Rasisme, Sukuisme, Harokisme

Diposting oleh Ahsanul Huda Kamis, 06 Mei 2010

Sudah menjadi fithrah, bahwa Allah menciptakan manusia secara berbeda. Walaupun kembar sekalipun, tidak ada yang benar-benar sama identik. Tapi bukan untuk kesia-siaan Allah mengatur demikian. Ada hikmah yang terkandung. Ada pesan yang tersirat. Bahwa Allah menciptakan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku…adalah agar kita saling mengenal. Dan imbas dari semua itu ialah, agar terjalin ukhuwah Islamiyah.

Sukuisme….. Istilah itu begitu menakutkannya. Mengkotak-kotakkan manusia atas nama perbedaan. Membatasi pergaulan atas nama adat. Memberi jeda dalam setiap bahasa. Muncul chauvinisme. Menganggap suku yang satu lebih tinggi dan mulia dibandingkan suku yang lain. Perang antar suku berkobar. Terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Membunuh anggota suku lain dan merasa telah menuntaskan pembelaan terhadap sukunya. Semua hanya karena satu kata: adat!

Dalam lingkup dunia, rasisme tak kalah mengerikan. Hanya karena ras tertentu merasa lebih tinggi dibanding ras yang lain, maka ras yang lain itu tertindas. Ras yang lain pun mengobarkan perlawanannya. Menentang ras tertentu untuk menunjukkan eksistensi masing-masing. Pecahlah peperangan. Perbudakan bagi ras yang kalah. Penjajahan yang dilakukan oleh ras yang menang. Kekuatan hanya dibuktikan oleh fisik semata. Yang inti permasalahannya cuma satu: perbedaan warna kulit!

Harokisme… Mungkin ada di antara antum yang belum akrab mendengar istilah tersebut. Saya sendiri juga tidak begitu paham bagaimana penyebutannya. Tapi istilah ini saya munculkan untuk menyebut para aktivis harokah yang menganggap baik harokahnya sendiri, sehingga meninggalkan pesan Allah, bahwa semua manusia diciptakan memang beragam…agar saling mengenal.

Harokisme. Dengan tujuan yang sama, ingin menegakkan Dienullah di muka bumi. Dengan cara yang masing-masing berbeda. Harokah A ingin melanjutkan kehidupan Islam, harokah B ingin mensyiarkan sunnah, harokah C ingin membuat ishlah, dan seterusnya. Bukankah masing-masing dilakukan dengan melalui proses ijtihad? Bukankah pemikiran manusia memang tidak ada yang sempurna? Dan bukankah hanya Allah saja yang mengetahui benar-salah, baik-buruk, dosa-pahala? Kenapa harus saling mencela? Ketika suatu harokah bergerak dengan memanfaatkan sistem, muncul reaksi dari harokah lain yang menganggap sistem tersebut haram. Lalu mengatakan, bahwa tidak mungkin Allah akan meridhoi langkah perjuangan orang yang melakukannya dengan cara-cara yang tidak diridhoinya. Apakah jamaah antum yang menetukan sesuatu itu diridhoi-NYA atau tidak? Lalu ketika suatu jamaah memberikan bantuan makanan, obat-obatan, maupun pelayanan kesehatan dan menganggap hal itu termasuk salah satu kaidah dakwah, jamaah lain menolak. Merasa bahwa ummat tidak akan mungkin tersadarkan dengan cara-cara seperti itu. Apakah jamaah antum yang menentukan bahwa seruan (dakwah) kita diterima masyarakat atau tidak? Bukankah tugas kita HANYALAH menyeru? Yang dinilai oleh Allah bukanlah hasil, tapi perjuangan kita.

Semoga antum-antum yang mempermasalahkan harokah itu bisa paham maksud saya. Saya hanya ingin mencontohkan, bahwa jika dakwah diukur dari hasil, maka apakah Nabi Musa as memperoleh pahala? Kaumnya meninggalkannya. Bahkan mereka (Bani Israel) kembali pada kekafirannya setelah Musa meninggalkannya. Dakwah Nabi Musa tidak berhasil (menurut ukuran manusia). Tapi di mata Allah, subhanallah! Namanya bahkan menjadi nama yang paling sering disebut dalam Al Qur’an.
Rasisme, sukuisme, dan harokisme.

Hal itu seharusnya tidaklah menjadi masalah ketika kita mampu menerimanya sebagai suatu keberagaman, bukan perbedaan. Karena perbedaan itu fithrah. Wallahu a’lam. (yan)

0 komentar

Posting Komentar