Kisah Nabi Ya’qub AS Dan Putranya,Yusuf AS

Diposting oleh Ahsanul Huda Senin, 24 Mei 2010

Kisah ini termasuk salah satu kisah dari kisah-kisah yang sangat mengagumkan, yang dijelaskan oleh Allah secara keseluruhan (lengkap), dan Allah menjelaskannya tersendiri dalam suatu surat yang panjang dengan penjelasan yang rinci dan gamblang, yang dapat dibaca dari tafsirnya. Di dalamnya Allah SWT menjelaskan kisah Nabi Yusuf AS dari awal hingga akhir berikut sejumlan perubahan dan peristiwa yang terjadi yang menyertainya. Berkenaan dengan kisah tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf: 7).

Dalam pembahasan ini, kami akan mengemukakan sejumlah faidah yang besar yang dapat diambil dari penjelasan kisah tersebut seraya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.

Adapun sejumlah faidah yang dapat diambil di antaranya bahwa kisah tersebut termasuk kisah yang sangat baik serta jelas. Karena di dalamnya terdapat sejumlah perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan berikutnya, dari suatu cobaan kepada cobaan berikutnya, dari kehinaan kepada kemuliaan, dari kedamaian kepada ketakutan dan sebaliknya, dari raja kepada budak dan sebaliknya, dari perpecahan dan kekacauan kepada persatuan dan keharmonisan serta sebaliknya, dari kebahagiaan kepada kesedihan dan sebaliknya, dari kemakmuran kepada kelaparan serta sebaliknya, dari kesempitan kepada kelapangan serta sebaliknya dan pencapaian hasil-hasil yang terpuji (baik). Maha Pemberi Keberkahan Dzat yang telah menjelaskannya dan menjadikannya sebagai pelajaran berharga bagi orang-orang yang berakal.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan ketepatan dalam menafsirkan mimpi, dimana ilmu tentang penafsiran mimpi itu adalah suatu ilmu yang dikaruniakan Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Pada umumnya yang menjadi patokan di dalam menafsirkan mimpi ialah adanya kecocokan dengan kenyataan, perumpamaan-perumpamaan dan persamaan dalam sejumlah sifat.

Kecocokan mimpi Nabi Yusuf AS dengan kenyataan, bahwa ia memimpikan matahari, bulan serta sebelas buah bintang sujud kepadanya, dimana benda-benda tersebut adalah hiasan langit yang bermanfaat. Begitu juga dengan para nabi, para ulama dan orang-orang pilihan, dimana mereka adalah hiasan bumi.

Dengan sebab mereka, maka diperolehlah petunjuk dalam kegelapan, seperti halnya diperoleh petunjuk dengan sebab benda-benda langit yang bersinar serta bercahaya. Karena bapaknya dan ibunya Nabi Yusuf AS adalah pokok dan saudara-saudaranya adalah cabang dari keduanya, tentunya sesuatu yang pokok memiliki sinar dan ukuran yang jauh lebih besar daripada sesuatu yang menjadi cabang.

Demikian juga halnya dengan mimpi Nabi Yusuf AS, dimana matahari melambangkan ibunya atau bapaknya, bulan melambangkan bagian lain dari keduanya serta sebelas buah bintang melambangkan saudara-saudaranya. Kecocokan mimpi tersebut dengan kenyataan bahwa yang bersujud niscaya menaruh hormati kepada yang disujudi dan yang disujudi niscaya memiliki kedudukan yang agung dan terhormat. Mimpi tersebut menunjukkan, bahwa Nabi Yusuf AS niscaya akan memiliki kedudukan yang agung dan terhormat di hadapan kedua orang tuanya serta saudara-saudaranya. Tetapi hal tersebut tidak akan sempurna, kecuali ditempuh sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepadanya, misalnya: sejumlah ilmu, amal-amal shalih dan penyeleksian dari Allah. Hal itu ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi).” (Yusuf: 6).

Faidah lainnya ialah kecocokan dalam menafsirkan mimpi dua orang pemuda.

Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi seorang pemuda yang memeras anggur, bahwa orang yang melakukan perbuatan demikian biasanya adalah seorang pelayan dan perasan anggur yang dimaksud diperuntukkan bagi orang lain, dan seorang pelayan biasanya menuruti perintah orang lain. Adapun tafsiran dari memberi minum adalah memberi minum orang yang dilayaninya. Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi itu berdasarkan kenyataan yang biasa berlaku.

Sedangkan berkenaan dengan mimpi seorang pemuda lainnya, yang bermimpi membawa roti di atas kepalanya, lalu sebagiannya dimakan seekor burung, bahwa pelakunya niscaya akan dibunuh dan disalib selama beberapa hari hingga datang kepadanya seekor burung dan memakan otaknya.

Kemudian Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi seorang raja yang bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus serta tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering. Adapun kecocokan mimpi raja itu dengan kenyataan, bahwa seorang raja terkait dengan urusan-urusan dan kemaslahatan rakyatnya, dengan melakukan urusan-urusan yang mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya, maka hal itu akan mendatangkan kemaslahatan baginya dan dengan melakukan urusan-urusan yang mendatangkan kerusakkan bagi rakyatnya, maka hal itu akan mendatangkan kerusakkan baginya. Itulah kecocokan tafsiran mimpi tersebut dengan kenyataan. Begitu juga dengan tafsiran tentang tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering, dimana hal itu berkaitan dengan urusan-urusan kehidupan yang mendatangkan kesejahteraan dan urusan-urusan kehidupan yang mendatangkan kesengsaraan. Sapi merupakan alat untuk membajak tanah yang dapat mendatangkan hasil dengan menanaminya. Mimpi tersebut terkait dengan sebab akibat.

