“Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman pergi berperang semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya (berdakwah) apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka berhati-hati.” (At Taubah 122)
Demikianlah bunyi firman Allah, surat At-Taubah ayat 122. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa kewajiban berjihad adalah suatu hal yang maklum bagi umat ini. Pada saat yang sama, Ia juga memperingatkan agar umat ini tetap menyediakan sebagian putra-putranya untuk memperdalam ilmu agama.
Semua itu bertujuan demi menjaga agar pasukan Islam tetap berada di atas manhaj ilahiah, agar jihad yang dilakukan tetap fi sabilillah dan supaya buah manfaat jihad yang dilakukan dapat dinikmati secara sempurna oleh umat ini
Syaikh Abu Qotadah Al Filisthini – semoga Allah membebaskan beliau dari penjara thoghut Inggris- menjelaskan, “Dalam ayat ini, Allah Ta’ala membagi orang-orang beriman menjadi dua golongan : Mujahid dan Mujtahid, dan tidak ada lagi yang lebih baik dari mereka.Karena itu, seorang Mujahid seharusnya adalah juga Mujtahid demikian juga seorang Mujtahid mestilah Mujahid. Karena kata “Jihad” dan “Ijtihad” menurut pengertian bahasa, berasal dari kata الجَهد yang berarti ( التعب و المشقّة) atau kepayahan dan kesulitan atau dari kata الجُهد yang berarti (الوسع و الطاقة) atau daya kemampuan dan kekuatan.
Lebih tegas lagi Asy Syahid –Insya Allah- Sayyid Quthb menjelaskan, “Islam hanya dapat dipahami secara benar dalam kancah perjuangan dan jihad. Terlebih lagi pada saat jihad sudah menjadi fardhu ‘ain, maka Dien ini tidak bisa dipahami hanya berdasarkan penjelasan dari seorang ahli ilmu syari’ah (faqih) yang hanya duduk di belakang meja dikelilingi kitab dan makalah tanpa merasakan langsung kecamuk jihad fi sabilillah…. “
Jelaslah bagi kita bahwa jihad tidak bisa dipisahkan dengan ijtihad, ataupun sebaliknya. Sedang kita pun tahu, dakwah di era modern seperti sekarang ini mutlak memerlukan kemampuan seorang da’i untuk berijtihad menghadapi berbagai fenomena perkembangan sains, teknologi, peradaban dan pemikiran manusia yang amat sangat pesat.
Mengharapkan metode dakwah yang jauh dari kecamuk pertarungan antara al-haq dan bathil, adalah sebuah kemustahilan.. Apalagi jika kita memahami sifat perseteruan antara al-haq dan al-bathil sebagaimana Firman Allah, “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap” (Al-Anbiya’: 18)
Syaikh Abu Qotadah juga menuturkan bahwa Al Haq (kebenaran) harus ditampakkan dan dibenturkan dengan kebatilan. Karena seperti itulah sifat aslinya, dan ia tidak mungkin berubah dari sifat itu karena Allah telah menciptakan unsur kekuatan itu dalam dirinya”. [3]
Membenturkan sesuatu jelas membutuhkan kekuatan, apalagi membenturkan Al-Haq untuk melenyapkan kebathilan. Tentu tidak hanya dibutuhkan kekuatan semata. Lebih dari itu, dibutuhkan kesabaran, konsistensi, tsabat (keteguhan), strategi dan pengorganisasian yang rapi dan berbagai perangkat lainnya.
Hikmah dan Nasehat dalam dakwah
Dalam menafsirkan ayat 125 surah An Nahl yang artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik…”, Sayyid Quthb menjelaskan “Inilah manhaj dan pedoman dalam berdakwah, selama itu masih berkisar dalam lingkup dakwah yang bersifat lisan, maka yang digunakan adalah hujjah (argumen yang kuat) dan nasehat yang baik.
