mengqadha’ jika takut terjadi mara bahaya baginya dan anaknya atau bagi dirinya sendiri

b)  Ia wajib mengqadha’ dan fidyah jika ia takut terjadi mara bahaya atas anaknya saja

4.     Pendapat madzhab Syafi’I (As Syafi’iyyah)

Boleh berbuka bagi wanita hamil dan yang menyusui jika ia takut timbul mara bahaya bagi dirinya dan anaknya, atau dirinya sendiri atau anaknya saja

a) Ia wajib mengqodlo’ jika ia takut timbul mara bahaya yang timbul bagi dirinya sendiri

b) Ia wajib menqodlo’ dan fidyah jika ia takut timbul mara bahaya yang bagi anaknya saja.[12]

D.        Fatwa-fatwa Ulama Kontemporer

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Jika wanita hamil tidak berpuasa karena khawatir terhadap janinnya, apa yang harus ia lakukan, apakah ada perbedaan antara kekhawatiran terhadap dirinya dan kekhawatiran terhadap janinnya menurut Imam Ahmad .?

Jawaban
Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah bahwa, jika seorang wanita hamil tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya saja, maka ia harus mengqadha’ puasanya karena ia tidak berpuasa, dan bagi orang yang bertanggung jawab pada anaknya harus memberi makan seorang miskin setiap harinya, karena wanita itu tidak berpuasa untuk kemaslahatan anaknya. Sebagian ulama berpendapat : Yang wajib bagi wanita hamil itu adalah mengqadha’ puasanya saja, baik tidak berpuasanya itu karena khawatir pada dirinya atau khawatir kepada anaknya atau khawatir kepada keduanya, dan wanita itu dikategorikan sebagai orang yang sakit, dan tidak ada kewajiban bagi wanita tersebut selain itu.[13]

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya tentang hukum puasa yang dilakukan oleh wanita hamil dan wanita menyusui .?

Jawaban
Wanita yang sedang hamil atau wanita yang sedang menyusui bila berpuasa akan rentan terhadap bahaya, berbahaya bagi dirinya atau bagi anaknya, maka kedua wanita itu boleh tidak berpuasa saat hamil dan saat menyusui. Jika bahaya puasa berakibat pada bayinya saja maka wanita itu harus mengqadha’ puasanya serta memberi makan kepada orang miskin setiap harinya, sedangkan jika bahaya puasa berakibat pada wanita itu, maka cukup bagi wanta itu mengqadha’ puasanya saja, hal itu dikarenakan wanita hamil dan menyusui termasuk dalam keumuman hukum yang terdapat pada firman Allah.

"Artinya : Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang msikin" [Al-Baqarah : 184][14]

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah mungkin mengqiaskan orang yang berbuka karena menolong orang lain dengan wanita hamil yang tidak puasa karena khawatir terhadap anaknya, yaitu : diharuskan baginya untuk mengqadha’ puasanya serta memberi makan kepada orang miskin .?

Jawaban
Ya, ia boleh berbuka untuk menolong orang lain dari kebinasaan jika hal itu dibutuhkan, yakni tidak mungkin baginya untuk menolong itu dari kebinasaan kecuali dengan berbuka pada saat demikian ia boleh berbuka dan diharuskan mengqadha’ puasanya.[15]

E.         Ukuran Fidyah

Fidyah adalah memberi makan seorang miskin setiap hari dari hari-hari qadha’, (ukurannya) sesuai makanan yang diberikan pada kafaroh orang miskin. [16]

Dalam ukuran fidyah ini ulama berbeda pendapat :

1.  Pendapat imam Malik dan Syafi’i :

Ukuran fidyah itu satu mud dengan mudnya Nabi saw, diberikan setiap hari pada hari ia berbuka (tidak shaum). Yang dimaksud dengan mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke atas untuk menampung makanan, kira-kira mirip orang berdoa.