Dengan demikian tafsiran dari mimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus, dan tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering, bahwa tujuh butir gandum itu awalnya tumbuh subur, kemudian mengering dan hanya memakan hasil yang didapatkan darinya, dimana tidak ada butir gandum yang tersisa kecuali yang disimpan. Jika tidak ada gandum yang disimpan, niscaya semuanya akan habis dimakan.

Jika dikatakan, “Dari manakah pernyataan Nabi Yusuf AS berikut dikutip: “Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.” (Yusuf: 49).

Sebagian ahli tafsir berpendapat, bahwa pernyataan itu merupakan tambahan dari Nabi Yusuf AS terhadap wahyu yang diwahyukan kepadanya dalam menafsirkan mimpi tersebut?

Jawabannya, bahwa masalahnya bukanlah demikian, tetapi Nabi Yusuf AS mengutipnya dari mimpi raja tersebut, karena musim kemarau itu hanya berlangsung selama tujuh tahun saja dan setelahnya akan datang tahun yang agung, yang subur dan banyak membawa keberkahan (musim hujan) serta menghilangkan musim kemarau yang dahsyat yang tidak mungkin hilang dengan musim subur (hujan) yang biasa, tetapi harus dengan musim hujan yang luar biasa. Penafsiran tersebut sangat gamblang, yang dipahami dari jumlah bilangan yang terdapat di dalam pernyataan raja yang berkenaan dengan mimpinya.

Faidah lainnya, bahwa dalam kisah tersebut terkandung sejumlah dalil dan bukti nyata atas kenabian Muhammad SAW, dimana Allah telah menceritakan kisah itu kepadanya secara rinci dan jelas yang sesuai dengan kenyataan yang dimaksud secara keseluruhan, padahal Nabi Muhammad SAW tidak pernah membaca kitab-kita suci umat-umat terdahulu dan tidak juga belajar kepada seseorang; sebagaimana yang diberitahukannya kepada kaumnya, dan beliau sendiri adalah orang tidak dapat menulis dan membaca. Karena itu, maka Allah SWT berfirman, “Demikian itu (adalah) di antara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya.” (Yusuf: 102)

Faidah lainnya, bahwa wajib bagi seseorang menghindari sebab-sebab yang mendatangkan keburukan dan menyembunyikan sesuatu yang dikhawatirkan dapat mendatangkan kemadharatan. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS kepada Nabi Yusuf AS, “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)

Faidah lainnya adalah keharusan mengingatkan seseorang tentang sesuatu yang dibenci; yang disampaikan dengan jujur dan sebagai nasehat baginya atau bagi yang lainnya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS, “… maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)

Faidah lainnya, bahwa ni’mat Allah yang dikaruniakan kepada seseorang merupakan ni’mat pula terhadap orang yang memiliki hubungan dengannya serta berkaitan dengan anggota keluarganya, kerabatnya dan sahabat-sahabatnya. Karena itu, sudah semestinya ia memelihara hubungan dengan mereka serta meliputi mereka dengan ni’mat itu. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala, “… dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub.” (Yusuf: 6)

Yakni sebab ni’mat yang dikaruniakan kepadamu. Karena itu, ketika ni’mat yang diperoleh Nabi Yusuf AS mencapai tingkat kesempurnaan, maka keluarga Nabi Ya’qub AS pun memperoleh kemuliaan, kedudukan yang terhormat, kebahagiaan, terbebas dari penderitaan dan memperoleh hal-hal yang disukai sebagaimana dijelaskan oleh Allah pada akhir kisah.

Faidah lainnya, bahwa pencapaian ni’mat-ni’mat besar, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan harus didahului dengan sebab-sebab dan langkah-langkah yang akan mengantarkan kepada pencapaian ni’mat tersebut. Karena Allah adalah Maha Bijaksana dan Ia memiliki ketentuan yang tidak akan berubah. Allah telah menetapkan bahwa orang yang mencari kedudukan yang tinggi, niscaya ia tidak akan dapat mencapainya, kecuali dengan sebab-sebab yang bermanfaat, khususnya ilmu-ilmu yang bermanfaat yang disertai dengan akhlak yang terpuji dan amal shalih.

Karena itu, Nabi Ya’qub AS mengetahui bahwa keberhasilan Nabi Yusuf AS dalam mencapai kedudukan yang terhormat serta derajat yang tinggi yang menyebabkan bapaknya, ibunya serta saudara-saudaranya menaruh rasa hormat kepadanya, niscaya tidak terlepas dari pertolongan Allah yang memberi kemudahan kepada Nabi Yusuf AS dalam melakukan langkah-langkah yang mengantarkannya kepada pencapaian kedudukan tersebut. Karena itulah, maka Allah SWT berfirman, “Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu.” (Yusuf: 6)

Faidah lainnya, bahwa keadilan merupakan sesuatu yang dituntut dalam seluruh urusan; baik yang kecil maupun yang besar seperti: dalam perlakuan penguasa terhadap rakyatnya, perlakuan kedua orang tua terhadap anak-anaknya, penunaian hak-hak suami istri dalam hal kasih sayang, pengutamaan dan lain-lain. Penegakan keadilan dalam urusan tersebut niscaya akan mendorong tegaknya urusan yang kecil dan yang besar, sehingga seorang hamba mendapatkan apa yang didambakannya. Sedang jika keadilan tidak ditegakkan, niscaya keadaan akan mengalami kehancuran dan seorang hamba akan mendapatkan apa yang dibencinya tanpa disadarinya. Karena itu, maka ketika Nabi Ya’qub AS mengutamakan kasih sayang kepada Nabi Yusuf AS serta mengarahkan mukanya (perhatiannya) kepadanya, maka saudara-saudaranya menunjukkan sikap yang menyebabkan bapak dan ibu mereka harus menerima sesuatu yang tidak disukai.

