BARANG SIAPA YANG MENSIFATI ALLAH DENGAN SIFAT MAHLUKNYA MAKA IA TELAH KAFIR
Diposting oleh
Ahsanul Huda
Sabtu, 08 Mei 2010
Oleh: Ahsanul Huda
Penyerupaan Allah swt dengan makhluk-Nya adalah suatu kekufuran (Qs. Asy-Syura: 11) dan peniadaan sifatpun merupakan suatu kekufuran karena Allah swt berfirman, “Dan Dia I Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Nu'aim bin Hammad berkata; "Barangsiapa yang menyerupakan Allah Ta’ala dengan sesuatu dari makhluk-Nya, ia telah kafir. Dan barangsiapa yang mengingkari apa yang Allah Ta’ala sifatkan bagi diri-Nya, ia telah kafir. Dan tidak ada tasybih (penyerupaan) didalam sesuatu yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya sifatkan bagi diri-Nya."
Ishaq bin Rawahaih berkata :
"Siapa saja yang menyifati Allah Ta’ala, lalu menyerupakan-Nya dengan salah satu makhluk-Nya, ia telah kafir kapada Allah Ta’ala yang Maha Agung."
Imam Thahawi berkata :
“Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, tersifati dengan sifat wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an) tak seorang pun dari hambanya yang menyerupai sifat-sifat tersebut.”
Maksudnya :
Sesungguhnya cara menyucikan Allah adalah dengan menyifati-Nya sebagaimana Dia menyifati diri-Nya dengan peniadaan dan penetapan (sifat). Perkataan beliau (imam Thahawi) ini, beliau ambil dari penafsiran surat al Ikhlas. Kata “الوصف” dan “النعت” adalah sinonim ada yang mengatakan pula bahwa ia berdekatan maknanya. Maka “الوصف” untuk dzat dan “النعت” untuk fi’il atau kata kerja. Begitu pula wahdaniyah dan fardiyah dikatakan dalam perbedaan keduanya; Wahdaniyah adalah untuk Dzat, maka Ia I maha Esa dalam Dzat-Nya dan menyendiri dalam sifat-Nya. Inilah makna yang hak, tidak ada yang membantahnya seorang pun.
Imam Thahawi berkata :
“Maha Suci diri-Nya dari batas-batats dan dimensi makhluk atau bagian dari makhluk, anggota tubuh dan perangkat-Nya. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah sebagaimana makhluk cipataan-Nya yang lain.”
Dari perkataan beliau ini, manusia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok yang menafikan sifat Allah
2. Kelompok yang menyerupakan dalam sifat Allah
3. Kelompok yang pertengahan., mereka tidak mutlak meniadakan dan menetapkan sifat Allah kecuali ada kejelasan tentang ketetapannya atau peniadaannya. Mereka adalah pengikut manhaj salaf.
Abu Hanifah berkata dalam Al-Fiqh Al-Akbar, “Dia I memiliki tangan, wajah, dan diri seperti yang disebutkan oleh Allah I dalam Al-Qur’an yang menyebutkan tangan, wajah, dan diri. Dia I mempunyai sifat tanpa kaifiyat dan tidak dikatakan bahwa tangan-Nya adalah kekuasaan dan nikmat-Nya karena di dalamnya terdapat pembatalan sifat.
Allah I berfirman dalam Qs. Shad: 75, Az-Zumar: 67, 28/88, Ar-Rahman: 27, 5/116, 6/54, 20/41, 3/28.
Para ulama salaf bersepakat bahwa sifat-sifat Allah yang belum jelas peniadaan dan penetapannya tidak dimutlakkan sehingga diteliti maksud yang mengucapkannya.
Mereka juga sepakat bahwa manusia tidak mengetahui batasan-batasan Allah, mereka juga tidak mempunyai hak untuk membatasi sifat-sifat Allah serta tidak menyerupakan sifat-sifat Allah.
Konsensus ulama salaf bahwa mereka tidak membatasi sifat Allah dan menyerupakan-nya dan tidak berkata bagaimana, dan apabila ditanya mereka menjawab dengan atsar (hadits).
Sebagaimana perkataan Imam Malik sewaktu beliau ditanya mengenai firman Allah :
ثم استوى على العرش , Bagaimana Dia beristiwa'? maka beliau menjawab : bersemayamnya Alah adalah maklum sedangakan tatacaranya adalah majhul. Kesimpulannya bahwa beriman dengan sifat Allah adalah wajib sedangkan menanyakannya adalah bid'ah.
