DIRASAH IFTIRAQUL UMMAH

Diposting oleh Ahsanul Huda Sabtu, 08 Mei 2010


(Kajian Perpecahan Di Tubuh Umat Islam)

MUQADDIMAH

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji bagi Allah Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Penguasa seluruh yang ada di langit dan di bumi. Yang memutuskan setiap perselisihan di antara para hamba-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasul Musthafa, Muhammad SAW, yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berpecah belah. 

Allah SWT telah menyebutkan bahwa ikhtilaf (perbedaan) adalah suatu hal yang pasti, tidak mungkin dipungkiri. Karena ia adalah sunatullah yang akan selalu terjadi pada setiap ummat dan seluruh manusia. Namun karena rahmat Allah SWT, ada di antara para hamba-Nya yang tidak berselisih atau melakukan perselisihan namun tidak sampai pada taraf iftiraq (perpecahan) yang berakibat mendapatkan celaan dari Allah SWT. 

Ayat-ayat Al Qur’an sudah banyak menyebutkan tentang larangan berikhtilaf (berselisih) yang akan berakibat kepada iftiraq (perpecahan). Allah SWT juga telah mengingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam jurang perpecahan dan memberi ancaman bagi mereka yang melakukannya. Di antara nash Al Qur’an yang menunjukkan hal tersebut adalah firman-Nya:

َولَوْ شَآءَ َرُّبكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَاَيَزالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ {118} إِلَّامَنْ رَحِمَ رَبُّكََ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ َلَأمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ اْلجَنَّةِ وَالنَّاسُ أَجْمَعِيْنَ {119}

“ Jika Rabbmu menghendaki, tentu ia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Dan kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) seluruhnya.”(QS. Hud: 118-119)

Imam As Syatibi mengatakan: “Allah mengabarkan bahwa selamanya mereka akan berselisih pendapat, karena memang Allah SWT menciptakan mereka untuk hal ini.” Demikian juga pendapat mufassir yang lain.[1] 

Dari Hasan beliau berkata: “Adapun Ahli Rahmah, maka mereka tidak akan berikhtilaf (berselisih) dengan ikhtilaf yang membahayakan.” [2] 

Allah SWT juga menyebutkan:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ

“Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah, dan janganlah mengikuti jalan-jalan yang lain.”(QS. Al An’am: 153)

Menurut Ahli Tafsir, maksud Shirathal Mustaqim dalam ayat ini adalah: Al Qur’an, As Sunnah dan Fitrah. Mujahid berkata: “Ia adalah jalan dienul Islam3.” Sedang Subul dalam ayat ini bermakna: Ahlul Ahwa’ (pengikut hawa nafsu), Ahlul Firaq (yang berpecah belah), dan Ahlul Bida’ (pelaku bid’ah). Mujahid menafsirkan wa laa tattabi’us subul dengan: bid’ah, syubhat, dan kesesatan. Ibnu Abbas berkata1: “Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berjamaah dan melarang mereka berselisih dan berpecah belah.” Dia sebutkan bahwa sebab hancurnya umat sebelum mereka adalah karena suka berbantah-bantahan dan bersengketa dalam agama

Cukup banyak hadits-hadits yang menerangkan tentang akan adanya iftiraqul ummah (perpecahan umat) sepeninggal beliau. Bahkan para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits ini tidak kurang dari 14 orang. Di antaranya adalah: Abu Hurairah, Muawiyyah, Abdullah bin Amru, Auf bin Malik, Anas bin Malik, Abu Umamah, Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Darda’, dan lain-lain.

Di antara hadits-hadits tersebut adalah:

عَنْ عَوْفَ بِنْ مَالِك قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: افْتَرَقَتْ الْيَهُوْدُ عَلَى اِحْدَى وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَ سَبْعُوْنَ فِي الْنَّارِ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى اثْنَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَاِحْدَى وَ سَبْعُوْنَ فِي الْنَّارِ وَ وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي الْنَّارِ, قِيْلَ يَا رَسُوْلَ الله ِمَنْ هُمْ؟ قَالَ الجَمَاعَةُ                                                                        