Faidah lainnya, bahwa merupakan keharusan untuk mengingatkan akibat buruk yang ditimbulkan dari perbuatan dosa. Karena sering kali perbuatan suatu dosa diikuti sejumlah perbuatan dosa-dosa lainnya dan keburukkan yang beruntun berkaitan dengan perbuatan dosa yang pertama. Perhatikanlah kesalahan yang dilakukan saudara-saudara Nabi Yusuf AS ketika mereka bermaksud memisahkan dia dengan bapaknya yang tergolong dosa besar, dimana mereka melakukan tipu daya setelah melakukan sejumlah tipu daya lainnya dan mereka melakukan kebohongan berulang kali serta mendatangi bapak mereka sambil membawa sebuah baju yang telah dilumuri darah.

Sifat mereka terlihat ketika mereka datang kepada bapak mereka di sore hari sambil menangis dan dapat dipastikan bahwa pembicaraan tentang masalah tersebut saling berantai serta bercabang-cabang, bahkan terkadang ia dikaitkan dengan keinginan mereka berkumpul kembali dengan Nabi Yusuf AS. Padahal ketika mereka membahas masalah itu, maka pembahasan itu penuh rekayasa dan kebohongan seiring dengan berlanjutnya pengaruh musibah tersebut terhadap Nabi Ya’qub AS, bahkan terhadap Nabi Yusuf AS.

Karena itulah, sudah semestinya seseorang berhati-hati serta merasa takut akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa, khususnya perbuatan dosa yang menyebabkan perbuatan-perbuatan dosa yang berikutnya. Sebaliknya dengan sebagian dari perbuatan taat, meski hanya melakukan suatu perbuatan taat, tetapi manfaat serta keberkahannya berantai atau berkelanjutan hingga diikuti oleh perbuatan-perbuatan taat yang lainnya baik yang dilakukan oleh pelakunya maupun orang lain. Itulah pengaruh keberkahan yang sangat besar yang dikaruniakan Allah kepada seseorang berkenaan dengan ilmu dan amalnya.

Faidah lainnya, bahwa pelajaran berharga bagi seorang hamba berkenaan dengan pencapaian kesempurnaan di akhir itu tidak ada hubungan dengan kekurangan pada permulaan. Karena putera-putera Nabi Ya’qub AS pun sejak awal telah melakukan sejumlah perbuatan dosa yang bermacam-macam, tetapi urusan mereka berakhir dengan taubah yang sesungguhnya, pengakuan kesalahan dengan sepenuh hati, mendapatkan pengampunan dari Nabi Yusuf AS serta bapak mereka atas dosa yang dilakukan mereka serta mendo’akan mereka supaya mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. Jika seorang hamba memaafkan sesuatu hak, niscaya Allah akan lebih memaafkan, dan Allah adalah sebaik-baiknya pemberi rahmat dan ampunan. Karena itu, perkataan yang tepat bahwa Allah telah menjadikan mereka sebagai nabi karena telah diampuninya dosa mereka di masa lalu sehingga keadaan mereka bersih seperti semula, serta merujuk firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya.” (Ali ‘Imran: 84), yakni putra-putra Nabi Ya’qub AS yang jumlahnya sebelas orang dan keturunan mereka.”

Di antara yang menguatkan keterangan di atas, bahwa di dalam mimpi Nabi Yusuf AS, mereka dilambangkan dengan sebelas bintang yang memiliki cahaya yang dapat dijadikan petunjuk, dan hal itu termasuk salah satu sifat dari sifat-sifat para nabi. Seandainya mereka tidak menjadi nabi, nicaya mereka menjadi ulama yang kharismatik.

Faidah lainnya, bahwa apa yang dikaruniakan Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS berupa ilmu, kesabaran, akhlak yang sempurna, menyeru supaya beribadah kepada Allah Ta’ala dan mentaati perintah agama-Nya, mengampuni saudara-saudaranya yang bersalah dengan pengampunan yang membuat mereka merasa dekat dengannya dan menyempurnakan hal itu dengan mengabari mereka bahwa ia tidak akan mencerca mereka setelah adanya pengampunan tersebut, kebaktiannya yang besar kepada bapak dan ibunya, kebaikkannya kepada saudara-saudaranya dan juga kebaikannya kepada mahluk secara umum, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam biografinya dan kisahnya.

Faidah lainnya, bahwa sebagian keburukan lebih rendah dari sebagian yang lainnya, dan melakukan keburukan yang lebih ringan akibatnya lebih utama daripada melakukan keburukan yang lebih berat kemadharatannya, karena itu ketika saudara-saudara Nabi Yusuf AS berkata, “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal).” (Yusuf: 9), maka salah seorang dari mereka berkata, “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.” (Yusuf: 10). Perkataannya itu lebih baik daripada perkataan mereka dan lebih ringan akibatnya daripada dosa besar (pembunuhan) yang akan dilakukan saudara-saudaranya, dan itu termasuk dalam sejumlah sebab yang telah ditetapkan Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS dalam mengantarkannya kepada tujuan yang dikehendaki.

