Oleh: Ahsanul Huda
A. Pendahuluan
Rumah tangga adalah suatu tatanan masyarakat terkecil, dan dari rumah tanggalah suatu tatanan masyarakat terbentuk. Keberhasilan suatu masyarakat atau kegagalannya dimulai dari keberhasilan dan kegagalan anggotanya dalam menjalankan roda kehidupan dalam rumah tangga. Dan sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap rumah tangga minimal terdiri dari suami dan istri.
Oleh karena itu syari’at Al Qur’an memberikan perhatian besar kepada hubungan antara suami dan istrinya, sampai-sampai Rasulullah saw menjadikan baik dan buruknya hubungan seseorang dengan istrinya sebagai standar kepribadian seseorang,
“Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Maka melalui makalah ini saya mencoba untuk memaparkan bagaimana kehidupan Rasulullah dalam berkeluarga sehingga bisa menjadi contoh bagi kita untuk menjadi keluarga idaman (sakinah mawaddah wa rahmah).
B. Istri-istri Rasulullah saw
a. Istri Rasulullah saw yang disepakati
1. SITI KHADIJAH (Ummul Mukminin pertama)
Lahir di Mekkah tahun 556, Khadijah adalah wanita pertama pemeluk Islam.[1] Ketika dipersunting Rasulullah SAW, ia seorang janda berusia 40 tahun. Berasal dari keluarga terpandang dan ia sendiri menjadi orang terkaya di kotanya. Sedangkan Rasulullah SAW masih muda, berusia sekitar 25 tahun.
Setelah menikah, semua kekayaan Khadijah dipergunakan sepenuhnya untuk mendukung dakwah Rasulullah SAW. Juga, karena kewibawaannya di hadapan suku Quraisy, ia pun menjadi pelindung RasuluLlah SAW dari ancaman orang-orang Quraisy.
Rasulullah SAW sangat mencintai Khadijah. Meskipun Khadijah sudah meninggal beberapa tahun, Rasulullah SAW masih tetap mengenang. Sehingga pernah isterinya yang lain --Aisyah-- memprotes cemburu. "Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman padaku saat semua orang ingkar, yang percaya padaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan hartanya saat semua berusaha mempertahankannya;... dan darinyalah aku mendapatkan keturunan," kata Rasulullah SAW di hadapan Aisyah.
Dari Khadijah, Nabi mendapat kurnia enam anak: dua putra dan empat putri. Yang putra bernama al-Qasim dan Abdullah. Sedangkan yang putri: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum dan Fatimah.[2]
Sebelum dengan Nabi, Khadijah pernah menikah dengan Abu Halah an-Nabbasy bin Zurarah. Dari Abu Halah, Khadijah mendapat seorang anak. Setelah Abu Halal meninggal, Khadijah menikah lagi dengan Atiq bin Abid. Dia adalah seorang Quraisy dari Bani Makhzumi. Ummul mukminin al-Kubra (Ibu Kaum Mukminin yang Agung) ini sendiri meninggal di Mekkah 3 tahun sebelum hijrah[3].
2. SAUDAH BINTI ZUM'AH (Ummul Mukminin kedua)
Setelah Khadijah meninggal, Nabi baru bersedia menikah lagi. Saudah juga seorang janda. Suaminya, As-Sakran bin Amru Al-Amiri, meninggal ketika hijrah ke Habsyi (Ethiopia). [4]
Saudah sangat berduka ditinggal suaminya itu. Untuk mengobati duka itu, atas saran seorang wanita Khaulah binti Hakim as, RasuluLlah SAW lantas meminang Saudah. Meskipun RasuluLlah SAW juga menyayangi Saudah, tetapi ternyata hatinya tidak mampu mencintai wanita ini. Karena merasa berdosa, RasuluLlah SAW lantas ingin menceraikan Saudah. Tapi apa kata Saudah, "Biarlah RasuluLlah SAW aku begini. Aku rela malamku untuk Aisyah (Ummul Mukminin ke tiga Nabi). Aku sudah tidak membutuhkan lagi." [5]
Ada riwayat bahwa Saudah yang menyampaikan itu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah saw memberikan gilirn tersebut kepada Aisyah. Berkaitan dengan persoalannya, Allah menurunkan Firman-Nya :
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)" (QS. An-Nisa’: 128)
Saudah wafat di Madinah pada bulan syawwal tahun 54 atau 55 H pada masa kekhalifahan Mu'awiyah, akan tetapi Bukhari meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Saudah wafat pada tahun 23 H dimasa kekhalifahan Umar bin Khaththab.[6]
3. 'AISYAH BINTI ABU BAKAR (Ummul Mukminin ketiga)
’Aisyah binti Abu Bakar adalah satu-satunya isteri Nabi yang masih gadis, ketika dinikahi Nabi. Putri sahabat Nabi, Abu Bakar ash-Shiddiq ini dilahirkan delapan atau sembilan tahun sebelum Hijrah. Menikah berumur enam tahun, namun baru tiga tahun kemudian hidup serumah dengan Nabi yaitu pada Bulan Syawwal tahun pertama hijriyah saat beliau berumur sembila tahun.[7] Budaya Arab, seorang laki-laki berumur menikahi seorang gadis belia, hal yang biasa. Salah satu sebabnya, wanita Arab fisiknya cenderung bongsor dibanding usianya.
Setelah Khadijah, Aisyahlah isteri yang paling dekat dengan Nabi. Cantik dan cerdas, begitu penampilannya. Karena kedekatan dan kecerdasannya itu, setelah Nabi wafat, banyak hadits yang ia riwayatkan. Terutama soal wanita dan keluarga. Ada 1.210 hadits yang diriwayatkan Aisyah, di antaranya 228 terdapat dalam hadits shahih Bukhari.
Selama mendampingi Nabi, Aisyah pernah dilanda fitnah hebat. Ceritanya, pada peperangan melawan Bani Mustaliq, berdasarkan undian di antara isteri-isteri Nabi, Aisyah terpilih mendampingi Nabi. Dalam perjalanan pulang, rombongan istirahat pada suatu tempat Aisyah turun dari sekedupnya, karena ada keperluan. Kemudian kembali. Saat itu tanpa di sadari kalung milik saudarinya yang dipinjamkan kepadanya ketinggalan. Maka Beliau kembali lagi ketempat dimana kalung itu jatuh. Sementara itu, rombongan berangkat dengan perkiraan bahwa Aisyah sudah ada di sekedupnya akan tetapi ternyata Aisyah tertinggal.
Ketika sahabat Nabi, Safwan bin Bathal menemuinya, Aisyah sudah tertidur. Akhirnya, ia pergi diantar Safwan. Peristiwa ini kemudian dimanfaatkan orang-orang kafir untuk menghantam Nabi. Disebarkan fitnah, Aisyah telah serong. Fitnah ini benar-benar meresahkan ummat. Bahkan Nabi sendiri sempat goyah kepercayaannya pada Aisyah. Sehingga turunlah wahyu yaitu Surat An-Nuur ayat 11. Inti wahyu itu, menegur Nabi dan membenarkan Aisyah.
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”
Begitu pula sembilan ayat berikutnya. Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab ”orang-orang yang paling getol menyiarkan berita bohong ini dijatuhi hukuman pukul sebanyak delapan puluh kali pukulan. Mereka adalah Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy. Sementara tokoh berita bohong dan penyiarnya, Abdullah bin Ubay justru tidak dijatuhi hukuman apapun. Boleh jadi hukuman itu memang ada keringanan untuk dirinya, tetap Allah mengancamnya dengan adzab yang pedih di akherat atau boleh jadi ada kemashlahatan tersendiri, sehingga Abdullah bin Ubay tetap dibiarkan hidup.”[8]
Aisyah wafat pada malam Selasa, 17 Ramadhan 57 H, dalam usia 66 tahun. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan dimakamkan di Ummahat al-Mukminin di Baqi (sebelah Masjid Madinah) bersama Ummul Mukminin lainnya. [9]
4. HAFSAH BINTI UMAR (Ummul Mukminin keempat)
Hafsah adalah janda Khunais bin Huzafah, sahabat Rasulullah SAW yang meninggal pada waktu antara perang Badar dan Uhud.[10]
Rasulullah SAW menikahi Hafsah, kerena kasihan kepada Umar bin Khattab --ayah Hafsah. Hafsah sedih ditinggal suaminya, apalagi usianya baru 18 tahun. Melihat kesedihan itu, Umar berniat mencarikan suami lagi.