“Dari Auf bin Malik, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu di syurga dan tujuh puluh di neraka. Kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, tujuh puluh satu di neraka dan satu di syurga. Dan demi jiwa Muhammad yang ada di Tangan-Nya umatku benar-benar akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu di syurga dan tujuh puluh dua di neraka. Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau bersabda: Al Jamaah.” 2

Dalam riwayat At Tirmidzi  disebutkan: Maa Ana ‘alaihi wa Ashaabi (Yakni mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku) 3

            Dari Abi Umamah, ia berkata:

«Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini (Islam) akan terpecah lebih satu golongan dari jumlah ini (menjadi tujuh puluh tiga golongan). Semuanya masuk neraka kecuali As Sawadul A’dham (golongan mayoritas).” 4

Dalam mengomentari hadits iftiraqul ummah ini Al ‘Alqami menjelaskan: “Syaikh kami berkata bahwa Imam Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir At Tamimy menyusun sebuah kitab yang berisi penjelasan tentang hadits ini. Di dalam buku tersebut beliau menerangkan: “… Para Ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan Rasulullah tentang kelompok sesat tersebut, bukanlah kelompok-kelompok yang saling berselisih dalam urusan Fiqih yang erat kaitannya dengan hukum halal haram. Namun yang dimaksudkan Rasulullah adalah mereka yang menyelisihi prinsip ahlul haq dalam urusan Aqidah, penentuan mana yang baik dan mana yang buruk, tentang syarat-syarat nubuwwah dan risalah, perwalian terhadap para sahabat, serta hal-hal yang hampir serupa dengan pembahasan di atas. Sebab orang yang berselisih dalam urusan ini seringkali terbawa kepada sikap saling mengkafirkan. Berbeda dengan persoalan pertama, di mana ketika mereka berbeda pendapat dalam persoalan tersebut tidak sampai terbawa kepada sikap saling mengkafirkan dan menfasikkan. Oleh karenanya, maksud hadits Iftiraqul ummah ini dikembalikan kepada pengertian ini.”4

1. PENGERTIAN IFTIRAQ

Secara bahasa iftiraq mempunyai banyak makna, di antaranya adalah: Al Inqisam (terbagi-bagi, terpecah-pecah), Al Mufaraqah (saling berpisah), Al Farqu (perbedaan antara dua hal).2

Sedangkan secara syar’i iftiraq bermakna:

   1. At tafaruq fid dien wal ikhtilaf fiihi  (perpecahan dan perselisihan dalam dien).

Sebagaimana firman Allah:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah dan janganlah kalian berpecah belah.” (QS. Al Imran: 103)

Dan Sabda Rasulullah:

“Dan Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu firqah atau tujuh puluh dua firqah …” Maksud firqah dalam hadits ini adalah ikhtilaf fil ushul (perselisihan dalam masalah yang prinsip) dan ikhtilaf tadhad (perselisihan yang berakibat kepada permusuhan dan keluar dari Sunnah).

   2. Al Iftiraq ‘an Jamaa’atil Muslimin (berpisah dari Jamaatul Muslimin yang merupakan ‘Umat Islam’ pada zaman Rasul SAW dan para sahabat). Mereka dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka setelah munculnya iftiraq (perpecahan)  adalah Ahlus Sunnah

Secara praktis dapat disimpulkan bahwa makna iftiraq menurut syar’i adalah: Keluar dari As Sunnah dan Al Jamaah dalam Ushuluddien -baik sedikit atau banyak- yang berkaitan dengan i’tiqadiyah, amaliyyah, atau hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat yang besar. Termasuk juga di dalamnya keluar dari para Imam kaum Muslimin dengan cara mengangkat pedang (memberontak). 3              

Sedang Maksud dari Ahli Iftiraq adalah: Firqah (golongan) yang keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan para imam kaum muslimin beserta jamaahnya, tidak mau meniti jalan mereka dan para pengikutnya, serta menyimpang dari manhaj As Salaf As Shaleh . Mereka adalah pemberontak yang keluar dari imam kaum muslimin, tukang debat, dan pembuat persengketaan dalam dien ; ahlul kalam, dan pelaku bid’ah. Contohnya adalah: Khawarij, Sy’iah, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, Musyabbihah, Tashawwuf, Bathiniyyah, Falaasifah, Kilaabiyyah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah dan siapa saja yang meniti jalan mereka. Setiap golongan tersebut akan terpecah kembali menjadi beberapa golongan, dan itu pasti akan terjadi.4