Faidah lainnya, bahwa jika sesuatu berpindah tangan serta menjadi bagian dari sejumlah harta dan para pelakunya tidak mengetahui bahwa hal itu tidak sesuai dengan hukum syara’ (agama), maka tidak berdosa bagi orang yang bahagia dengan menjual, membeli, mempekerjakan, mengambil manfaat, atau mempergunakannya, karena Nabi Yusuf AS pun dijual oleh saudara-saudaranya, padahal penjualan itu diharamkan atas mereka. Ia dibeli oleh sekelompok orang-orang musafir, dan mereka menduga, bahwa ia adalah budak milik saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang menjualnya, kemudian mereka membawanya pergi ke Mesir dan menjualnya di Mesir, sehingga ia tinggal di rumah tuannya dan Allah menyebutnya dengan sayyid (tuan) sebagai budak dan di hadapan mereka ia adalah seorang budak yang mulia. Allah menyebut para pembeli yang pertama dengan sayyarah (sekelompok orang-orang musafir) dan penjualannya di Mesir (saudara-saudaranya) dengan mu’amalah (transaksi), sebagaimana kami sebutkan.

Faidah lainnya berkenaan dengan peringatan akan bahayanya khalwat (menyendiri) dengan wanita lain (bukan muhrim), khususnya dengan wanita yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, danperingatan akan bahaya cinta yang dikhawatirkan mendatangkan kemadharatan. Karena isteri Al-Aziz (sebutan bagi raja di Mesir) menghadapi bahaya itu karena menyendiri dengan Nabi Yusuf AS serta cintanya yang mendalam kepadanya yang menyebabkannya lupa diri sehingga ia menggodanya, lalu ia berdusta kepada Al-Aziz dan memintanya agar memasukannya ke dalam penjara dalam waktu yang lama.

Faidah lainnya, bahwa ada keinginan Nabi Yusuf melakukan perbuatan keji itu kemudian Allah cegah dengan cahaya iman yang dimasukan ke dalam hatinya sehingga mendorongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan salah satu dorongan dari dorongan-dorongan nafsu yang mendorong kepada kejelekan yang merupakan tabiat manusia. Jika keinginan berbuat maksiat datang, sedangkan tidak ada cahaya iman dan perasaan takut kepada Allah yang dapat mencegahnya, niscaya perbuatan maksiat itu akan terlaksana. Jika seorang mukmin memiliki iman yang sempurna dan dorongan tabiat itu datang, niscaya imannya yang murni dan kuat dapat mencegahnya dari dorongan tabiat itu, meski dorongan itu kuat. Nabi Yusuf AS termasuk orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam masalah tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “… andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya.” (Yusuf: 24), sebagai petunjuk dari Allah: “Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)

Jadi hal tersebut terjadi, karena pencegahan Allah Ta’ala kepadanya, kekuatan imannya dan keikhlasannya, dimana Allah menyelamatkannya dari perbuatan dosa, sehingga ia termasuk orang yang takut kepada Rabbnya dan memelihara dirinya dari keinginan hawa nafsunya. Ia akan menjadi pimpinan tertinggi dari tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya. Nabi SAW menyebutkan ketujuh golongan manusia tersebut dalam sabdanya di antaranya ialah: “seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik, lalu ia menjawab, “Sesungguhnya aku merasa takut kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari;660, 1423 dan 6806 dan Muslim;1031: 91 dari hadits Abu Hurairah RA)

Jika tidak ada yang mencegahnya, niscaya istri Al-Aziz akan terus-menerus menggodanya dan keinginan Nabi Yusuf AS untuk menuruti keinginan hawa nafsunya akan terlaksana. Tetapi keinginan itu tidak terlaksana karena melihat tanda kekuasaan Rabbnya.

Faidah lainnya, bahwa orang yang hatinya diliputi oleh keimanan, disinari sinar ma’rifat kepada Rabbnya, diterangi cahaya keimanan yang memancar di dalamnya dan keikhlasan kepada Allah dalam seluruh perilakunya, niscaya Allah akan memeliharanya dengan cahaya keimanan dan keikhlasannya dari berbagai kejahatan, kekejian serta sebab-sebab yang dapat menjerumuskannya ke dalam perbuatan maksiat sebagai balasan atas keimanan serta keikhlasannya. Allah memberikan alasan dipalingkannya Nabi Yusuf AS dari keinginan hawa nafsunya, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24) Karena orang yang ingin diselamatkan serta dijauhkan Allah dari perbuatan buruk, hendaklah ia ikhlas kepada-Nya.

Faidah lainnya, bahwa diwajibkan atas seseorang ketika menghadapi cobaan di suatu tempat yang di dalamnya terdapat fitnah dan sebab-sebab yang mendorong kepada kemaksiatan supaya melarikan diri ke suatu tempat yang memungkinkannya dapat terhindar dari keburukan itu, sebagaimana Nabi Yusuf AS melarikan diri ke pintu, sehingga istri Al-Aziz menarik bajunya ketika beliau membelakanginya.

Faidah lainnya, bahwa indikasi-indikasi dapat dipakai sebagai sebuah petunjuk dalam memutuskan suatu kasus ketika terjadi kesamaran dalam tuduhan (dakwaan), sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf AS, dimana seorang saksi memberikan kesaksian atau menetapkan hukum terhadap Nabi Yusuf AS dan istri Al-Aziz berdasarkan sebuah indikasi yang ada, seraya berkata, “Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta.” (Yusuf: 26) Sehingga ketetapan hukumnya sesuai dengan kebenaran.

Dalam kasus Nabi Yusuf AS dengan saudaranya (Bunyamin), bahwa di antara indikasi yang dijadikan sebagai petunjuk di dalam menetapkan hukum ialah keberadaan piala (gelas minum) di dalam karung saudaranya, sehingga hukum pun ditetapkan berdasarkan indikasi tersebut.