Pilihannya jatuh kepada sahabatnya yang juga orang kepercayaan Rasulullah SAW, yakni Abu Bakar. Tapi ternyata Abu Bakar hanya diam saja. Dengan perasaan kecewa atas sikap Abu Bakar itu, Umar menemui Usman bin Affan, dengan maksud yang sama. Ternyata Ustman juga menolak, karena dukanya atas kematian isterinya, belum hilang. Isteri Ustman adalah putri Rasulullah SAW sendiri, Ruqayyah.
Lalu Umar mengadu kepada Rasulullah SAW. Melihat sahabatnya yang marah dan sedih itu, Rasulullah SAW ingin menyenangkannya, lantas berkata "Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Ustman, dan Ustman akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Hafsah." Tak lama kemudian, Hafsah dinikahi RasuluLlah SAW, sedang Ustman dengan Ummu Kultsum, putri Rasulullah SAW juga.
Suatu malam di kamar Hafsah, Rasulullah SAW sedang berdua dengan isterinya yang lain, Maria. Hafsah cemburu berat, lantas menceritakan kepada Aisyah. Aisyah kemudian memimpin isteri-isteri yang lain, protes kepada Rasulullah SAW. [11]
RasuluLlah SAW sangat marah dengan ulah isteri-isterinya itu. Saking marahnya, beliau tinggalkan mereka selama satu bulan. Terhadap kasus ini, kemudian Allah menurunkan wahyu surat at-Tahrim ayat 1-5.
“Hai nabi, Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah Telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu[1486] dan Allah adalah Pelindungmu dan dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang Telah memberitahukan hal Ini kepadamu?" nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua Telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan nabi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.”
Sejarah mencatat, Hafsahlah yang dipilih di antara isteri-isteri Rasulullah SAW untuk menyimpan naskah pertama al-Qur'an. Hafsah wafat pada awal pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dimakamkan di Ummahat al-Mu'minin di Baqi.
5. ZAINAB BINTI KHUZAIMAH (Ummul Mukminin kelima).
Di antara isteri-isteri Rasulullah SAW, Zainablah yang wafat lebih dulu, setelah Khadijah. Para sejarawan tidak banyak tahu tentang Zainab, termasuk latar belakangnya. Tapi yang jelas ia juga seorang janda saat dinikahi RasuluLlah SAW.
Hidupnya bersama Rasulullah SAW, hanya singkat. Antara empat sampai delapan bulan. Zainab terkenal dengan julukan Ummul Masaakiin,[12] karena kedermawanannya terhadap kaum miskin. Zainab meninggal, ketika Rasulullah SAW masih hidup. Dan Rasulullah SAW sendiri menshalati jenazahnya. Zainablah yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
6. UMMU SALAMAH (Ummul Mukminin keenam).
Nama aslinya, Hindun binti Abu Umayah bin Mughirah. Suaminya bernama Abdullah bin Abdul Asad. Abdullah atau dipanggil Abu Salamah,[13] meninggal ketika perang melawan Bani As'ad yang akan menyerang Madinah. Sebelum meninggal Abu Salamah berwasiat, agar isterinya ada yang menikahi dan orang itu harus lebih baik dari dirinya.
Abu Bakar ingin melaksanakan wasiat itu, dengan meminang Ummu Salamah tapi ditolak. Demikian pula Umar bin Khattab, juga ditolak. Tiada lain, Rasulullah SAW sendiri akhirnya yang maju. Dan diterima. Ketika itu umur Ummu Salamah hanya beberapa tahun dibawah RasuluLlah SAW dan sudah mempunyai anak empat.
Sejarah mencatat, surat at-Taubah 102 turun tatkala Rasulullah SAW sedang berbaring di Kamarnya Ummu Salamah. Dalam perjanjian Hudaibiyah, Umum Salamah punya peranan penting.
Banyak sahabat Rasulullah SAW yang protes terhadap perjanjian itu, termasuk Umar. Usai perjanjian ditandatangani, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat agar menyembelih ternak dan memotong rambut. Namun tidak ada yang melakukan seruan itu. Rasulullah SAW mengulangnya sampai tiga kali, tapi tetap tidak ada yang menyahut. Akhirnya dengan perasaan kecewa Rasulullah kembali ke kemahnya.
Ummu Salamah lantas usul, agar Rasulullah SAW jangan hanya bicara, langsung saja contoh. Benar juga, Rasulullah SAW lantas keluar menyembelih ternak dan menyuruh pembantu memotong rambut beliau. Kaum muslimin kemudian banyak yang mengikuti tindakan Rasulullah SAW ini, karena takut dikatakan tidak mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Ummu Salamah banyak mengikuti peperangan. Ia hidup sampai usia lanjut. Ia wafat setelah peristiwa Karbala, yakni terbunuhnya Husein, cucu Rasulullah SAW. Ummu Salamah adalah Ummahatul Mukminin yang paling akhir wafatnya. Ummu Salamah wafat pada bulan Ramadhan atau Syawwal tahun 58 H atau 59 H atau 60 H atau 61 H atau 62 H, dimakamkan di Baqi dan shalat jenazahnya diimami Abu Huraiarah.[14]
7. ZAINAB BINTI JAHSY (Ummul Mukminin ketujuh).
Zainab adalah mantan isteri Zaid bin Haritsah yang telah bercerai. Sedang Zaid adalah anak angkat Rasulullah SAW. Zainab sendiri dengan Rasulullah SAW juga masih bersaudara. Karena wanita ini adalah cucu Abdul Muthallib, kakek Rasulullah SAW.
Meski perkawinan Zainab dengan Nabi jelas-jelas perintah Allah, tapi gosip menyelimuti perkawinan mereka. Wahyu yang memerintah Nabi agar menikahi Zainab itu ada pada al-Ahzab ayat 37.
“Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti teradi.”
Dari perkawinan inilah kemudian turun hukum-hukum pernikahan, termasuk perintah hijab, firman Allah swt:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul baitdan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Zainab binti Jahsy wafat di Madinah tahun 20 atau 21 H dan umurnya sekitar 50 tahun dan shalat jenazahnya diimami oleh Umar.[15]
8. JUWAIRIAH BINTI HARITS (Ummul Mukminin kedelapan).
Nama sebenarnya adalah Barrah binti Harits bin Abi Dhirar, putri pimpinan pemberontak dari suku Bani Musthalaq, Harits bin Dhirar. Setelah menikah dengan Nabi berganti nama Juwairiah. Sebelumnya, Juwairiah adalah tawanan perang.
Riwayat selanjutnya tak banyak diketahui oleh para sejarawan. Hanya ia meninggal dalam usia 65 tahun, di Madinah, pada masa Muawiyah. Dishalatkan dengan Imam Amir Madinah yaitu Marwan bin Hakam. [16]
9. SOFIYAH BINTI HUYAI (Ummul Mukminin kesembilan).
Sofiyah binti Huyai adalah satu-satunya isteri Nabi dari golongan Yahudi. Sofiyah masih keturunan Nabi Harun dan ibunya Barrah binti Samual. Meski usianya baru 17 tahun, tapi ia sudah dua kali menikah. Pertama dengan Salam bin Masyham, dan kedua dengan Kinanah bin Rabi bin Abil Haqiq, pemimpin benteng Qumus, benteng terkuat di Khaibar, markasnya kaum Yahudi. Dikawininya Sofiyah itu, Nabi sebenarnya berharap agar kebencian kaum Yahudi kepada kaum muslimin dapat diredam.