Ahlul Iftiraq juga disebut dengan Ahlul Bid’ah, karena biasanya kata firaq selalu dikaitkan dengan kata bid’ah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Bid’ah itu dikaitkan dengan furqah sebagaimana Sunnah selalu dikaitkan dengan Jamaah. Seperti perkataan : Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahlul Bid’ah wal Furqah.”1

Sebenarnya ikhtilaf (perbedaan pendapat) adalah sunnatullah yang sudah terjadi sejak umat-umat sebelum kita. Namun Ikhtilaf yang membawa kepada iftiraq itulah yang dicela Allah SWT.

Ada beberapa sisi perbedaan antara ikhtilaf dan iftiraq yaitu:

1.      Iftiraq merupakan bentuk paling ekstrim dari ikhtilaf. Ia muncul karena adanya ikhtilaf.

2.      Pada umumnya, ikhtilaf  tidak sampai pada tingkat iftiraq, sebagaimana ikhtilaf yang sering terjadi pada setiap ummat. Ikhtilaf yang terjadi pada zaman sahabat, tabi’in, para Aimmah dan Ulama’ juga tidak berakibat kepada iftiraq dan permusuhan dalam dien.

3.      Setiap Iftiraq adalah ikhtilaf, namun tidak setiap ikhtilaf itu iftiraq.

4.      Ikhtilaf diperbolehkan oleh syar’i namun iftiraq tidak.

5.      Iftiraq terjadi pada prinsip-prinsip Aqidah, perkara-perkara yang qath’i (jelas),  ijma’ (kesepakatan ulama’) dan dalam hal-hal yang dapat menyebabkan penyimpangan dari Jama’atul Muslimin dan keluar dari para Imamnya. Sementara ikhtilaf tidak.

6.      Setiap iftiraq adalah tercela, sedang ikhtilaf tidak semuanya tercela.

7.      Dalam ikhtilaf, jika seseorang berijtihad kemudian salah akan diampuni namun dalam iftiraq tidak demikian.

8.      Dalam ikhtilaf, jika seseorang berijtihad kemudian benar maka ia akan mendapat pahala. Namun dalam iftiraq tidak.

9.      Iftiraq selalu berangkat dari hawa nafsu, sedang dalam ikhtilaf tidak mesti demikian.

10.  Ikhtilaf adalah rahmat, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya masih ada harapan untuk selamat. Sementara iftiraq adalah adzab, dan mereka yang terlibat dalam iftiraq pasti sesat dan diancam masuk neraka 

2. SEBAB TIMBULNYA AL FIRAQ AL ISLAMIYYAH

Perselisihan yang tercela yang berakibat kepada iftiraq (perpecahan) pada mulanya terjadi karena sebab yang sepele. Namun karena pelakunya mengedepankan hawa nafsunya maka berubahlah yang sepele tersebut menjadi besar dan berakibat kepada perselisihan dan perpecahan, bahkan di antara mereka ada yang saling mengkafirkan. Begitu juga sebab munculnya Al Firaq Al Islamiyyah (golongan-golongan sesat dalam Islam) yang jumlahnya mencapai tujuh puluh dua golongan, bahkan lebih.

Secara garis besar di antara sebab munculnya Al Firaq Al Islamiyyah (seperti: Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Murji’ah dll) adalah:

1.      Ghuluw (berlebih-lebihan dalam bersikap)

Contoh: sebab timbulnya firqah Khawarij dan Syi’ah. Khawarij muncul berangkat dari pemahaman yang berlebihan terhadap ayat-ayat wa’id (ancaman) sehingga mereka mengkafirkan kaum muslimin yang melakukan dosa besar. Sedang Syi’ah muncul karena sikap yang berlebih-lebihan dalam mencintai sebagian sahabat Rasul yaitu Ali Radhiyallahu anhu dan para Ahlul Bait.