Faidah lainnya, bahwa Nabi Yusuf AS terkenal memiliki kesempurnaan lahir dan bathin. Kesempurnaan lahirnya bahwa ia memiliki rupa yang sangat tampan yang menyebabkan istri Al-Aziz mencintainya secara mendalam dan mendorongnya untuk menggodanya terus-menerus, dan ketika para wanita mencela dan mencemoohkannya, maka ia pun mengundang mereka, seperti tertera dalam firman Allah SWT, “…diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata, “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” (Yusuf: 31)

Sedang kesempurnaan bathinnya yang dimaksud, bahwa ia memiliki sifat ‘iffah (pemeliharaan diri dari segala sesuatu yang tidak baik) yang besar, sehingga meski banyak sekali penyebab yang dapat menjerumuskannya ke dalam keburukan, tetapi karena cahaya keimanannya yang terang benderang dan keikhlasannya yang kuat, yang keduanya hanya bersatu dengan keutamaan dan tidak bersatu dengan kehinaan. Istri Al-Aziz menjelaskan kepada para wanita yang diundangnya tentang dua sifat yang ada pada Nabi Yusuf AS, dimana ketika ia melihat kesempurnaan lahirnya (ketampanannya) yang telah diketahui yang tidak ditemukan pada manusia lainnya, seraya berkata, “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak.” (Yusuf: 32)

Selanjutnya ia pun berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 51)

Faidah lainnya ialah berkenaan dengan sikap Nabi Yusuf AS yang lebih memilih penjara daripada berbuat maksiat.

Begitulah sikap yang seharusnya diambil jika seseorang menghadapi dua ujian dan harus memilih salah satu dari dua ujian tersebut: antara dipaksa berbuat maksiat atau disiksa dengan siksaan dunia, hendaklah ia memilih siksaan dunia yang di dalamnya memiliki sejumlah pahala:

1.      Pahala dari segi keberpihakannya kepada keimanan dan bersedia menerima siksaan dunia.

2.      Pahala dari segi keharusan memelihara keikhlasan dan kesucian diri atas seorang mukmin, dan hal itu termasuk jihad di jalan Allah.

3.      Pahala dari segi musibah (ujian) yang menimpanya dan penderitaan yang dialaminya akibat siksaan dunia tersebut.

Maha Suci Dzat Yang telah memberikan sejumlah ni’mat melalui ujian-Nya dan Maha Penyayang terhadap para kekasih-Nya, dimana hal tersebut merupakan tanda keimanan dan ciri kebahagiaan.

Faidah lainnya, bahwa diwajibkan kepada seorang hamba untuk berlindung kepada Rabbnya ketika ia menghadapi sebab-sebab yang dapat mendorongnya kepada perbuatan maksiat dan membebaskan diri dari cengkraman dan kekuatannya (perbuatan maksiat). Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS, “Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33)

Seorang hamba yang mendapat petunjuk, niscaya ia akan memohon pertolongan kepada Rabbnya supaya dapat menghindari kemaksiatan serta sebab-sebabnya, sebagaimana ia juga akan memohon pertolongan kepada-Nya dalam melakukan ketaatan dan kebaikan. Sesungguhnya Allah pasti akan mencukupi orang-orang yang berserah diri kepada-Nya.

Faidah lainnya, bahwa ilmu dan akal yang sehat niscaya akan menggiring pemiliknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejahatan. Sedang kebodohan akan menggiring pemiliknya kepada perbuatan yang sebaliknya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS, “… tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33)

Yakni orang-orang yang bodoh akan urusan-urusan agama, dan orang-orang yang bodoh akan hakikat yang bermanfaat dan hakikat yang menimbulkan kemadharatan.

Faidah lainnya, bahwa sebagaimana telah diwajibkan atas seseorang agar beribadah kepada Rabbnya dalam keadaan lapang, maka diwajibkan pula atasnya agar beribadah kepada-Nya dalam keadaan sempit. Nabi Yusuf AS senantiasa berdo’a kepada Allah, bahkan ketika ia dimasukan ke penjara, maka ia pun tetap memelihara kebiasaannya tersebut dan mengajak orang-orang yang berhubungan dengannya dari para penghuni penjara untuk melakukannya serta mengajak dua orang pemuda untuk mengesakan Allah dan melarang keduanya menyekutukan-Nya.

Di antara kesempurnaan pandangan dan ilmunya, bahwa ketika ia melihat pada kedua pemuda itu terdapat sambutan (respon) terhadap ajakannya di saat keduanya membutuhkannya untuk menafsirkan mimpi keduanya, seraya keduanya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan mimpi).” (Yusuf: 36)

Nabi Yusuf AS melihat hal itu sebagai peluang, dan ia mengajak keduanya ke jalan Allah sebelum menafsirkan mimpi keduanya supaya tercapai tujuannya yang dimaksud. Kemudian ia menjelaskan kepada keduanya, bahwa sesuatu yang telah menyampaikannya kepada kesempurnaan dan pengetahuan dalam menafsirkan mimpi keduanya adalah imannya, tauhidnya dan pengabaiannya kepada agama orang-orang musyrik. Itulah seruan yang disampaikan Nabi Yusuf AS kepada keduanya pada saat itu. Nabi Yusuf AS mengajak keduanya mengobrol dan menjelaskan kepada keduanya mengenai tauhid yang benar serta kewajiban-kewajibannya dan mencela kemusyrikan dan pengharaman-pengharamannya.