Sofiyah binti Hyai adalah Ummul Mukmin yang pemahamanya terhadap Islam sangat mendalam. Salah bukti nyata yang menunjukan pemahaman Sofiyah yang mendalam terhadap Islam dan Ibadah adalah, digambarkan dalam sebuah riwayat yang disebutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani. Bahwa ada sekelompok orang-orang Islam yang berkumpul di rumah Sofiyah binti Huyai. Istri Rasulullah saw. Mereka berdzikir menyebut asma Allah, membaca Al-Qur’an dan bersujud. Tiba-tiba Sofiyah memanggil mereka seraya berkata” Kalian bersujud dan membaca Al-Qur’an, tapi mana tangisanya?
Maksud yang ingin disampaikan Sofiyah adalah dia ingin memberikan pemahaman dan bimbingan kepada mereka, bahwa indikasi khusyu’ dalam ibadah adalah tangisan karena takut kepada Allah.[17]
Sofiyah wafat pada bulan Ramadahan tahun 50 Hijriah, pada zaman Mua'wiyah. Dimakamkan di Baqi. [18]
10. UMMU HABIBAH BINTI SUFYAN (Ummul Mukminin ke sepuluh)
Nama sebenarnya Ramlah binti Abi Sufyan. Ia memang putri pemimpin Quraisy, Abu Sufyan, musuh bebuyutan Islam itu. Habibah adalah nama putri Ramlah hasil perkawinan dengan Ubaidillah, saudara Ummul Mukminin Zainab ra. Tentu saja Ramlah telah masuk Islam.
Berdua dengan suaminya, ia kemudian hijrah ke Habsyi (Afrika). Celakanya, sesampai di Habsyi suaminya murtad, masuk Nasrani.[19] Selanjutnya, Ramlah dinikahi Rasulullah SAW. Mendengar ini, betapa marahnya Abu Sofyan, putrinya sendiri masuk Islam dan sekarang kawin dengan musuh besarnya, Nabi Muhammad SAW.
Dikisahkan, ketika Abu Sufyan tiba di Madinah pada saat itu dia menjadi pimpinan Quraisy menemuai anaknya, Ummul Mukminin Ummu Habibah ra. Ketika Abu Sufyan hendak duduk ditempat tidur Rasulullah saw, Ummu Habibah mencegahnya. Seketika itu Abu Sufyan berkata kepada Ummu Habibah, “Hai anakku saya tidak tahu, apakah engkau lebih mencintai tempat tidur ini, ataukah lebih mencintai saya?”
“Ini adalah tempat tidur Rasulullah saw, sementara engkau orang Musyrik dan najis, “ jawab Ummu Habibah.
“Demi Allah, setelah saya meninggal engkau akan ditimpa kejelekan,” Kecam Abu Sufyan
Ummu Habibah berkata, “Allah telah memberikan petunjuk kepada saya untuk memeluk Islam. Dan kamu, wahai bapakku, pimpinan dan pemuka Quraisy, bagaiman kamu bisa masuk Islam sementara kamu menyembah batu yang tidak bisa mendengar dan melihat.
Abu Sufyan berkata, “Hebat, haruskah aku meninggalkan apa yang disembah nenek moyangku, lalu mengikuti agama Muhammad.”
Demikianlah, sikap Ummu Habibah kepada bapaknya dengan modal kecerdasan, keimanan, dan keberanian yang dimiliki Ummu Habibah, ia berhasil membuat bapaknya memilih jalan yang benar dan memeluk agama Islam. Tidak lama kemudian, Abu Sufyan memeluk Islam, tepatnya pada waktu penaklukan kota Mekkah.[20]
Sampai akhir hayatnya, Ramlah tetap membela Islam dan suaminya. Ia wafat pada tahun 44 H dalam usia 60 tahun. Juga dimakamkan di Baqi.
11. MAIMUNAH BINTI AL HARITS (Ummul Mukminin kesebelas)
Nama aslinya adalah Barrah binti Harits. Setelah menikah dengan Nabi, diganti dengan Maimunah. Rasul saw menikahinya pada bulan Dzul Qa’dah 7 H saat Umrah Qadha’ [21]ketika itu beliau seorang janda berumur 26 tahun atas permintaan paman Nabi, yakni Abbas bin Abdul Muthalib. Barrah sendiri adalah adik dari isteri Abbas.
Dikisahkan dalam buku-buku sirah, bahwa Abbas ra yang mengirformasikan kepada Nabi tentang keinginan Maimunah. Setelah itu, Nabi Muhammad saw langsung mengutus sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib untuk meminang Maimunah. Kemudian Maimunah menunggangi unta miliknya sendiri menuju Abthah, lokasi tempat tinggal Rasulullah saw. Begitu menatap Rasulullah, Maimunah berkata kepada Beliau “Unta dan yang dibawanya adalah milik Allah dan Rasul-Nya”[22]
Tidak banyak yang diketahui sejarah Barrah. Yang jelas ia wafat pada tahun 51 hijriah.
b. Istri-istri Rasul yang lain[23]
a.) Menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah saw
1. Ummu Syuraik
2. Khaulah binti Hakim
3. Laila binti Al- Khatim
b.) Dinikahi oleh Rasulullah saw tapi belum pernah digauli
1. Khaulah binti Al-Khudzail
2. Umarah binti Yazid bin Al-Jun
3. Asma’ binti An-Nukmaan bin Al-Jun
4. Ummayyah binti An-Nukmaan bin Syaraahil
5. Mulaikah binti Ka’ab
6. Fatimah binti Ad-Dhahak
7. ‘Aliyah binti Dhibyan
8. Qutailah binti Qais
9. Sunni binti Asma’ bin As-Shamad
10. Syaraf binti Khulaifah
11. Laila binti Al-Khatim
12. Imra’ah binti Ghaffar
c.) Istri Rasulullah dari hamba sahaya
1. Mariyah Al-Kibtiyah
2. Raihanah
3. Nafisah
4. Ammah
C. Hikmah Dari Poligami Rasulullah
Sungguh hikmah dari poligami Rasulullah saw banyak sekali diantaranya adalah:[24]
1. Hikmah Ta’limiyah (hikmah dari segi pengajaran)
Sebenarnya, landasan kuat yang mendorong berbilangnya istri Rasulullah saw adalah untuk mencetak guru-guru wanita, sebagai pengajar-pengajar perempuan khusus, yang berkenaan dengan hukum agama. Mereka adalah sebagian batang tubuh masyarakat. Dan Allah telah membebankan ke atas pundaknya berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan mana yang dipikulkan pada pundak kaum lelaki.
Banyak kaum hawa di antara mereka itu yang malu bertanya kepada Nabi saw tentang urusan agama, khususnya yang berkaitan dengan pribadi kewanitaannya, seperti hukum haidh, nifas, mandi janabat, urusan hubungan suami istri, serta yang lainnya. Padahal, perempuan itu sering dikalahkan oleh rasa malunya bila ingin bertanya kepada Rasul saw yang mulia untuk perkara-perkara semacam itu.
Demikian pula, Rasul memiliki pribadi akhlak malu yang sempurna. Sebagai mana yang termuat dalam riwayat Imam Bukhari :
“Lebih kuat rasa malunya daripada gadis pingitan yang bersembunyi di balik tirai.”
Sebab itu Nabi saw tidak bisa leluasa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya yang datangnya dari pihak wanita dengan bahasa yang jelas. Akan tetapi kadangkala dengan ungkapan bahasa kinayah (sindiran). Malah dengan begitu, si wanita tidak faham maksud arah bahasa kinayah tersebut.
Kami ambil contoh untuknya, hadits Ummi Salamah, riwayat Bukhari dan Muslim. Dalam hadits itu, katanya :
“Telah datang Ummi Sulaim (istri Abu Thalib dan Ibu Anas bin Malik) ke hadapan Rasulullah saw. Kemudian bertanya:
‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Allah tiada malu akan hal yang haq (benar). Wajibkah perempuan itu mandi jika dia mimpi?’