           2.    Membantah (mengkaunter) bid’ah dengan bid’ah yang semisal.

Contoh: Firqah Murji’ah yang ingin mengkaunter pendapat Khawarij -yang berlebih-lebihan dalam menghukumi pelaku dosa besar-, namun akhirnya mereka terjerumus kepada bid’ah baru yaitu tetap menganggap pelaku dosa besar sebagai seorang  mukmin dengan keimanan yang sempurna. Begitu juga timbulnya Mu’tazilah itu berangkat dari niat untuk menjadi penengah bagi Khawarij dan Murji’ah, namun mereka terjerumus kepada bid’ah yang baru. Demikian pula yang terjadi pada Musyabbihah yang ingin mengkaunter pemahaman Jahmiyyah Al Mu’atthilah.

3.   Pengaruh dari luar Islam

Contohnya adalah Syi’ah. Sebab munculnya firqah ini adalah karena muassis (gembongnya) adalah seorang Yahudi, yaitu Abdulah bin Saba’, yang sengaja diselundupkan untuk memecah belah umat Islam. Sehingga fikrah yang diajarkannya pun sengaja untuk menjauhkan umat Islam dari diennya. Begitu juga sebab munculnya Qadariyyah. Pencetus pemahaman firqah ini juga dari luar Islam, yaitu  seorang Nasrani. Sedang Jahmiyyah pencetusnya adalah seorang Yahudi yang bernama Ja’d bin Dirham.

4. Mengedepankan akal

Mu’tazilah adalah salah satu firqah yang selalu mengedepankan akal.

5. Diterjemahkannya buku-buku Filsafat Yunani.

            Fikrah dan pemahaman Mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh Filsafat Yunani1

Syaikh Ghalib bin Ali Al ‘Uwaijy menambahkan bahwa beberapa persoalan yang memicu munculnya iftiraqul ummah adalah:

1. Adanya beberapa ulama’yang beraqidah menyimpang

2. Kebodohan yang merajalela di antara kaum muslimin

3. Tidak memiliki standar pemahaman yang benar.

4. Adanya ikhtilaf yang didasari hawa nafsu

5. Rasa ashabiyah

6. Adanya hasad dalam hati

7. Adanya kecenderungan untuk menumbuh suburkan bid’ah dan hawa nafsu

8. Sikap mempertuhankan akal dan menomor duakan naql (dalil)

9. Pengaruh-pengaruh eksternal2

3. SEJARAH MUNCULNYA  AL FIRAQ AL ISLAMIYYAH

            Bid’ah dalam Aqidah dengan adanya Al Firaq Al Islamiyyah yang jumlahnya tujuh puluh dua bahkan lebih, tidak begitu saja muncul dalam waktu yang bersamaan. Namun muncul dalam rentang waktu yang panjang dan di tempat yang saling berjauhan. Masing-masing muncul karena suatu sebab tertentu.

            Di masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kaum muslimin masih bersatu. Mereka satu aqidah, satu fikrah, dan satu jama’ah. Jika ada perselisihan di antara mereka dalam suatu permasalahan, maka akan segera dapat dipecahkan karena mereka langsung mengembalikan masalah tersebut kepada Al Qur’an dan Sunnah.

     Periode ini adalah masa yang bersih dan selamat dari bid’ah, atau bisa disebut juga sebagai masa keemasan bagi persatuan ummat Islam dalam aqidah yang satu yang tidak ada perselisihan dan perpecahan. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang hidup pada zaman ini yakni para Shahabat r.a senantiasa dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada Nabi SAW, sehingga setiap ada permasalahan mereka bisa langsung bertanya kepada beliau SAW.

Pengarang buku Miftahus Sa’adah berkata, “Sesungguhnya para shahabat r.a , mereka hidup pada zaman Nabi SAW dalam Aqidah yang satu. Karena mereka mendapati masa-masa turunnya wahyu. Mereka dimuliakan karena persahabatannya dengan Rasul SAW, dan dihi­langkan keraguan dan syak wasangka dari dada mereka. »1 Ibnu Qayyim berkata, “Para shahabat telah berselisih dalam banyak permasalahan hukum - dan mereka adalah para pemuka-pemuka kaum Mukminin dan ummat yang paling sempurna imannya - akan tetapi segala puji bagi Allah, mereka tidak berselisih dalam satu per­soalan, yakni Asma’, Sifat, dan perbuatan Allah. » 2

Fitnah dan firqah di antara kaum muslimin baru muncul di akhir kekhalifahan  Utsman bin Affan RA, yaitu ketika ada sekelompok orang yang menuduh Utsman bin Affan bertindak kolusi dengan mengangkat para gubernur dari kalangan kerabatnya.