MELIHAT ALLAH I ITU PASTI BAGI PENGHUNI JANNAH
Sesungguhnya mata tidak mampu untuk melihat Allah di kehidupan dunia, bukan karena ada sesuatu yang menghalanginya, akan tetapi mata memang tidak kuat dan lemah untuk menerima dan melihat Allah. Beda halnya dengan kehidupan di akhirat kelak, sebab Allah telah menyempurnakan kekuatan bani Adam sampai kepada penglihatannya.
Allah berfirman : Al A'raf : 143
Tidaklah sesuatu yang hidup setelah melihat Allah kecuali ia akan mati (pingsan) dan tidak pula sesuatu itu terdiam akan guncang setelah melihat-Nya. Maka manusia tidak akan mampu untuk melihat Allah kecuali orang yang dikuatkannya seperti Nabi kita (Muhammad).
Mereka sepakat bahwa tidak ada orang yang mampu melihat Allah di kehidupan dunia, kecuali Nabi Muhammad. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah Rasulullah melihat dengan mata kepalanya ataukah hanya sekedar hatinya.
* Bahwa Rasulullah tidak melihat Allah, langsung dengan mata kepalanya. Ini adalah pendapat 'Aisyah kemudian pendapatnya ini di ikuti mayoritas sahabat Nabi.
* Bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepalanya langsung, ini adalah pendapat Ibnu Abbas. Akan tetapi Atha' pernah meriwayatkan darinya bahwa Rasulullah melihat Allah hanya dengan hatinya.
Walhasil bahwa pendapat yang menunjukkan Rasulullah melihat Allah dengan mata kepalanya, dalilnya tidaklah qoth'I, sebab dalil tersebut masih ihtimal dan mu'awal yang memungkinkan untuk ditakwil.
Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Dzar, dia bertanya kepada Rasulullah : "Apakah anda melihat Rabbmu? Beliau menjawab : "Aku melihat cahaya."
Ulama sepakat bahwa orang-orang mukmin (penduduk surga) akan melihat wajah Allah di Jannah kelak, beliau (Imam Thahawi) berkata : الرأية حق لأهل الجنة""
“Melihat Allah adalah pasti benar bagi penghuni (ahli) jannah tanpa dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana melihat-Nya sebagai mana disebutkan Rabb kita dalam Al-Qur'an; "Wajah-wajah orang mukmin saat itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada Rabb mereka." (Qs. Al-Qiyamah: 22-23)
Dari Hasan ia berkata, “Ia melihat pada Rabbnya, maka dibaguskanlah (dielokkan) dengan nur-Nya.”
Allah I berfirman, “Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya.”[1] Imam Thabari berkata, Ali bin Abi Thalib t dan Anas bin Malik t berkata, “(ada tambahannya) Maksudnya adalah melihat pada wajah Allah I.
Firman-Nya juga, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.[2]
Yang dimaksud dengan tambahannya ialah kenikmatan melihat Allah I. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Syuhaib ia berkata, Rasulullah r membaca ayat ini (10/26) kemudian ia bersabda,
Bahwa manusia pada bertanya, Wahai Rasulullah, apakah kita dapat melihat Robb kami pada hari kiamat? Rosulullah menjawab, "Apakah kalian kesulitan melihat bulan pada malam purnama? Mereka menjawab, "Tidak wahai Rasulullah. Apakah alian kesulitan dalam melihat matahari yang tanpa ada awan? Mereka menjawab, "Tidak" Rasul berkata, "Begitulah kalian juga akan melihatNya begitu".(Mutafaqun 'alaih).
Hadits tentang ru’yah ini telah diriwayatkan oleh sekitar 30 orang sahabat. Tidak sah keimanan terhadap ru'yatullah (mengimani bahwa penghuni jannah akan memandang Raah mereka), bagi orang yang menganggapnya sebagai "praduga", atau mentakwil dengan pemikirannya. Karena penafsiran ru'yatullah itu, dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb, haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran dien atau keyakinan kaum muslimin. Maksud takwil adalah merubah(tahrif), bukan maksudnya setiap takwil dan meninggalkan dhohirnya sebagian dalil yang kuat dari kitab dan sunnah. Atau meninggalkan takwil yang rusak dan bid'ah, menyelisihi madzhab salaf. Takwil (menurut mufassir) adalah tafsir kalam dan keterangan maknanya, baik dhohirnya sepakat atau berselisih. Menurut Fuqoha kontemporer adalah merubah lafad yang rojih kepada yang marjuh karena adanya dalil yang mewajibkan demikian, tafsir yang benar adalah yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan Al Qur'an dan Assunnah.