Jawabnya :
‘Benar, kalau dia melihat air!’
Ummi Salamah mencampurinya : ‘Engkau (Ummi Salamah) telah membuka cela wanita. Aduhaii! Benarkah wanita yang mimpi itu mengeluarkan air?’
Nabi yang mulia menjawab dengan balik bertanya :
‘Jika tidak, dengan jalan apa seorang anak lahir menyerupai wajah ibunya?’
Maksud dari sabda beliau itu, bahwa janin yang tumbuh dalam kandungan itu tercipta dari campuran air Nuthfah laki-laki dan wanita. Karena itu dia lahir menyerupai wajah sang ibu. Yang demikian ini adalah seperti yang difirmankan Allah :
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat.” (QS Al-Insaan:2)
2. Hikmah Tasyri’iyyah (hikmah dari segi hukum agama)
Al-Hikmah Al-tassyri'iyah juga merupkan bagian dari hikmah poligami Rasulullah. Kami ambil contoh soal bid'ah tabanna (bid'ah mengadopsi anak) yang dilakukan.
Tradisi itu dijadikan sebagai aturan (agama) turun-temurun di kalangan mereka. salah seorang diantara mereka mengadopsi anak , yang bukan dari darah keturunannya sendiri dan kemudian diangkat anak itu dalam hukum yang derajatnya sama dengan anak kandungnya sendiri, dan kemudian diakui dan dijadikan sebagai anaknya yang sebenarnya. Ia punya kedudukan hukum seperti anal keturunanya sendiri dalam berbagai hal. Dalam hal waris, thalaq, perkawinan, sebagai muhrim sebab musharah (menantu/ mertua), haram dalam perkawinan,dan lain-lain yang sudah mereka ketahui. Dan ini merupakan agama tradisional yang harus diikuti zaman itu.
Demikian juga dengan Rasulullah mengadopsi Zaid sebagai anaknya yang kemudian dinikahkan dengan Zainab binti Zahsy al-Asadiyah. Namun pernikahan itu tidak bertahan lama karena tidak ada kecocokan diantara mereka. Untuk mengambil hikmah baik yang dikehendaki Allah, Zaid menceraikan Zainab. Kemudian Allah menyuruh Rasul-Nya untuk menikahinya, agar menghapus adat “bid’ah tabanna”, menegakkan sendi agama Islam dan merubah agama Jahiliyyah. Tetapi beliau khawatir akan mulut orang munafik dan manusia-manusia yang keji (Al Fujjar), kalau-kalau mereka katakan bahwa Muhammad menikahi istri anaknya. Maka sikap beliau pun lambat untuk mengambil keputusan tersebut, sampai akhirnya turun ayat untuk menegurnya :
“Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS Al-Ahzab:37)
Maka mulai saat itu hukum mengadopsi anak terhapus sudah. Adat sesat yang senantiasa mereka ikuti semenjak Zaman Jahiliyyah terkubur. Tak ada lagi yang memperhatikan tradisi yang dianggap agama itu. Dan setelah itu turun pulah wahyu sebagai pengukuh hukum yang baru :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzab:40)
3. Hikmah Ijtima’iyyah (hikmah dari segi sosial kemasyarakatan)
Adapun hikmah yang ketiga, yaitu Al-Ijtima’iyyah, maka ini nampak jelas sekali dari pernikahan beliau dengan anak perempuan Abu Bakar Al-Shiddiq, Khalifah pertama. Lalu dengan puteri Khalifahnya yang kedua, yaitu Al-Faruq (Umar). Kemudian hubungan beliau secara Mushaharah (perbesanan) dan nasab dengan kaum Quraisy, dan dinikahinya perempuannya, sesuatu hal yang mempererat tali persaudaraan antara kelompok dan suku bangsa ini dengan ikatan yang kokoh. Dan hatipun erat terpadu. Serta membawa keberhasilan dalam dakwahnya.
Nabi saw menikahi Aisyah, anak perempuan manusia yang paling dicintai serta paling besar martabat dirinya baginya. Dialah Abu Bakar Al-Shiddiq, laki-laki pertama yang menyatakan dirinya Islam. Yang telah berani menyediakan dirinya, nyawanya, serta hartanya untuk berjuang di jalan Allah. Melindungi Rasul-Nya. Ikut pula menanggung siksaan pedih dalam rangka menyiarkan I slam. Sampai-sampai beliau saw bersabda sebagai pujian atas kemuliaan Abu Bakar Al-Shiddiq, seperti yang termaktub dalam riwayat Tirmidzi :
“Semua manusia yang pernah berbuat baik kepada kami telah dapat kami balas, kecuali Abu Bakar. Sebab ia pernah berbuat kebaikan kepada kami, yang nanti hanya Allah-lah yang akan membalasnya di hari kemudian. Tiada harta seorangpun yang memberi manfaat bagiku seperti harta Abu Bakar. Tiada pula Islam dapat menembus kalbu seseorang melainkan pada awalnya menimbulkan kebimbangan, kecuali Abu Bakar. Dia menerimanya dengan tenang dan yakin. Andaikata aku mengambil seseorang kekasih, tentu aku memilih Abu Bakar jua. Ketahuilah, temanmu itu adalah juga kekasih Allah!”
Maka Rasul saw belum menemukan sesuatu yang memuaskan sebagai balasan bagi Abu Bakar di dunia, yang lebih menenangkan serta menjernihkan biji mata selain menikahi anak perempuannya. Dengannya, terjalinlah Mushaharah serta hubungan kerabat yang semakin erat antara keduanya.
Sebagaimana juga perkawinan beliau dengan Hafshah putri Umar. Adalah juga menyejukkan dan meneduhkan sinar mata ayahnya atas keislamannya, kejujurannya, keikhlasannya dan pembelaannya di jalan agama ini.
Begitu pulalah kemuliaan yang beliau berikan kepada Utsman dan Ali dengan jalan menikahkan keduanya dengan kedua puterinya. Mereka berempat adalah para sahabat beliau yang paling besar, yang juga menjadi Khalifah penggantinya, meneruskan penyiaran agama serta menegakkan agama dan dakwah.
4. Hikmah Siyasiyah (hikmah dari segi politik)
Hikmah yang terakhir ialah “Al Hikmah Al Siyasiyah” (hikmah dari segi social politik). Nabi saw telah menikahi beberapa perempuan dengan tujuan utama untuk meluluhkan hati-hati yang keras membatu. Serta untuk membina dan menyatukan berbagai suku bangsa yang bertebaran di alam sekitarnya.
Satu hal yang mesti dimaklumi, bahwa jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dari suatu suku, atau suatu keluarga, maka terjalinlah hubungan kerabat yang erat antara kedua belah pihak. Dan Mushaharah itu sendiri secara tradisional, jelas mengundang mereka buat membantu dan melindunginya.
Kami berikan contoh sebagai maksud dari tujuan pernikahan beliau saw agar semakin nyata dan jelas bagi kita hikmahnya yang memang sejak semula menjadi cita-cita suci Rasulullah saw di belakang rencana perkawinannya.
Pertama: Perkawinannya dengan Juwariyah, anak perempuan al Harits, penghulu Bani Musthaliq. Ia bersama kaum keluarganya tertawan. Kemudian bermaksud buat menebus dirinya (dimerdekakan). Lalu ia menghadap Rasulullah saw, memohon pertolongan harta seperlunya. Beliau menawarkan jasa baiknya kepadanya untuk membayar uang tebusannya serta mengawininya. Tawaran yang bagus itu diterimanya, dan Nabi saw menikahinya. Kaum muslimin pun berseru :
“Adakah kaum Anshar Rasulullah saw masih dalam kekuasaan kami?”. Yakni kerabat, ipar atau menantu dari sebab perkawinan itu tetap sebagai tawanan? Maka dengan segera mereka semua pun dimerdekakan.