Faidah lainnya, bahwa Nabi Yusuf AS memulai dengan hal yang paling penting dan dilanjutkan dengan hal penting yang berikutnya,

Jika seorang pemberi fatwa ditanya, sedangkan penanya lebih membutuhkan penjelasan mengenai sesuatu di luar pertanyaannya, hendaklah ia menjelaskan kepada penanya hal yang lebih dibutuhkannya sebelum ia menjawab pertanyaannya, dan hal itu adalah tanda kecerdasan dan kejeniusan seorang guru dan ciri bimbingan dan ajarannya itu baik. Karena Nabi Yusuf AS pun ketika ditanya oleh dua orang pemuda mengenai tafsiran mimpi keduanya, maka ia melihat kebutuhan keduanya kepada tauhid dan iman lebih penting daripada kebutuhannya kepada sesuatu yang lain.

Faidah lainnya, bahwa orang yang mengahadapi sesuatu yang dibenci dan mendatangkan kesulitan tidak menjadi soal baginya meminta tolong kepada orang yang memiliki kesanggupan untuk membebaskannya baik pembebasannya itu dilakukannya langsung atau memberitahukan caranya, hal itu tidaklah tercela dan mengadu kepada makhluk tidaklah terlarang. Hal itu adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat, dimana sebagian orang meminta tolong kepada sebagian lainnya. Karena itulah, maka Nabi Yusuf AS berkata kepada pemuda yang diperkirakan akan bebas, “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” (Yusuf: 42)

Faidah lainnya, bahwa diharuskan bagi seorang pengajar dan seorang da’i yang mengajak manusia ke jalan Allah SWT supaya melakukan kegiatan mengajarnya dan dakwahnya dengan penuh keikhlasan, dan tidak menjadikannya sebagai perantara untuk mendapatkan harta, kedudukan atau manfaat, dan tidak boleh menghentikan kegiatan mengajarnya dan dakwahnya, jika orang yang bertanya tidak melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkannya. Karena Nabi Yusuf AS pun ketika berpesan kepada salah seorang pemuda dari kedua pemuda tersebut yang diyakininya akan selamat agar menerangkan keadaannya kepada tuannya, tetapi ia tidak menerangkannya karena lupa. Ketika kebutuhan raja serta para pembesar kerajaan untuk bertanya kepada Nabi Yusuf AS (tentang tafsiran mimpi raja) mendesak maka mereka mengutus pemuda tersebut. Kemudian pemuda itu mendatanginya dan meminta fatwanya mengenai tafsiran mimpi raja tersebut. Nabi Yusuf AS tidak mencela dan memakinya, bahkan ia juga tidak bertanya kepadanya: “Kenapa kamu tidak menerangkan keadaanku kepada tuanmu”, dan ia menafsirkannya dengan tafsiran yang sempurna dengan tinjauan dari berbagai segi.

Faidah lainnya, bahwa wajib bagi orang yang ditanya ketika menjawab pertanyaan untuk menunjukkan penanya kepada sesuatu yang bermanfaat bagi penanya yang berkaitan dengan pertanyaannya serta membimbingnya ke jalan yang bermanfaat bagi penanya dalam urusan agamanya dan urusan dunianya. Hal itu menunjukan kesempurnaan nasehatnya, kecerdasan akalnya dan kebaikan bimbingannya. Karena Nabi Yusuf AS pun tidak membatasi penafsiran mimpi raja dengan hanya menafsirkannya dari satu segi melainkan dari berbagai segi. Bahkan ia juga telah mengisyaratkan kepada mereka (raja dan para pembesar kerajaannya) mengenai tindakan yang harus mereka ambil pada tahun penghujan ketika itu, yaitu harus meningkatkan hasil pertanian sebanyak mungkin, merawat tanaman dengan baik dan menggiatkan penarikan pajak.

Faidah lainnya, bahwa tidak tercela bagi seseorang untuk menolak tuduhan atas dirinya, bahkan hal itu diperintahkan, seperti halnya Nabi Yusuf AS menolak keluar dari penjara, sehingga jelas bagi mereka kebersihan dirinya dari tuduhan tersebut dengan pernyataan para wanita yang telah memotong jari-jari tangan mereka (karena melihat ketampanannya).

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan keutamaan ilmu, termasuk di dalamnya: ilmu syara’ (agama) serta ketentuan hukum-hukumnya, ilmu tafsiran mimpi, ilmu ekonomi dan pendidikan serta ilmu politik, karena Nabi Yusuf AS pun berhasi mendapatkan kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat disebabkan ilmunya yang bermacam-macam.

Ilmu tafsiran mimpi dapat menjadi pelengkap fatwa, tetapi tidak diperbolehkan bagi seseorang memberikan fatwa melalui penafsiran mimpi sebelum mengetahui ilmunya, sebagaimana halnya tidak diperbolehkan baginya memberikan fatwa dalam penetapan hukum tanpa didasari ilmu. Karena itu Allah SWT menyebut ilmu tafsiran mimfi dalam surat tersebut dengan Fatwa.

Faidah lainnya, bahwa tidak dilarang bagi seseorang memberitahukan sifat-sifat kesempurnaan yang terdapat pada dirinya seperti: ilmu dan sifat kesempurnaan lainnya, jika di dalamnya terdapat kemaslahatan dan menjauhi kebohongan, dan tidak dimaksudkan untuk riya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)

Demikian juga kekuasaan tidak dilarang jika orang yang diberi kekuasaan dapat melaksanakan tugas yang diembannya seperti: menegakkan ketentuan-ketentuan hukum syara’ dan memberikan hak-hak kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Tidak dilarang pula memintanya bagi seseorang yang digolongkan ahli (cakap) dan lebih layak daripada yang lainnya. Adapun orang yang dilarang memintanya adalah orang yang tidak ahli atau masih terdapat orang yang lebih pantas atau sama dengannya atau dengan kekuasaan itu ia tidak mau menunaikan perintah Allah, melainkan hanya ingin menjadi pemimpin serta mengumpulkan harta dan memperkaya diri.