Akan tetapi jika terjadi penentangan bahkan permusuhan terhadap para da’i dan penyeru syari’ah Allah, maka kondisinya menjadi berubah. Penentangan dan permusuhan adalah tindakan fisik yang harus dihadapi dengan tindakan yang setara sebagai bentuk penghormatan dan pembelaan terhadap al haq serta untuk menjaga agar jangan sampai kebathilan mengalahkan al-haq.
Karena Islam adalah Dien yang lurus dan menjunjung tinggi keadilan dan Islam mewajibkan pemeluknya untuk membelanya dari segala bentuk tindakan yang melampaui batas. Sebagaimana firman Allah :[4] “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”.
Dari sini dapat kita pahami bahwa hikmah dan nasihat yang baik hanyalah salah satu metode dan tahapan dalam berdakwah. Namun pada akhirnya tetap saja musuh-musuh Allah akan menggunakan segala cara untuk memadamkan cahaya Islam. Inilah salah satu arti penting jihad yaitu sebagai penjaga keberlangsungan dakwah.
Dakwah Thaifah Manshurah
Imam Nasa’i meriwayatkan dari Salamah bin Nufail Al Kindy radhiyallahu 'anhu dengan sanad shahih, beliau berkata: “Saat aku duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba-tiba seseorang berteriak “Orang-orang telah menambatkan kuda dan peralatan perang mereka, seraya berseru “Sekarang tidak ada lagi jihad, perang telah usai!” serta merta Rasulullah menolehkan wajahnya dan berseru “Mereka bohong!”. Saat ini juga jihad dimulai, dan senantiasa akan ada sebagian dari umatku yang berperang menegakkan al-haq, lalu Allah menjadikan hati orang-orang bersimpati pada mereka sehingga Allah jadikan rizki mereka melalui perantaraan orang-orang itu hingga hari kiamat tiba dan hingga janji Allah terwujud (kemenangan Islam atas kaum kafir)”.
Ini hanyalah salah satu dari puluhan hadits tentang Thaifah Manshuroh yang karena saking banyaknya riwayat sehingga Syaikh Salman Audah dalam buku Silsilatul Ghuroba’ menyatakan bahwa hadits tentang Thoifah Manshuroh telah mencapai derajat Mutawatir.
Dari sekian banyak hadits tersebut, tidak ada satupun hadits yang tidak menyebut jihad sebagai salah satu sifat dan ciri utama Thaifah Manshuroh. Bahkan dalam hadits di atas diterangkan bahwa rizki untuk mereka pun diperoleh karena mereka berjihad.
Allah mencukupi kebutuhan mereka, menghapus gundah gulana dan kecemasan mereka, serta berbagai macam problematika kehidupan karena kecintaan mereka kepada jihad fi sabilillah. Sehingga jihad adalah ruh dan jasad mereka, jihad adalah jiwa dan nyawa mereka. Karena sesungguhnya tanpa adanya ruh jihad dalam diri seseorang, sejatinya ia telah mati sebelum nyawanya dicabut oleh Sang Khaliq.
Adalah mustahil jika kita ingin dimasukkan dalam Thoifah Manshuroh, tetapi kemudian memilih metode dan manhaj dakwah yang tidak “nyerempet-nyerempet” dengan jihad, hanya karena kita takut disebut teroris.
Dakwah dan jihad adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Memisahkan dakwah dari jihad sama dengan memisahkan jasad dari ruhnya. Dakwah akan mati dan jihad pun akan musnah. Tidak berlebihan rasanya jika kemudian Abu Qotadah menyimpulkan bahwa Thoifah Manshuroh adalah Thaifah Ilmu dan Jihad…Thaifah Jihad dan Ijtihad.
Lalu di manakah posisi kita saat ini ? Mujahid kah atau Mujtahid kah?
Wallahu ‘a’lamu bishshawab.
[1] Al Jihad wal Ijtihad hal 5 terbitan Darul Bayarik cetakan pertama tahun 1999M/1419H
[2] Fi Dzilalil Qur’an hal 1735
[3] Al Jihad wal Ijtihad hal 14 terbitan Darul Bayarik cetakan pertama tahun 1999M/1419H
[5] Fi Dzilalil Qur’an 14/2202
Kata Mutiara
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Posting Komentar