Tatkala Bani Musthaliq menyaksikan sendiri kebaikan dan ketinggian budi pekerti ini, juga kebijakan serta kemulyaaan, maka dengan serta merta mereka pun menyatakan diri masuk Islam. Maka berimanlah mereka kepada Allah swt. Oleh karena itu pernikahan Beliau dengan Juwairiyyah binti Al-Harits, sangat memberikan berkat kepadanya, juga kaum keluraga dan kerabat familinya. Juwairiyah merupkan seorang wanita yang sangat membahagiakan Suku Bangsanya.
Kedua: Seperti halnya pernikahan beliau dengan Sayyidah Syafiyyah anak perempuan Huyaii bin Akhthab yang tertawan sesudah suaminya terbunuh dalam Ghazwah (perang yang dipimpin Nabin saw) yaitu perang Khaibar. Ia jatuh dalam saham salah seorang Muslim, beberapa orang cerdik dan ahli faqih berpendapat :
" Ia adalah wanita penghulu bani Quraizdah. Tak layak kecuali untuk Rasulullah saw"
Hasil permusyawarahan itu mereka sampaikan kepada Rasulullah saw. Lalu Beliau memanggilnya dan mempersilahkan memilih antara dua perkara, yaitu dibebaskan dan dinikahi Rasulullah saw, atau ia bebas dan boleh kembali bergaul dengan kaumnya. Ternyata ia menjatuhkan pilihan, agar Dia dibebaskan dan dinikahi Beliau untuk menjadi istrinya.
Peristiwa itu terjadi setelah ia menyaksikan akan keagungan dan budi luhur beliau, serta kebagusan perangainya dalam tata cara bergaul dengan masyarakat. kemudian ia pun masuk Islam. Dan bersamanya masuk pula beberapa orang lainya.
Diriwayatkan, bahwa Shaffiyah anak perempuan Huyai bin Akhthab sesudah bergaul dengan Nabi saw beliau bersabda kepadanya: "Bapakmu itu manusia Yahudi yang paling keras. Tak henti-hentinya ia memusuhiku, sampai saatnya Allah membinasaknya"
Ia berkata:
Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah telah berfirman:
"Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain" (QS. Al-Isra' : 15)
Rasulullah yang mulai bersabda kepadanya:
"Pilih olehmu! Jika engkau memilih Islam, kugenggam engkau untukku. Dan kalau pilih Yahudi, maka barang kali engkau aku merdekakan dan kamu boleh bergaul kembali dengan kaummu"
Ia menjawab dengan tegas :
" Wahai Rasulullah! Aku mencintai Islam. Aku membenarkan kerasulanmu sebelum engkau mengundangku tinggal seatap di rumahmu. Aku tak lagi punya ikatan bathin dengan agama Yahudi. Tidak punya orang tua maupun saudara di dalamnya. Padahal engkau menyurhku antara kafir dan Islam, Sungguh Allah dan Rasul-Nya lebih aku cintai dari pada kemerdekaan serta kembali kekalangan bangsaku!"
Maka Rasulullah saw tetap menjadikan Syafiyyah sebagai istrinya.
D. Keharmonisan Rumah Tangga Rasulullah saw
Di bawah naungan rumah tangga yang bersahaja di situlah tinggal sang istri, pahlawan di balik layar pembawa ketenangan dan kesejukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dunia itu penuh dengan kenikmatan. Dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah istri yang shalihah.” (Lihat Shahih Jami’ Shaghir karya Al-Albani)
Di antara keelokan budi pekerti Rasulullah saw dan keharmonisan rumah tangga beliau ialah memanggil ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan nama kesayangan dan mengabarkan kepadanya berita yang membuat jiwa serasa melayang-layang.
Aisyah ra menuturkan: “Pada suatu hari Rasulullah saw berkata kepadanya:
“Wahai ‘Aisy (panggilan kesayangan ‘Aisyah ra), Malaikat Jibril ‘alaihissalam tadi menyampaikan salam buatmu.” (Muttafaq ‘alaih)
Bahkan beliau saw selaku Nabi umat ini yang paling sempurna akhlaknya dan paling tinggi derajatnya telah memberikan sebuah contoh yang berharga dalam hal berlaku baik kepada sang istri dan dalam hal kerendahan hati, serta dalam hal mengetahui keinginan dan kecemburuan wanita. Beliau saw menempatkan mereka pada kedudukan yang diidam-idamkan oleh seluruh kaum hawa. Yaitu menjadi seorang istri yang memiliki kedudukan terhormat di samping suaminya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:
Suatu ketika aku minum, dan aku sedang haidh, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya.” (HR. Muslim)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah seperti yang diduga oleh kaum munafikin atau seperti yang dituduhkan kaum orientalis dengan tuduhan-tuduhan palsu dan pengakuan-pengakuan bathil. Bahkan beliau saw lebih memilih etika berumah tangga yang paling elok dan sederhana.
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium salah seorang istri beliau kemudian berangkat menunaikan shalat tanpa memperbaharui wudhu’.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menjelaskan dengan gamblang tingginya kedudukan kaum wanita di sisi beliau. Mereka kaum hawa memiliki kedudukan yang agung dan derajat yang tinggi. Rasulullah saw pernah menjawab pertanyaan ‘Amr bin Al-’Ash ra seputar masalah ini, beliau jelaskan kepadanya bahwa mencintai istri bukanlah suatu hal yang tabu bagi seorang lelaki yang normal.
Amr bin Al-’Ash ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw : “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” beliau menjawab: “‘Aisyah!” (Muttafaq ‘alaih)
Barangsiapa yang mengidamkan kebahagiaan rumah tangga, hendaklah ia memperhatikan kisah- kisah ‘Aisyah ra bersama Rasulullah saw. Bagaimana kiat-kiat Rasulullah saw membahagiakan ‘Aisyah ra.[25]
Dari ‘Aisyah ra ia berkata:
“Aku biasa mandi berdua bersama Rasulullah saw dari satu bejana.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Atha` bin Yasar:"Sesungguhnya Rasulullah saw dan Aisyah ra biasa mandi bersama dalam satu bejana. Ketika baginda sedang berada dalam satu selimut dagan Aisyah, tiba-tiba Aisyah bangkit. Baginda kemudian bertanya, `Mengapa engkau bangkit?` Jawab Aisyah, Kerana saya haid, wahai Rasulullah.' Sabda Rasulullah, 'Kalau begitu, pergilah, lalu berkainlah dan dekatlah kembali padaku.' Aku pun masuk, lalu berselimut bersama beliau." ( Hadis Riwayat sa`id bin Manshur ).
Nabi saw biasa memencet hidung Aisyah jika dia marah dan Baginda berkata, "Wahai Uwaisy, bacalah doa: 'Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan." ( Hadis Riwayat Ibnu Sunni ).
Rasulullah tidak melewatkan kesempatan sedikit pun kecuali beliau manfaatkan untuk membahagiakan dan menyenangkan istri melalui hal-hal yang dibolehkan.
Aisyah radhiyallah ‘anha mengisahkan:
Pada suatu ketika aku ikut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Mereka pun berangkat mendahului kami. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Kemarilah! sekarang kita berlomba lari.” Aku pun meladeninya dan akhirnya aku dapat mengungguli beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hanya diam saja atas keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk, aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian beliau menantangku berlomba kembali. Dan akhirnya beliau dapat mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!” (HR. Ahmad)
Sungguh! merupakan sebuah bentuk permainan yang sangat lembut dan sebuah perhatian yang sangat besar. Beliau perintahkan rombongan untuk berangkat terlebih dahulu agar beliau dapat menghibur hati sang istri dengan mengajaknya berlomba lari. Kemudian beliau memadukan permainan yang lalu dengan yang baru, beliau berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!”