Pengertian sebenarnya adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui Allah. Setiap hadits shahih yang diriwayatkan dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya adalah sebagaimana yang dikehendali Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk mentakwilkannya dengan pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa nafsu kita.
Perkataan para mufassir mengenai hal melihat Allah adalah haq bagi penduduk surga. Dalam QS. Qof : 35 dan Yunus : 26, kata mazid adalah memandang wajah Allah. Mu'tazilah berpendapat dengan dua ayat, lan taroni(7 : 143) dan laa tudrikul absor.
Ayat pertama, menetapkan akan melihatnya Allah dilihat dari beberapa segi :
· Allah bicara langsung pada Musa, yang mana ia adalah orang yang paling tahu tentang Allah.(bertanya pada hal yang dilarang)
· Allah tidak mengingkari permintaanya. Dan ketika Nuh memohon pada rabbnya untuk menyelamatkan anaknya, Allah tolak.
· Musa tidak bisa melihatNya di dunia karena ia lemah.
· Gunung yang kuat sekalipun tida bisa melihatNya, apalagi manusia yang lemah.
· Ketika Allah menampakkan (keagunganNya) kepada gunung, maka langsung hancur. Allah membolehkan pada gunung untuk melihatNya, maka apa yang menghalangiNya untuk memperlihatkan pada rasulNya? Tapi Allah memberi tahu Musa bahwa gunung tidak dapat melihatNya di dunia ini.
· Kata "lan" tidak menunjukkan atas peniadaan secara kontinyu ( untuk melihat Allah) di akherat.
Pada ayat yang ke dua menunjukkan atas kesempurnaan keagunganNya. Dia adalah maha agung.
Apakah ahlul mahsyar melihat Allah I? Dalam hal ini ada tiga perkataan (pendapat), yaitu;
1. Allah I tidak dilihat kecuali oleh orang-orang beriman.
2. Allah I dilihat oleh orang-orang yang dikumpulkan (ahlul mauquf) mukmin dan kafir, kemudian Allah I terhijab dari orang-orang kafir sehingga mereka tidak melihat-Nya setelah itu.
3. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya bersama orang-orang munafik. Namun orang-orang kafir tidak melihat-Nya.
Imam At-Thohawi mengisyaratkan bantahannya kepada golongan Mu'tazilah yang menafikan melihat wajah Allah dan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Rasulullah bersabda, إنكم ترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر , “Kalian akan melihat rabb kalian sebagaimana kalian meliahat bulan pada malam purnama.” (Muttafaq ‘Alaih).
Dalam hadits ini tasbih terletak pada lafadz ru’yah (melihat) bukan pada yang dilihat, karena huruf Ma dan Kaff bersambung dengan lafadz tarauna yang menempati masdarnya, yaitu ru’yah.
Sabda beliau yang lain,
“Kamu sekalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat matahari di tengah siang yang cerah tanpa awan.” (HR, Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Perumpamaan melihat seperti ini adalah lebih tepat dengan mata bukan dengan hati atau akal.
Wallahu a'lam
Dikutip; dari kitab Aqidah Thahawiyah
[1] . Qs. Qaaf: 35.
[2] . Qs. Yunus: 26
Penyerupaan Allah swt dengan makhluk-Nya adalah suatu kekufuran (Qs. Asy-Syura: 11) dan peniadaan sifatpun merupakan suatu kekufuran karena Allah swt berfirman, “Dan Dia I Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Nu'aim bin Hammad berkata; "Barangsiapa yang menyerupakan Allah Ta’ala dengan sesuatu dari makhluk-Nya, ia telah kafir. Dan barangsiapa yang mengingkari apa yang Allah Ta’ala sifatkan bagi diri-Nya, ia telah kafir. Dan tidak ada tasybih (penyerupaan) didalam sesuatu yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya sifatkan bagi diri-Nya."