2. Pendapat Abu Hanifah :

Memberi makan setiap hari satu sho’ kurma atau setengah sho’ gandum. [17]Atau juga bisa disetarakan dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang kepada satu orang miskin.

Dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 halaman 143 disebutkan bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter. Sedangkan 1 sha` setara dengan 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha` itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha` setara dengan 2,75 liter.

Alhamdulillah. Demikianlah sekilas kajian ilmiyah tentang hukum wanita hamil dan yang menyusui. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin pada umumnya dan khususnya bagi kaum muslimat. Saya yakin dalam kajian ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan saya dan sedikitnya buku yang saya telaah. Jika ada kesalahan itu datangnya dari saya dan dari syetan, dan jika ada kebenaran itu datangnya dari Allah swt yang harus kita ikuti. Wallahu a’lam bisshawab

Daftar Pustaka

1.  Tafsir Addurrul Mantsur Fittafsiril Ma’tsur karya Imam Abdurrahman Jalaluddien Assyuyuti

2.  Fiqhi ‘Alal Madzahibil Arba’ah karya Syaikh Abdurrahman Al Jaziri.

3.  Manarus Sabil Fie Syarhiddalil karya Assyaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salam bin Dlowiyyan.

4.  Syarhus Sunnah karya Imam Baghawi

5.  Al Mughni karya Ibnu Qudamah

6.  Durus wa Fatawa al-haram Al-Makki karya Syaikh Ibnu Utsaimin

7.  At-Tanbihat karya Syaikh  Shalih Al-Fauzan

8.  Al-Muntaqa min Fatawa karya Syaikh Shalih Al-Fauzan

9.  Tafsir Al Jami’ Liahkamil Qur’an karya Abi Abdillah Muhammad Al Anshari Al Qurtubi

10. Al-Jami' li Ahkamil Qur'an karya Al- Qurthubi

11. Sifat Shaum Nabi saw Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi saw karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

12. Lihat I'lamul Muwaqi'in karya  Ibnu Qayyim

13. Al-Muwafaqat karya As-Syatibi



[1] Imam Abdurrohman Jalaluddien Assyuyuti, Tafsir Addurrul Mantsur Fittafsiril Ma’tsur : 1/433.

[2] Hadits Riwayat Bukhari 8/135

[3] Ibnu Jarud 381, Al-Baihaqi 4/230, Abu Dawud 2318 sanadnya Shahih

[4] Lihat I'lamul Muwaqi'in 1/35 karya  Ibnu Qayyim dan Al-Muwafaqat 3/118 karya As-Syatibi

[5] QS. Al-Baqarah : 185

[6] QS. Al-Baqarah : 183

[7] QS. Al-Baqarah : 185

[8] Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya 507, Al-Baihaqi dalam Sunannya 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanadnya Shahih

[9] Al- Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 2/288

[10] QS. Al-Baqarah : 184

[11] Lihat Kitab Sifat Shaum Nabi saw Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi saw oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata

[12] Dalam kitabul Fiqhi ‘Alal Madzahibil Arba’ah : 1/461. Oleh Syaikh Abdurrahman Al Jaziri. Disebutkan juga dalam kitab Manarus Sabil Fie Syarhiddalil : 1/287-288. Oleh Assyaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salam bin Dlowiyyan. Disebutkan juga dala kitab Syarhus Sunnah. Imam Baghawi : 1/315-316. Disebutkan juga dalam kitab Al Mughni Ibnu Qudamah : 3/139

[13] Syaikh Ibnu Utsaimin, Durus wa Fatawa al-haram Al-Makki, 3/47

[14] Syaikh  Shalih Al-Fauzan, At-Tanbihat, hal. 37

[15] Syaikh Shalih Al-Fauzan, Al-Muntaqa min Fatawa : 3/141

[16] Dalam Kitabul Fiqhi ‘Alal Madzahibil Arba’ah : 1/521

[17] Abi Abdillah Muhammad Al Anshari Al Qurtubi, Tafsir Al Jami’ Liahkamil Qur’an : 2/ 289

0 komentar

Posting Komentar