Faidah lainnya, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Luas (rahmat-Nya), Maha Pemurah dan Maha Mulia, dimana Dia telah mengkaruniakan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat kepada hamba-Nya. Kebaikan akhirat memiliki dua sebab serta tidak ada sebab yang ketiganya :

1.      Beriman terhadap segala sesuatu yang telah Allah wajibkan untuk beriman kepadanya.

2.      Ketakwaan yaitu mengerjakan segala perintah syara’ dan menjauhi larangannya.

3.      Kebaikkan akhirat niscaya lebih baik daripada pahala dunia dan kerajaannya.

4.      Diwajibkan atas seorang hamba untuk menyeru dirinya dan mendorongnya untuk mencintai pahala dari Allah Ta’ala, dan tidak membiarkannya larut dalam kesedihan saat melihat kelezatan serta kemewahan dunia yang tidak mampu diraihnya. Bahkan harus mendorongnya untuk mendapatkan pahala akhirat untuk meringankan kesedihannya karena tidak berhasil meraih kesenangan dunia. Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS, “Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (Yusuf: 57)

Faidah lainnya, bahwa pengumpulan harta dengan maksud untuk mendatangkan kelapangan kepada manusia (masyarakat), tanpa menimbulkan kemadharatan pada mereka, niscaya hal itu tidak dilarang, bahkan diperintahkan. Karena Nabi Yusuf AS pun memerintahkan kepada mereka (raja dan para pembesarnya) supaya mengumpulkan harta dan makanan pada musim penghujan sebagai persiapan menghadapi musim kemarau panjang sehingga dengan hal itu akan diperoleh sejumlah kebaikan.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan kebijakan Nabi Yusuf AS yang tepat; ketika ia menetapkan kebijakan atas sejumlah lumbung pertanian yang tersebar di berbagai daerah di Mesir dari pelosok yang satu ke pelosok yang lainnya, dimana ia membangkitkan sektor pertanian sehingga diperoleh hasil pertanian yang melimpah. Hal itu mendorongan penduduk dari sejumlah pelosok mendatangi Mesir. Di antara keadilan, kebijakan serta kekhawatirannya bahwa hasil pertaniaan itu akan dipermainkan para pedagang, sehingga ia tidak menakar bagi seseorang, kecuali sesuai dengan ukuran kebutuhannya yang khusus (pokok) atau kurang dari kubutuhan tersebut dan ia tidak memberi tambahan kepada setiap orang yang datang melibihi takaran seberat beban bawaan seekor unta. Kemudian di dalam kenyataannya, bahwa Nabi Yusuf AS tidak memberikan takaran kepada penduduk negeri, kecuali takaran yang kurang dari takaran tersebut, karena terlalu banyaknya mereka yang datang kepadanya.

Faidah lainnya adalah disyari’atkannya berlaku baik terhadap tamu, karena di antara kebiasaan para rasul adalah memuliakan tamu. Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS, “… tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu.” (Yusuf: 59)

Faidah lainnya, bahwa berburuk sangka yang dibarengi dengan adanya alasan yang menyebabkan timbulnya prasangka tersebut tidak dilarang dan tidak diharamkan. Karena Nabi Ya’qub AS pun telah berkata kepada putra-putranya, “Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu.” (Yusuf: 64). Di dalam yang lain ia berkata, “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu.” (Yusuf: 83)

Nabi Ya’qub AS mengetahui akibat buruk yang akan terjadi di akhir, meskipun mereka berjanji tidak akan menyia-nyiakan saudaranya (Bunyamin). Pernyataan tersebut timbul, karena sebelumnya mereka telah menunjukkan perilaku yang membuat bapak mereka (Nabi Ya’qub AS) harus melontarkan pernyataan tersebut, dan hal itu tidak termasuk perbuatan tercela.

Faidah lainnya, bahwa menggunakan sejumlah sebab yang dapat memalingkan mata dan anggota badan yang lainnya dari perbuatan yang dibenci atau membuka mata setelah sebelumnya menutupnya adalah tidak dilarang, meski sesuatu itu tidak akan terjadi kecuali menurut qadha dan qadar Allah, karena menggunakan sebab-sebab adalah bagian dari qadha dan qadar Allah. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS, “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain.” (Yusuf: 67)

Faidah lainnya, bahwa dibolehkan menggunakan strategi atau taktik yang dapat menyampaikan kepada hak-hak dan ilmu mengenai strategi atau taktik yang halus yang menyampaikan kepada tujuan terpuji seorang hamba. Adapun strategi atau taktik yang dimaksudkan untuk menggugurkan suatu kewajiban atau melakukan perbuatan yang diharamkan, maka hal tersebut diharamkan sama sekali dan tidak ada toleransi terhadapnya.

Faidah lainnya, bahwa bagi orang yang menyangka orang lain melakukan suatu perbuatan dan ia merasa tidak berkenan menjelaskannya, hendaklah ia menjelaskannya dengan menggunakan kemungkinan-kemungkinan; baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan yang dapat menghindarkannya dari kebohongan. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan Nabi Yusuf AS ketika memasukkan piala ke dalam karung saudaranya, kemudian ia mengeluarkannya dari karung itu sambil melontarkan tuduhan, bahwa saudaranya telah mencuri, tetapi ia tidak menjelaskan kasus pencuriannya, melainkan ia menggunakan perkataan yang mengandung kemungkinan, sebagaimana hal itu terungkap dalam perkataannya, “Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya.” (Yusuf: 79). Ia tidak mengatakan orang yang mencuri harta benda kami.