Bagi mereka yang sering bepergian melanglang buana serta memperhatikan keadaan orang-orang yang terpandang pada tiap-tiap kaum, pasti akan takjub terhadap perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah seorang Nabi yang mulia, pemimpin yang selalu berjaya, keturunan terhormat suku Quraisy dan Bani Hasyim. Pada saat-saat kejayaan, beliau kembali dari sebuah peperangan dengan membawa kemenangan bersama rombongan pasukan besar. Meskipun demikian, beliau tetap seorang yang penuh kasih sayang dan rendah hati terhadap istri-istri beliau para Ummahaatul Mukiminin radhiyallah ‘anhu. Kedudukan beliau sebagai pemimpin pasukan, perjalanan panjang yang ditempuh, serta kemenangan demi kemenangan yang diraih di medan pertempuran, tidak membuat beliau lupa bahwa beliau didampingi para istri-istri kaum hawa yang lemah yang sangat membutuhkan sentuhan lembut dan bisikan manja. Agar dapat menghapus beban berat perjalanan yang sangat meletihkan.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa ketika Rasulullah saw kembali dari peperangan Khaibar, beliau menikahi Shafiyyah binti Huyaiy ra. Beliau saw mengulurkan tirai di dekat unta yang akan ditunggangi untuk melindungi Shafiyyah ra dari pandangan orang. Kemudian beliau duduk bertumpu pada lutut di sisi unta tersebut, beliau persilakan Shafiyyah ra untuk naik ke atas unta dengan bertumpu pada lutut beliau.
Ummul Mukminin Shafiyyah ra berkisah bahwa suatu malam ia pernah mengunjungi Rasulullah saw saat sedang i'tikaf di masjid pada sepuluh hari yang akhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang bersama beliau beberapa waktu. Setelahnya, ia pamitan untuk kembali ke rumahnya. Rasulullah saw pun bangkit untuk mengantarkan istrinya. Hingga ketika sampai di pintu masjid di sisi pintu rumah Ummu Salamah, lewat dua orang dari kalangan Anshar, keduanya mengucapkan salam lalu berlalu dengan segera. Melihat gelagat seperti itu Rasulullah saw menegur keduanya, “Pelan-pelanlah kalian dalam berjalan, tak usah terburu-buru seperti itu, karena tak ada yang perlu kalian khawatirkan. Wanita yang bersamaku ini Shafiyyah bintu Huyai, istriku.” Keduanya menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah, tidaklah kami berprasangka jelek padamu.” Beliau menanggapi, “Sesungguhnya setan berjalan pada diri anak Adam seperti beredarnya darah, dan aku khawatir ia melemparkan suatu prasangka di hati kalian.” [26]
"Adalah Rasulullah s.a.w tidaklah setiap hari melainkan beliau mesti mengelilingi kami semua ( isterinya ) seorang demi seorang. Baginda menghampiri dan membelai kami tetapi tidak bersama sehingga Baginda singgah ke tempat isteri yang menjadi giliran Baginda, lalu Baginda bermalam di tempatnya." ( Hadis Riwayat Ahmad ).
Dari Hafshah, puteri Umar ra, "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w biasa mencium isterinya sekalipun sedang berpuasa." ( Hadis Riwayat Ahmad ).
Dari Ummu Kaltsum binti Abu Salamah, ia berkata, "Ketika Nabi saw menikah dengan Ummu Salamah, Baginda bersabda kepadanya,'Sesungguhnya aku pernah hendak memberi hadiah kepada Raja Najasyi sebuah pakaian berenda dan beberapa botol minyak kasturi, namun aku mengetahui ternyata Raja Najasyi telah meninggal dunia dan aku mengira hadiah itu akan di kembalikan.Jika hadiah itu memang di kembalikan kepadaku, aku akan memberikanya kepadamu."
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi saw pernah melihat wanita, lalu Baginda masuk ke tempat kediaman Zainab, untuk melepaskan keinginan Baginda kepadanya, lalu keluar dan bersabda, "Wanita kalau menghadap, ia menghadap dalam rupa syaitan..... ..apabila seseorang di antara kamu melihat wanita yang menarik, hendaklah ia mendatangi isterinya karena pada diri isterinya ada hal yg sama dengan yang ada pada wanita itu." ( Hadis Riwayat Tirmizi ).
Dia ( Ummu Kultsum ) berkata,"Ternyata keadaan Raja Najasyi seperti yang di sabdakan Rasulullah saw dan hadiah tersebut di kembalikan kpd Baginda, lalu Baginda memberikanyya kepada masing-masing isterinya satu botol minyak kasturi, sedang sisa minyak kasturi dan pakaian tersebut Baginda berikan kpada Ummu Salamah." ( Hadis Riwayat Ahmad )
Pemandangan seperti ini memberikan kesan begitu mendalam yang menunjukkan ketawadhu’an beliau. Rasulullah saw selaku pemimpin yang berjaya dan seorang Nabi yang diutus- memberikan teladan kepada umatnya bahwa bersikap tawadhu’ kepada istri, mempersilakan lutut beliau sebagai tumpuan, membantu pekerjaan rumah, membahagiakan istri, sama sekali tidak mengurangi derajat dan kedudukan beliau.[27]
E. HIJAB ISTRI-ISTRI NABI SAW
Anas bin Malik ra. berkata, 'Pertama kali ayat tentang hijab diturunkan adalah ketika Rasulullah saw menikahi Zainab binti Jahsy. Pada pagi hari Rasulullah SAW menikahi Zainab beliau mengundang orang-orang lalu mereka makan dan kemudian pergi. Sekelompok orang masih tinggal bersama Nabi. Mereka tetap di sana untuk waktu yang lama. Rasulullah SAW bangkit dan aku pergi bersamanya hingga kami sampai di pintu ruangan 'Aisyah. Ketika beliau duga orang-orang itu mereka telah pergi, beliau kembali dan aku kembali bersamanya dan mereka ternyata sudah pergi. Maka beliau memasang tabir antara aku dan beliau lalu turunlah ayat tentang hijab,
"Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu memasuki rumah Nabi kecuali kamu diizinkan makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, maka masuklah dan jika kamu selesai makan keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar)” (QS.Al-Ahzab:53)
Menurut ibnu Abbas, Ayat tentang hijab istri-istri Rasulullah SAW diturunkan ketika Umar ra. sedang makan bersama Nabi SAW. lalu tangannya menyentuh tangan salah seorang istri Nabi SAW, maka ayat tentang hijab diturunkan. Orang-orang bertanya kepada Zuhri, "Siapakah yang biasa mengunjungi para istri Nabi?" Dia menjawab, "Setiap orang yang mempunyai hubungan keturunan atau sesusuan yang menghalangi pernikahan". Ditanyakan, "Bagaimana dengan orang-orang lain?" Dia menjawab, "Mereka harus menyelubungi diri dari mereka. Mereka harus berbicara dari balik tabir. Dan tabirnya hanya selapis". Pernah juga Ummu Salamah dan Maimunah sedang bersama Nabi SAW, tiba-tiba lbnu Ummi Maktum masuk. Peristiwa itu terjadi setelah hijab diturunkan. Nabi SAW berkata kepada istri-istrinya, "Tutupilah diri kalian darinya." lstrinya bertanya, "Ya Rasulullah SAW, bukankah dia buta?" Beliau SAW menjawab, "Apakah kalian juga buta? Tidakkah kalian melihatnya?"
F. PEMBAGIAN GILIR ISTRI-ISTRI NABI SAW
Apabila Rasulullah SAW meminang seorang wanita, maka beliau bersabda, "Ceritakanlah kepada mereka tentang mangkuk Sa'ad bin Ubadah". Ini adalah ungkapan permisalan dalam penggiliran Nabi SAW kepada istri-istrinya. Diriwayatkan tentang mangkuk Sa'ad bin Ubadah, kadang-kadang isinya daging, kadang-kadang mentega cair dan kadang-kadang susu, yang dikirimkan untuk Nabi SAW. Setiap beliau berkeliling, mangkuk itu akan,ikut menemaninya.