Tuduhan tersebut akhirnya berlanjut pada pembunuhan Utsman bin Affan RA di tangan kaum dhalimin. Dari sinilah berawal peristiwa berdarah antar kaum muslimin

Ketika kekhalifahan dijabat oleh Ali RA sebagai pengganti Utsman RA, sebagian kaum muslimin menuntut dengan segera qisash terhadap para pembunuh Utsman RA. Namun Ali RA tidak segera memenuhi permintaan mereka karena satu pertimbangan yaitu ingin  membenahi dahulu  pemerintahannya, baru setelah itu membereskan kasus pembunuhan Utsman RA.         

Akhirnya terjadilah pertumpahan darah antara pendukung Ali RA dengan para pendukung Aisyah yang dibantu oleh Zubair dan Thalhah Radhiyallahu ‘anhum yang terkenal dengan Perang Jamal.

Kemudian terjadilah pertumpahan darah antara pendukung Ali dengan Muawwiyah yang terkenal dengan Perang Shiffin. Dan berakhir dengan adanya tahkim di antara kedua belah pihak.

Setelah terjadinya tahkim muncullah firqah Khawarij yang mengkafirkan kedua belah fihak karena tahkimur rijal (berhukum dengan hukum manusia). Kebencian mereka terhadap Ali sangatlah dalam. Namun mereka juga membenci Muawiyah karena telah melawan khalifah yang sah. Selanjutnya muncul firqah Syi’ah yang mengkultuskan Ali RA dan Ahli Bait.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ahlul Bid’ah yang pertama kali keluar dari Jama’atul Muslimin adalah Firqah Khawarij”.

Syi’ah awalnya adalah sebuah kelompok yang mengaku sebagai pengikut setia Ali RA dan menganggap bahwa yang berhak menjabat khalifah setelah Rasul SAW wafat adalah Ali RA, tapi lama-kelamaan berkembang dengan menganggap Ali sebagai Nabi bahkan lebih ekstrim dari itu, mereka menganggapnya sebagai Tuhan.

Selain masalah takfir (menganggap kafir orang yang berbuat dosa besar, yang dimotori oleh Khawarij), muncul masalah Qadar (yaitu ingkar terhadap taqdir Allah) yang digagas oleh Ma’bad Al Juhny dengan firqah Qadariyyahnya. Firqah ini muncul pada akhir abad pertama hijriyyah.

Firqah Murji’ah muncul setelah itu untuk membantah dan mengkaunter firqah Khawarij, di akhir abad pertama juga.

Pada awal abad kedua hijriyyah muncul masalah ta’thil (yaitu yang meniadakan asma’ dan sifat-Nya). Pencetus pemahaman ini adalah Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan. Dan pada awal abad kedua hijriyah muncul masalah Jabr (yaitu manusia tidak punya iradah, iradah adalah mutlak milik Allah SWT), pengikut pemahaman ini terkenal dengan sebutan Jabariyyah.

Mu’tazilah muncul untuk mengkaunter Khawarij dan Murji’ah dengan membawa pemahaman Fi Manzilah baina Manzilatain (bahwa orang yang berbuat dosa besar berada di antara dua kedudukan, tidak Muslim dan tidak kafir). Penggagas fikrah sesat ini adalah Washil bin Atha’.

Masalah Sifat-sifat Allah dan Kalam-Nya juga diperdebatkan oleh sebagian di antara mereka, di antaranya masalah Khalqul Qur’an (apakah Al Qur’an itu makhluq atau bukan?). Orang pertama yang memunculkan masalah ini adalah Ja’d bin Dirham yang kemudian diamini oleh Jahm bin Shafwan dengan menambah bid’ah baru yaitu meniadakan sifat-sifat Allah SWT. Bid’ah ini mulai digulirkan pada masa kekhalifahan Bani Umayyah dan bertambah santer pada masa kekhalifahan bani Abbasiyyah. Salah satu korban akibat pemahaman sesat ini adalah imam Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hambal -yang mendapatkan berbagai siksaan akibat berpegah teguh terhadap pemahaman Ahlus Sunnah- karena  mengingkari Khalqul Qur’an.