Faidah lainnya, bahwa seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali dalam urusan yang diketahuinya dan benar-benar disaksikan oleh penglihatan dan pendengarannya secara langsung. Hal itu merujuk perkataan mereka (saudara-saudara Nabi Yusuf AS), “… dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (Yusuf: 81)

Juga di dalam firman Allah Ta’ala, “… ialah orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az-Zukhruf: 86)

Faidah lainnya, bahwa ujian yang besar telah Allah timpakan kepada Nabi-Nya dan kekasih-Nya yaitu Nabi Ya’qub AS, dimana Allah SWT telah memisahkannya dengan Nabi Yusuf AS putranya, padahal ia tidak sanggup berpisah dengannya meskipun hanya sesaat sehingga ia diliputi kesedihan yang mendalam. Perpisahan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sedang Nabi Ya’qub AS tidak dapat menghilangkan kesedihan dari hatinya dan kedua matanya berubah menjadi putih karena kesedihan yang dirasakannya dan amarahnya yang terpendam terhadap putra-putranya. Kemudian kesedihannya semakin bertambah setelah ia berpisah dengan puteranya yang kedua (Bunyamin) menyusul perpisahan dengan puteranya yang pertama. Dalam menghadapi perpisahan tersebut Nabi Ya’qub AS tetap bersabar menunaikan perintah-perintah Allah seraya mengharapkan balasan pahala dari Allah, dimana ia berjanji kepada dirinya untuk tetap bersabar, karena itulah langkah yang terbaik baginya. Tidak diragukan lagi, bahwa ia pun memperoleh balasan atas apa yang telah dijanjikannya kepada dirinya serta ia tidak menafikannya. Hal itu diungkapkannya dengan perkataannya, “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (Yusuf: 86)

Adapun pengaduan kepada Allah tidaklah menafikan kesabaran. Sedang pengaduan yang menafikan kesabaran adalah pengaduan kepada mahluk. Tidak diragukan lagi, bahwa Allah telah meninggikan derajat dan kedudukan Nabi Ya’qub AS dengan ujian tersebut, yang tidak akan tercapai kecuali dengan ujian seperti ini.

Faidah lainnya, bahwa kebahagiaan akan datang bersama kesusahan (di balik kesusahan terdapat kebahagiaan). Ketika kesusahan yang bermacam-macam datang bertubi-tubi dan orang yang mengalaminya sudah tidak sanggup memikulnya, hendaklah ia memohon kepada Rabb yang menghilangkan penderitaan, yang melapangkan kesempitan serta yang mengabulkan do’a orang-orang yang sangat butuh. Itulah kebiasaan yang terpuji yang biasa dilakukan para kekasih Allah dan orang-orang pilihan-Nya, sehingga berhasil mendapatkan derajat yang tinggi dan kedudukan yang agung, dan menjadikan ma’rifat kepada Allah atau kecintaan kepada-Nya mampu mengimbangi dan mengalahkan penderitaan atau kesusahan yang menimpa seorang hamba.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan bagi seorang hamba memberitahukan ujian yang sedang menimpanya seperti: sakit, kefakiran atau ujian lainnya, tanpa bermaksud menunjukkan kebencian terhadap ujian yang menimpanya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf.” (Yusuf: 84), dan juga perkataan saudara-saudaranya Nabi Yusuf AS, “Hai Al-Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan ….” (Yusuf: 88) Nabi yusuf pun menerima pengakuan mereka.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan keutamaan takwa dan sabar, dimana seluruh kebaikkan di dunia dan di akhirat ialah akibat dari takwa dan sabar, dan balasan bagi pemilik kedua sifat tersebut adalah balasan yang terbaik. Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS, “Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami.” Sesungguhnya barang siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 90)

Faidah lainnya, bahwa sudah semestinya seorang hamba ketika dikaruniai suatu ni’mat menjauhi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan ni’mat itu dengan mengingat keadaannya yang telah lalu supaya dapat mengagungkan ni’mat yang dikaruniakan kepadanya ketika itu dan banyak bersyukur kepada Allah SWT. Nabi Yusuf AS berkata, “Dan sesungguhnya Rabbku telah berbuat baik kepadaku, ketika dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syetan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku.” (Yusuf: 100)

Faidah lainnya, bahwa cerita yang tertera dalam kisah sarat dengan kasih sayang Allah yang memberikan kemudahan dalam menghadapi ujian, di antaranya: mimpi Nabi Yusuf AS sebagaimana telah dijelaskan bahwa di dalamnya sarat dengan kasih sayang Allah kepada Nabi Yusuf AS dan Nabi Ya’qub AS, tercapainya kebahagiaan sesuai tafsiran mimpi, kasih sayang Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS dengan diturunkannya wahyu kepadanya ketika berada di dasar sumur untuk memberitahukan perbuatan mereka, sedangkan mereka tidak mengetahuinya dan mengubahnya dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya yang di dalamnya sarat dengan kasih sayang Allah baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Karena itulah, maka di akhir kisah ini Allah berfirman, “Sesungguhnya Rabbku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Yusuf: 100) Yakni Allah Ta’ala menyayanginya dalam keadaannya yang tersembunyi dan urusan-urusannya yang terlihat serta menyampaikannya kepada pencapaian derajat yang tinggi tanpa sepengetahuannya.

Faidah lainnya, bahwa wajib bagi seorang hamba untuk selalu memohon kepada Rabbnya agar ditetapkan keimanannya, memperoleh hasil akhir yang baik, menjadikan hari-harinya berakhir dengan baik dan amal-amalnya berakhir dengan baik, karena sesungguhnya Allah Maha Mulia, Maha Pemurah dan Maha Pengasih. (Edited: Ahsanul Huda)

0 komentar

Posting Komentar