Ishaq bin Rawahaih berkata :
من وصف الله فشبه صفاته بصفات أحد من خلق الله، فهو كافر بالله العظيم
"Siapa saja yang menyifati Allah Ta’ala, lalu menyerupakan-Nya dengan salah satu makhluk-Nya, ia telah kafir kapada Allah Ta’ala yang Maha Agung."
Imam Thahawi berkata :
فإن ربنا جل وعلا موصوف بصفات الوحدانية ، منعوت بنعوت الفردانية، ليس فى معناه أحد من البرية .
“Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, tersifati dengan sifat wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an) tak seorang pun dari hambanya yang menyerupai sifat-sifat tersebut.”
Maksudnya :
Sesungguhnya cara menyucikan Allah adalah dengan menyifati-Nya sebagaimana Dia menyifati diri-Nya dengan peniadaan dan penetapan (sifat). Perkataan beliau (imam Thahawi) ini, beliau ambil dari penafsiran surat al Ikhlas. Kata “الوصف” dan “النعت” adalah sinonim ada yang mengatakan pula bahwa ia berdekatan maknanya. Maka “الوصف” untuk dzat dan “النعت” untuk fi’il atau kata kerja. Begitu pula wahdaniyah dan fardiyah dikatakan dalam perbedaan keduanya; Wahdaniyah adalah untuk Dzat, maka Ia I maha Esa dalam Dzat-Nya dan menyendiri dalam sifat-Nya. Inilah makna yang hak, tidak ada yang membantahnya seorang pun.
Imam Thahawi berkata :
وتعالى عن الحدود والغايات، والأركان والأعضاء والأدوات، لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات
“Maha Suci diri-Nya dari batas-batats dan dimensi makhluk atau bagian dari makhluk, anggota tubuh dan perangkat-Nya. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah sebagaimana makhluk cipataan-Nya yang lain.”
Dari perkataan beliau ini, manusia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok yang menafikan sifat Allah
2. Kelompok yang menyerupakan dalam sifat Allah
3. Kelompok yang pertengahan., mereka tidak mutlak meniadakan dan menetapkan sifat Allah kecuali ada kejelasan tentang ketetapannya atau peniadaannya. Mereka adalah pengikut manhaj salaf.
Abu Hanifah berkata dalam Al-Fiqh Al-Akbar, “Dia I memiliki tangan, wajah, dan diri seperti yang disebutkan oleh Allah I dalam Al-Qur’an yang menyebutkan tangan, wajah, dan diri. Dia I mempunyai sifat tanpa kaifiyat dan tidak dikatakan bahwa tangan-Nya adalah kekuasaan dan nikmat-Nya karena di dalamnya terdapat pembatalan sifat.
Allah I berfirman dalam Qs. Shad: 75, Az-Zumar: 67, 28/88, Ar-Rahman: 27, 5/116, 6/54, 20/41, 3/28.
Para ulama salaf bersepakat bahwa sifat-sifat Allah yang belum jelas peniadaan dan penetapannya tidak dimutlakkan sehingga diteliti maksud yang mengucapkannya.
Mereka juga sepakat bahwa manusia tidak mengetahui batasan-batasan Allah, mereka juga tidak mempunyai hak untuk membatasi sifat-sifat Allah serta tidak menyerupakan sifat-sifat Allah.
Konsensus ulama salaf bahwa mereka tidak membatasi sifat Allah dan menyerupakan-nya dan tidak berkata bagaimana, dan apabila ditanya mereka menjawab dengan atsar (hadits).
Sebagaimana perkataan Imam Malik sewaktu beliau ditanya mengenai firman Allah :
ثم استوى على العرش , Bagaimana Dia beristiwa'? maka beliau menjawab : bersemayamnya Alah adalah maklum sedangakan tatacaranya adalah majhul. Kesimpulannya bahwa beriman dengan sifat Allah adalah wajib sedangkan menanyakannya adalah bid'ah.
MELIHAT ALLAH I ITU PASTI BAGI PENGHUNI JANNAH
Sesungguhnya mata tidak mampu untuk melihat Allah di kehidupan dunia, bukan karena ada sesuatu yang menghalanginya, akan tetapi mata memang tidak kuat dan lemah untuk menerima dan melihat Allah. Beda halnya dengan kehidupan di akhirat kelak, sebab Allah telah menyempurnakan kekuatan bani Adam sampai kepada penglihatannya.