Firqah-firqah ini makin bertambah banyak dengan diterjemahkannya buku-buku Filsafat Yunani. Sehingga Mu’tazilah terpecah menjadi beberapa golongan, di antaranya adalah: Al Waashiliyyah, pemimpinnya Washil bin Atha’ dan Al Hudzailiyyah, pemimpinnya Abul Hudzail Al ‘Alaf. Dan Syi’ah pun mengalami nasib yang sama, di antaranya ada golongan yang masih dekat pemahamannya dengan Ahlus Sunnah dan yang lainnya keluar jauh dari Ahlus Sunnah.

Firqah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah muncul setelah itu untuk menghadapi Filsafat, Rafidhah, dan Mu’tazilah Al Jahmiyyah. Meski kelompok ini ada beberapa titik kesamaannya dengan Ahlus Sunnah, namun ternyata fikrah dan aqidah mereka masih  banyak terpengaruh  dengan pemahaman Filsafat1.                      

 Demikianlah, Firqah-firqah tersebut akhirnya terpecah lagi menjadi beberapa golongan. Mereka meninggalkan kitab Rabbnya dan Sunnah Nabi. Akibatnya, mereka terlempar ke dalam jurang-jurang kesesatan, karena lebih mengikuti hawa nafsunya daripada mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.           

4. UMMAHATUL FIRAQ (INDUK DARI GOLONGAN YANG SESAT)

            Sebenarnya tumbuhnya firqah-firqah dalam tubuh umat Islam pada zaman sekarang ini tidak terlepas dari firqah-firqah sesat induknya yang muncul pada zaman dahulu. Di antara mereka ada yang masih menggunakan nama persis sebagaimana nama firqah induk mereka, dan ada juga yang berubah nama, namun pada hakekatnya sama dari sisi fikrah dan aqidahnya.

            Yusuf bin Asbath dan Abdullah bin Mubarak menyebutkan: ”Induknya bid’ah (firqah-firqah sesat) itu ada empat:

1.   Rawafidh (Syi’ah),

2.   Khawarij,

3.   Qadariyyah dan

4.   Murji’ah.

            Imam As Syatiby menegaskan dengan perkataannya: “Para Ulama’ berpendapat bahwa ushulul bida’ (pokok-pokok bid’ah) itu ada empat, dan ke tujuh puluh dua golongan yang ada, bermuara pada empat firqah ini, yaitu: Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah, dan Murji’ah.”       

            Sebagian Ulama’ menambahkan firqah lain dari 4 firqah di atas, yaitu:

1.      Jahmiyyah

2.      Jabariyyah

3.      Mu’tazilah

4.      Najjariyyah2

5. KAFIRKAH MEREKA ?

Ke tujuh puluh dua golongan sesat tersebut memang mendapatkan ancaman neraka sesuai dengan keterangan yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Namun bukan berarti mereka telah keluar dari Islam dan dinyatakan kafir, karena beberapa sebab:

1.      Rasulullah SAW beberapa kali mengancam para pelaku perbuatan maksiat dengan ancaman neraka. Seperti orang yang meminum minuman keras, pezina, pemakan harta riba, dll. Namun ulama sepakat bahwa mereka tidak sampai dihukumi kafir.

2.      Rasulullah menyebut mereka “umatku” berarti mereka masih muslim. 

3.  Rasulullah menyebutkan “semuanya di neraka”, beliau tidak menyebutkan “semuanya kekal di neraka”, berarti tidak semua sekte ini kafir yang menyebabkannya kekal di neraka.

Imam Ibnu Taimiyyah menyatakan: “… Barang siapa menganggap tujuh dua golongan ini kafir  berarti telah menyelisihi Al Kitab, As Sunnah, dan Ijma’ para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- bahkan ijma’ keempat madzhab serta imam-imam yang lain. Tidak didapatkan di antara mereka yang mengkafirkan tujuh puluh dua golongan ini, justru dari golongan tersebutlah muncul sikap saling mengkafirkan.” 1