Hal itu sebenarnya ditujukan kepada jadwal Rasulullah SAW yang senantiasa berkeliling kepada istri-istrinya setiap malam. Tetangga Rasulullah SAW, yaitu; Sa'ad bin Ubadah, Sa'ad bin Muadz, Amarah bin Hazam, Abu Ayyub dan yang lainnya senantiasa mengirim sedikit makanan ala kadarnya kepada Nabi SAW. Dan salah satu yang paling sering adalah kiriman dari Sa'ad bin Ubadah dengan mangkuk miliknya. ,Setiap malam mangkuk itu bersama Nabi SAW. jika Nabi SAW berkunjung ke rumah-rumah istrinya, beliau akan membawa mangkuk itu beserta isinya untuk dinikmati bersama dengan keluarganya.
Dari Urwah ra bahwa Rasulullah saw berkata: Wahai anak saudara perempuanku, Rasulullah saw tidak mengistimewakan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam pembagian giliran tinggalnya bersama kami. Pada siang hari beliau berkeliling pada kami semua dan menghampiri setiap istri tanpa menyentuhnya hingga beliau sampai pada istri yang menjadi gilirannya, lalu beliau bermalam padanya. (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan lafadznya menurut Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim)
“Dari Aisyah ra, Adalah Rasulullah saw, membagi giliran antara Istri-istrinya dengan adil dan berkata, ya Tuhan inilah pembagian aku atas apa yang aku miliki, maka janganlah kau cela aku di dalam apa yang aku tidak miliki, tapi Engkau miliki” (Riwayat Yang Empat dishahkan dia Ibnu Hibban dan Hakim )
G. TUDUHAN KAUM YAHUDI KEPADA NABI SAW
Umar, Maula Ghufra berkata, "Ketika orang-orang Yahudi melihat Rasulullah SAW banyak menikahi wanita, maka mereka berkata, 'Lihatlah orang itu (Rasulullah SAW), yang tidak terpuaskan oleh makanan. Dan demi Allah, dia hanya tertarik kepada wanita!' Mereka benci Nabi SAW karena jumiah istrinya yang banyak dan mereka mencela beliau atas hal itu, dengan mengatakan, 'Jika dia memang Nabi, dia tidak akan mempunyai keinginan terhadap wanita.' Di antara mereka, yang paling hebat mencela Nabi SAW adalah Huyay bin Akhtab.
Allah membuktikan kedustaan mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang karunia Allah kepada RasulNya. Dan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah ta'ala. Allah berfirman:
“Ataukah mereka dengki kepada manusia karena karunia yang telah Allah berikin kepada manusia itu?'(QS An-Nisa: 54)
Sebenarnya tak perlu bersusah payah, cukup dua argumen untuk menolak tuduhan yang busuk ini serta mengagalkan tudahan yang mereka lemparkan itu, yaitu:[28]
Pertama: semua istri Beliau yang suci itu, adalah wanita yang aramil (janda), kecuali Aisyah yang Beliau nikahi sewaktu masih perawan. Dia satu-satunya isteri beliau dari antara sekian istrinya yang Ia nikahi semasa gadis.
Kedua: Rasulullah saw tidaklah sekali-kali nikah poligami dengan istri-istrinya, kecuali sesudah Beliau lanjut usia. Yakni baru berpoligamy sesudah usianya lebih dari 50 tahu.
Siapa yang mengamati kehidupan Rasulullah saw, tentu dapat mengetahui dengan pasti, bahwa perkawinan beliau dengan sekian banyak wanita ini, justru pada masa-masa akhir hidup beliau, setelah melewati 30 tahun bertahan bersama wanita yang lebih tua, yaitu Khadijah, tentu berkesimpulan bahwa perkawinan beliau ini tidak sekedar didorong gejolak kepuasan, tetapi ada berbagai tujuan yang hendak diraih dengan perkawinan tersebut. Tujuan yang dapat diketahui, dari menikahi Aisyah dan Hafshah, putri sahabat kental Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar ra., dan mengapa beliau menikahkan putri beliau, Fathimah dengan Ali bin Abu Thalib, menikahkan Ruqayyah dan disusul Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan, mengisyaratkan bahwa beliau ingin menjalin hubungan yang sangat erat dengan keempat orang tersebut, yang dikenal paling banyak berkorban untuk agama.
Di antara tradisi bangsa Arab ialah menghormati hubungan besan. Menurut anggapan mereka, mencela dan memusuhi besan adalah suatu aib. Maka dengan menikahi beberapa wanita yang menjadi Ummahatul Mukminin, Rasulullah SAW ingin menghilangkan permusuhan dan memadamkan api kemarahan beberapa kabilah terhadap Islam. Setelah Ummu Salamah dari Bani Makhzum, yang sekampung dengan Abu Jahl dan Khalid bin Walid, dinikahi oleh Rasulullah SAW, hal itu membuat sikap Khalid bin Walid tidak seganas sikapnya ketika di Uhud. Bahkan akhirnya ia pun masuk islam. Begitu pula Abu Sufyan yang tidak berani bermusuhan dengan Nabi SAW, setelah Nabi SAW menikahi putrinya, Ummu Habibah. Begitu pula setelah beliau menikahi Juwairiyah dan Shafiyah, maka Bani Musthaliq dan Bani Nadhir, tidak lagi melancarkan permusuhannya. Bahkan Juwairiyah merupakan wanita yang paling banyak mendatangkan barakah bagi kaumnya. Setelah dia dinikahi Rasulullah SAW, para sahabat membebaskan seratus keluarga dari kaumnya.[29]
H. PENUTUP
Alhamdulilllah, hanya kepada-Nya segala kesempurnaan dan kebaikan disandarkan. Mudah-mudahan makalah ini banyak memberikan manfaat bagi saudara-saudara seiman dan seaqidah. Tidak ada kebenaran kecuali dari Allah semata, dan segala kesalahan, seluruhnya tertumpah kepada hamba-Nya yang dhaif ini. Segala masukan, saran, dan kritik sangat penyusun harapkan.
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya, shahabat-shahabatnya, dan para pengikut manhajnya hingga hari akhir kemudian. Wallahu a’lam
I. REFERENSI :
1. Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Katsir, (Maktabah Syamilah)
2. Al-Minhaj fie Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, (Jordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyah linnasr wa Tauzi’)
3. Shawah As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Katsir, (Cairo: Al-Majlis Al-A’la Lisyu’unil Islamiyah, 2000 M)
4. Ar-Rakhiqul Mahtum, Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, (Bairut, Darr Ibnu Hazm , 2002 M)
5. Al-Usrah Tahta Ri'ayati Al-Islam, 'Atiyah Saqar, (Ad-Darul Asriyah Lil Kitab, 1990M)
6. 99 Sahabat Perempuan Rasulullah, Abdul Hakim, (Jakarta: Republika 2006 M)
7. Menjawab tuduhan dan kebohongan tentang istri-istri Rasulullah, Muhammad Tahir, (Jakarta: Panjimas 1984 M)
8. http//www.olivie wordpres.com.keharmonisan rumah tangga Rasul saw
9. http//www.muslim-kaffah.Blogspot.com.rumah tangga Rasul saw
[1] Ibnu Katsir, Shafwah As-Sirah An-Nabawiyah (Cairo: Al-Majlis Al-A’la Lisyu’unil Islamiyah, 2000 M) hal. 162
[2] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqul Makhtum (Bairut, Darr Ibnu Hazm , 2002 M)
Hal. 55
[3] 'Atiyah Saqar, Al-Usrah Tahta Ri'ayati Al-Islam (Ad-Darul Asriyah Lil Kitab, 1990M) Jilid 6 hal. 193
[4] Ibid 6/ 194
[5] Ibid 6/197
[6] Ibid 6/198
[7] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, op.cit., hal. 131
[8] Ibid hal. 324
[9] 'Atiyah Saqar, op. Cit., 6/206
[10] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, op.cit., hal. 464
[11] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Maktabah Syamilah)
[12] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, loc. Cit., hal. 464
[13] Ibid hal. 464
[14] 'Atiyah Saqar, op. Cit., 6/215
[15] Ibid 6 / 219
[16] Ibid 6/221
[17] Mansur Abdul Hakim, 99 Sahabat Perempuan Rasulullah (Jakarta: Republika 2006 M) hal. 43
[18] 'Atiyah Saqar, op. Cit., 6/227
[19] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, op. Cit., hal. 465
[20] Mansur Abdul Hakim, op. cit., hal. 48
[21] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, loc. Cit., hal. 465
[22] Mansur Abdul Hakim, op. cit., hal. 51
[23] 'Atiyah Saqar, op. Cit., 6/231
[24] Muhammad Tahir, Menjawab tuduhan dan kebohongan tentang istri-istri Rasulullah, (Jakarta: Panji mas 1984 M) hal 14
[25] Dikutip dari http//www.olivie wordpres.com.keharmonisan rumah tangga Rasul saw. Jam 10.12
[26] HR. Al-Bukhari no. 2035 dan Muslim no. 5643
[27] Dikutip dari http//www.olivie wordpres.com.keharmonisan rumah tangga Rasul saw. Jam 10.12
[28] Muhammad Tahir, Menjawab tuduhan dan kebohongan tentang istri-istri Rasulullah, (Jakarta: Panji mas 1984 M) hal 11
[29] Di kutip dari http//www.muslim-kaffah.Blogspot.com.rumah tangga Rasul saw. Jam: 22.00
A. Pendahuluan
Rumah tangga adalah suatu tatanan masyarakat terkecil, dan dari rumah tanggalah suatu tatanan masyarakat terbentuk. Keberhasilan suatu masyarakat atau kegagalannya dimulai dari keberhasilan dan kegagalan anggotanya dalam menjalankan roda kehidupan dalam rumah tangga. Dan sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap rumah tangga minimal terdiri dari suami dan istri.