Allah berfirman : Al A'raf : 143
Tidaklah sesuatu yang hidup setelah melihat Allah kecuali ia akan mati (pingsan) dan tidak pula sesuatu itu terdiam akan guncang setelah melihat-Nya. Maka manusia tidak akan mampu untuk melihat Allah kecuali orang yang dikuatkannya seperti Nabi kita (Muhammad).
Mereka sepakat bahwa tidak ada orang yang mampu melihat Allah di kehidupan dunia, kecuali Nabi Muhammad. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah Rasulullah melihat dengan mata kepalanya ataukah hanya sekedar hatinya.
* Bahwa Rasulullah tidak melihat Allah, langsung dengan mata kepalanya. Ini adalah pendapat 'Aisyah kemudian pendapatnya ini di ikuti mayoritas sahabat Nabi.
* Bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepalanya langsung, ini adalah pendapat Ibnu Abbas. Akan tetapi Atha' pernah meriwayatkan darinya bahwa Rasulullah melihat Allah hanya dengan hatinya.
Walhasil bahwa pendapat yang menunjukkan Rasulullah melihat Allah dengan mata kepalanya, dalilnya tidaklah qoth'I, sebab dalil tersebut masih ihtimal dan mu'awal yang memungkinkan untuk ditakwil.
Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Dzar, dia bertanya kepada Rasulullah : "Apakah anda melihat Rabbmu? Beliau menjawab : "Aku melihat cahaya."
Ulama sepakat bahwa orang-orang mukmin (penduduk surga) akan melihat wajah Allah di Jannah kelak, beliau (Imam Thahawi) berkata : الرأية حق لأهل الجنة""
“Melihat Allah adalah pasti benar bagi penghuni (ahli) jannah tanpa dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana melihat-Nya sebagai mana disebutkan Rabb kita dalam Al-Qur'an; "Wajah-wajah orang mukmin saat itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada Rabb mereka." (Qs. Al-Qiyamah: 22-23)
Dari Hasan ia berkata, “Ia melihat pada Rabbnya, maka dibaguskanlah (dielokkan) dengan nur-Nya.”
Allah I berfirman, “Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya.”[1] Imam Thabari berkata, Ali bin Abi Thalib t dan Anas bin Malik t berkata, “(ada tambahannya) Maksudnya adalah melihat pada wajah Allah I.
Firman-Nya juga, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.[2]
Yang dimaksud dengan tambahannya ialah kenikmatan melihat Allah I. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Syuhaib ia berkata, Rasulullah r membaca ayat ini (10/26) kemudian ia bersabda,
-إذ دخل أهل الجنة الجنة ، وأهل النار النار ، نادى مناد : يا أهل الجنة ، إن لكم عند الله موعدا يريد أن ينجزكموه ، فيقولون : وما هو ؟ ألم يثقل موازيننا ، ويبيض وجوهنا ويدخلنا الجنة ، ويجرنا من النار ؟ فيكشف الحجاب : فينظرون إلى الله فما شيء أعطاهم شيئا أحب إليهم من النظر إليه ، وهي الزيادة (رواه مسلم :181, الترمذي : 2555و 3104, وغيرهما)
- أن الناس قالوا: يا رسول الله ، هل نرى ربنا عز وجل يوم القيامة ؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « هل تضارون في رؤية القمر ليلة البدر ؟ » قالوا : لا يا رسول الله . قال : « هل تضارون في الشمس ليس دونها سحاب ؟ » قالوا : لا . قال : « فإنكم ترونه كذلك (بخاري و مسلم)
Bahwa manusia pada bertanya, Wahai Rasulullah, apakah kita dapat melihat Robb kami pada hari kiamat? Rosulullah menjawab, "Apakah kalian kesulitan melihat bulan pada malam purnama? Mereka menjawab, "Tidak wahai Rasulullah. Apakah alian kesulitan dalam melihat matahari yang tanpa ada awan? Mereka menjawab, "Tidak" Rasul berkata, "Begitulah kalian juga akan melihatNya begitu".(Mutafaqun 'alaih).