Namun dalam perkembangannya, ada di antara golongan ini yang keluar dari Islam atau kafir. Ibnu Mubarak secara tegas menyatakan bahwa Jahmiyyah bukan dari ajaran Islam. Mereka telah murtad dan kafir 2. Begitu juga dengan Rafidhah, para ulama menyebutkan bahwa Syi’ah Rafidhah hari ini sudah keluar jauh dari Islam. Termasuk yang jelas kekafirannya adalah Ahlu Bid’ah yang ghuluw (ekstrim), seperti: Hululiyyah (faham manunggaling kawula lan gusti), Manshuriyyah (yang menganggap pemimpinnya yaitu, Abu Manshur Al Ajali sebagai Nabi. Firqah ini juga tidak mengakui adanya syurga dan neraka dan menghalalkan darah orang yang tidak sependapat dengan mereka) dan Ahli Bid’ah lainnya yang bersikap ghuluw, baik bersifat individu atau kelompok.

6. BAGAIMANAKAH  SIFAT KELOMPOK  YANG SELAMAT (AL FIRQAH AN NAJIYYAH) ?     

            Dalam hadits-hadits Iftiraqul Ummah disebutkan tentang sifat-sifat dari Al Firqah An Najiyyah (Golongan yang selamat) yaitu:

1.      Maa ana ‘alaihi wa ashabi

( Mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku)

2.      Al Jama’ah

3.      Asawaadul A’dham (kelompok yang paling besar)

Ketiga sifat di atas adalah satu dan tidak saling bertentangan. Karena Al Jama’ah adalah mereka yang selalu mengikuti kebenaran, yaitu yang selalu meniti jalan yang di tempuh oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang merupakan kelompok yang paling besar. Dan mereka adalah At Thaifah Al Manshurah (kelompok yang mendapatkan pertolongan dari Allah). Mereka juga disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : « …Oleh karena itulah Al Firqah An Najiyyah disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka adalah Asawadul A’dham. » 3

Firqah An Najiyyah hanyalah satu. Namun demikian ia bukan sifat kelompok tertentu saja, boleh jadi sifat ini juga dimiliki oleh banyak orang mukmin lain yang terpencar di seluruh dunia. Ibnu Hajar dengan jelas menerangkan tentang sifat-sifat Al Firqah An Najiyyah yang merupakan Thaifah Al Manshurah ini (golongan yang selalu mendapat pertolongan). Thaifah ini bisa saja merupakan kelompok yang bermacam-macam dari kalangan orang-orang mukmin. Mereka adalah para pemberani dan ahli perang (mujahid), Ahli Fiqh, Ahli Hadits dan Ahli Tafsir (ulama’), mereka yang beramar ma’ruf nahi munkar atau ahli zuhud dan ibadah. Mereka tidak harus berkumpul dalam satu negara, bisa saja berkumpul dalam satu negara atau terpencar ke seluruh penjuru dunia.”1

            Kesimpulannya, Firqah Najiyyah adalah setiap mukmin yang selalu berpegang teguh terhadap Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para Salafus shaleh dari umat ini yaitu Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in serta generasi yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat. Mereka adalah Ahlul Hadits dan Ghuraba’ (generasi yang asing) dari umat ini. Merekalah orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk menyelamatkan umat dari golongan-golongan sesat yang menyimpang dari manhaj para sahabat yaitu dari Mu’tazilah atau Khawarij atau Syi’ah atau Murji’ah atau Shufiyyah atau Bathiniyyah -dengan segala macam nama dan bentuknya- serta dari seluruh perbuatan bid’ah baik i’tiqadiyyah maupun amaliyah.

            Mereka adalah At Thaifah Al Manshurah, yang akan senantiasa ada dan berjuang untuk menegakkan kebenaran serta selalu mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata1: …Maka jadilah orang yang selalu berpegang teguh terhadap Islam yang murni dan bersih dari segala macam campuran, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ada pada mereka orang-orang shidiq, syuhada’, dan orang-orang yang shaleh. Dan dari mereka ini terdapat tokoh-tokoh ulama dan pelita umat yang memiliki kebesaran dan keutamaan  yang terkenal. Serta ada pada mereka Al Abdal   yaitu para imam yang telah disepakati kaum muslimin dalam petunjuk dan ilmu mereka. Mereka adalah At Thaifah Al Manshurah yang diceritakan oleh Rasulullah SAW:

لَا تَزَالُوْاطَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِي أَمْرُ الله ِوَ هُمْ كَذَالِكَ                                                                     

“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tampil membela kebenaran. Mereka tak peduli terhadap orang-orang yang merendahkan mereka, sehingga datang keputusan Allah sedang mereka dalam keadaan seperti itu." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

وَإِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُوْنَ ثَلَاثُوْنَ كُلُهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ, وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّيْنَ, لَا نَبِيٌّ بَعْدِي, وَلَا تَزَالُوْا طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لَا يَضُرًّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّىتَأْتِيْهِمُ السَّاعَةُ وَ هُمْ عَلَى ذَالِكَ                                           

“Sesungguhnya akan muncul tiga puluh orang pembohong di kalangan umatku yang masing-masing mendakwakan dirinya sebagai Nabi, padahal akulah Nabi yang terakhir, tidak ada Nabi lain sesudahku. Dan senantiasa akan ada sekelompok dari umatku yang tampil membela kebenaran dan mereka selalu unggul (mendapat pertolongan Allah). Mereka tidak mempedulikan orang yang menentang mereka hingga datang hari kiamat dan mereka tetap demikian. ( HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Hakim ) 

Demikianlah, di sela-sela munculnya berbagai firqah sesat –sebagai realisasi sunnatullah yang disabdakan Rasulullah- ternyata bendera golongan yang selamat (Al Firqah An Najiyyah) tetap berkibar dengan megahnya. Di bawah panji inilah bernaung orang-orang yang yang menginginkan keselamatan dan perlindungan Allah dari segala ajaran sesat. Mereka inilah yang berpegang kepada Al Jamaah, yakni golongan yang senantiasa mengikuti jejak Rasul, para sahabat, dan generasi setelah itu. 

Kita memohon kepada Allah yang Maha Agung agar menjadikan kita termasuk dari mereka dan tidak menyesatkan kita setelah mendapatkan petunjuk dari-Nya. Semoga Allah selalu menunjuki kita di jalan yang diridhai-Nya. Amiiin.             






DAFTAR PUSTAKA


   1. Tafsir Al Qur’an Al Adhim, Abul Fida’ Ismail bin Katsir
   2. Fathul Qadir, Imam As Syaukani
   3. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
   4. Al I’tisham, Imam As Syatibi
   5. Firaq Mu’ashirah, Syaikh Ghalib bin Ali Iwaji
   6. Al Al Mausu’ah Al Muyassarah fil Adyan wal Madzaahibwal Ahzab Al Mu’ashirah, Muraja’ah: DR. Mani’ bin Hammad
   7. Muqaddimat fil Ahwa’ wal Iftiraq wal Bida’, DR. Nashir bin Abdul Karim Al Aql
   8. Tuhfatul Ahwadzy, Al Mubarak Furi
   9. Syarh Ushulul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah, Al Laalika’I
  10. Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani
11. I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al Jauziyyah













[1] Al I’tisham II/670

[2] Ibid II/684

3 Fathul Qadir II/226

1  Lihat Tafsir Al Qur’an Al Adhim, II/177

2  HR. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan, no. 3982

3  HR. Tirmidzi, Kitab Al Iman, no. 2565

4  HR. Ibnu Abi Ashim, Al Lalika’I dan Thabrani

4 Lihat Aunul Ma’bud: XII/241

2 Lihat Lisaanul Arab, madah faraqa Jilid X hal. 300

3 Muqaddimat fil Ahwa’ wal Iftiraq wal Bida’, hal. 18-20

4 Muqaddimat fil Ahwa’ wal Iftiraq wal Bida’, hal. 20

1 Al Istiqamah, I/42

1 Syarh Ushulul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah, I/37-43

2 Firaq Muashirah, hal. 47-48

1 Miftah Darus Sa’adah  I/162

2 I’lamul Muwaqi’in  I/49

1 Lihat: Al Mausuu’ah Al Muyassarah, hal. 52-54

2 Lihat: Majmu’ Fatawa III/351, Al I’tisham II/206

1 Minhajus Sunnah, V/241

2 Al I’tisham, II/220

3  Majmu’ Fatawa, III/3455

1 Fathul Bari, XIII/295. Pernyataan serupa juga disebutkan oleh An Nawami dalam Syarh shahih Muslim, XIII/66-67

1 Lihat Majmu’ Fatawa III/129

0 komentar

Posting Komentar