- حدثنا جرير ، قال : كنا جلوسا مع النبي صلى الله عليه وسلم فنظر إلى القمر ليلة أريع عشرة ، فقال : « إنكم سترون ربكم عز وجل عيانا كما ترون هذا لا تضامون في رؤيته (أخرجاه في الصحيحين)
Hadits tentang ru’yah ini telah diriwayatkan oleh sekitar 30 orang sahabat. Tidak sah keimanan terhadap ru'yatullah (mengimani bahwa penghuni jannah akan memandang Raah mereka), bagi orang yang menganggapnya sebagai "praduga", atau mentakwil dengan pemikirannya. Karena penafsiran ru'yatullah itu, dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb, haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran dien atau keyakinan kaum muslimin. Maksud takwil adalah merubah(tahrif), bukan maksudnya setiap takwil dan meninggalkan dhohirnya sebagian dalil yang kuat dari kitab dan sunnah. Atau meninggalkan takwil yang rusak dan bid'ah, menyelisihi madzhab salaf. Takwil (menurut mufassir) adalah tafsir kalam dan keterangan maknanya, baik dhohirnya sepakat atau berselisih. Menurut Fuqoha kontemporer adalah merubah lafad yang rojih kepada yang marjuh karena adanya dalil yang mewajibkan demikian, tafsir yang benar adalah yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan Al Qur'an dan Assunnah.
Pengertian sebenarnya adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui Allah. Setiap hadits shahih yang diriwayatkan dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya adalah sebagaimana yang dikehendali Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk mentakwilkannya dengan pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa nafsu kita.
Perkataan para mufassir mengenai hal melihat Allah adalah haq bagi penduduk surga. Dalam QS. Qof : 35 dan Yunus : 26, kata mazid adalah memandang wajah Allah. Mu'tazilah berpendapat dengan dua ayat, lan taroni(7 : 143) dan laa tudrikul absor.
Ayat pertama, menetapkan akan melihatnya Allah dilihat dari beberapa segi :
· Allah bicara langsung pada Musa, yang mana ia adalah orang yang paling tahu tentang Allah.(bertanya pada hal yang dilarang)
· Allah tidak mengingkari permintaanya. Dan ketika Nuh memohon pada rabbnya untuk menyelamatkan anaknya, Allah tolak.
· Musa tidak bisa melihatNya di dunia karena ia lemah.
· Gunung yang kuat sekalipun tida bisa melihatNya, apalagi manusia yang lemah.
· Ketika Allah menampakkan (keagunganNya) kepada gunung, maka langsung hancur. Allah membolehkan pada gunung untuk melihatNya, maka apa yang menghalangiNya untuk memperlihatkan pada rasulNya? Tapi Allah memberi tahu Musa bahwa gunung tidak dapat melihatNya di dunia ini.
· Kata "lan" tidak menunjukkan atas peniadaan secara kontinyu ( untuk melihat Allah) di akherat.
Pada ayat yang ke dua menunjukkan atas kesempurnaan keagunganNya. Dia adalah maha agung.
Apakah ahlul mahsyar melihat Allah I? Dalam hal ini ada tiga perkataan (pendapat), yaitu;
1. Allah I tidak dilihat kecuali oleh orang-orang beriman.
2. Allah I dilihat oleh orang-orang yang dikumpulkan (ahlul mauquf) mukmin dan kafir, kemudian Allah I terhijab dari orang-orang kafir sehingga mereka tidak melihat-Nya setelah itu.
3. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya bersama orang-orang munafik. Namun orang-orang kafir tidak melihat-Nya.
Imam At-Thohawi mengisyaratkan bantahannya kepada golongan Mu'tazilah yang menafikan melihat wajah Allah dan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Rasulullah bersabda, إنكم ترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر , “Kalian akan melihat rabb kalian sebagaimana kalian meliahat bulan pada malam purnama.” (Muttafaq ‘Alaih).
Dalam hadits ini tasbih terletak pada lafadz ru’yah (melihat) bukan pada yang dilihat, karena huruf Ma dan Kaff bersambung dengan lafadz tarauna yang menempati masdarnya, yaitu ru’yah.
Sabda beliau yang lain,
تَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ الشَّمْسَ فِي الظَّهِيْرَةِ لَيْسَ دُوْنَهَا سَحَابًا
“Kamu sekalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat matahari di tengah siang yang cerah tanpa awan.” (HR, Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Perumpamaan melihat seperti ini adalah lebih tepat dengan mata bukan dengan hati atau akal.
Wallahu a'lam
Dikutip; dari kitab Aqidah Thahawiyah
[1] . Qs. Qaaf: 35.
[2] . Qs. Yunus: 26
Kata Mutiara
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Posting Komentar