Oleh karena itu syari’at Al Qur’an memberikan perhatian besar kepada hubungan antara suami dan istrinya, sampai-sampai Rasulullah saw menjadikan baik dan buruknya hubungan seseorang dengan istrinya sebagai standar kepribadian seseorang,
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي. رواه الترمذي وصححه الألباني
“Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Maka melalui makalah ini saya mencoba untuk memaparkan bagaimana kehidupan Rasulullah dalam berkeluarga sehingga bisa menjadi contoh bagi kita untuk menjadi keluarga idaman (sakinah mawaddah wa rahmah).
B. Istri-istri Rasulullah saw
a. Istri Rasulullah saw yang disepakati
1. SITI KHADIJAH (Ummul Mukminin pertama)
Lahir di Mekkah tahun 556, Khadijah adalah wanita pertama pemeluk Islam.[1] Ketika dipersunting Rasulullah SAW, ia seorang janda berusia 40 tahun. Berasal dari keluarga terpandang dan ia sendiri menjadi orang terkaya di kotanya. Sedangkan Rasulullah SAW masih muda, berusia sekitar 25 tahun.
Setelah menikah, semua kekayaan Khadijah dipergunakan sepenuhnya untuk mendukung dakwah Rasulullah SAW. Juga, karena kewibawaannya di hadapan suku Quraisy, ia pun menjadi pelindung RasuluLlah SAW dari ancaman orang-orang Quraisy.
Rasulullah SAW sangat mencintai Khadijah. Meskipun Khadijah sudah meninggal beberapa tahun, Rasulullah SAW masih tetap mengenang. Sehingga pernah isterinya yang lain --Aisyah-- memprotes cemburu. "Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman padaku saat semua orang ingkar, yang percaya padaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan hartanya saat semua berusaha mempertahankannya;... dan darinyalah aku mendapatkan keturunan," kata Rasulullah SAW di hadapan Aisyah.
Dari Khadijah, Nabi mendapat kurnia enam anak: dua putra dan empat putri. Yang putra bernama al-Qasim dan Abdullah. Sedangkan yang putri: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum dan Fatimah.[2]
Sebelum dengan Nabi, Khadijah pernah menikah dengan Abu Halah an-Nabbasy bin Zurarah. Dari Abu Halah, Khadijah mendapat seorang anak. Setelah Abu Halal meninggal, Khadijah menikah lagi dengan Atiq bin Abid. Dia adalah seorang Quraisy dari Bani Makhzumi. Ummul mukminin al-Kubra (Ibu Kaum Mukminin yang Agung) ini sendiri meninggal di Mekkah 3 tahun sebelum hijrah[3].
2. SAUDAH BINTI ZUM'AH (Ummul Mukminin kedua)
Setelah Khadijah meninggal, Nabi baru bersedia menikah lagi. Saudah juga seorang janda. Suaminya, As-Sakran bin Amru Al-Amiri, meninggal ketika hijrah ke Habsyi (Ethiopia). [4]
Saudah sangat berduka ditinggal suaminya itu. Untuk mengobati duka itu, atas saran seorang wanita Khaulah binti Hakim as, RasuluLlah SAW lantas meminang Saudah. Meskipun RasuluLlah SAW juga menyayangi Saudah, tetapi ternyata hatinya tidak mampu mencintai wanita ini. Karena merasa berdosa, RasuluLlah SAW lantas ingin menceraikan Saudah. Tapi apa kata Saudah, "Biarlah RasuluLlah SAW aku begini. Aku rela malamku untuk Aisyah (Ummul Mukminin ke tiga Nabi). Aku sudah tidak membutuhkan lagi." [5]
Ada riwayat bahwa Saudah yang menyampaikan itu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah saw memberikan gilirn tersebut kepada Aisyah. Berkaitan dengan persoalannya, Allah menurunkan Firman-Nya :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)" (QS. An-Nisa’: 128)
Saudah wafat di Madinah pada bulan syawwal tahun 54 atau 55 H pada masa kekhalifahan Mu'awiyah, akan tetapi Bukhari meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Saudah wafat pada tahun 23 H dimasa kekhalifahan Umar bin Khaththab.[6]
3. 'AISYAH BINTI ABU BAKAR (Ummul Mukminin ketiga)
’Aisyah binti Abu Bakar adalah satu-satunya isteri Nabi yang masih gadis, ketika dinikahi Nabi. Putri sahabat Nabi, Abu Bakar ash-Shiddiq ini dilahirkan delapan atau sembilan tahun sebelum Hijrah. Menikah berumur enam tahun, namun baru tiga tahun kemudian hidup serumah dengan Nabi yaitu pada Bulan Syawwal tahun pertama hijriyah saat beliau berumur sembila tahun.[7] Budaya Arab, seorang laki-laki berumur menikahi seorang gadis belia, hal yang biasa. Salah satu sebabnya, wanita Arab fisiknya cenderung bongsor dibanding usianya.
Setelah Khadijah, Aisyahlah isteri yang paling dekat dengan Nabi. Cantik dan cerdas, begitu penampilannya. Karena kedekatan dan kecerdasannya itu, setelah Nabi wafat, banyak hadits yang ia riwayatkan. Terutama soal wanita dan keluarga. Ada 1.210 hadits yang diriwayatkan Aisyah, di antaranya 228 terdapat dalam hadits shahih Bukhari.
Selama mendampingi Nabi, Aisyah pernah dilanda fitnah hebat. Ceritanya, pada peperangan melawan Bani Mustaliq, berdasarkan undian di antara isteri-isteri Nabi, Aisyah terpilih mendampingi Nabi. Dalam perjalanan pulang, rombongan istirahat pada suatu tempat Aisyah turun dari sekedupnya, karena ada keperluan. Kemudian kembali. Saat itu tanpa di sadari kalung milik saudarinya yang dipinjamkan kepadanya ketinggalan. Maka Beliau kembali lagi ketempat dimana kalung itu jatuh. Sementara itu, rombongan berangkat dengan perkiraan bahwa Aisyah sudah ada di sekedupnya akan tetapi ternyata Aisyah tertinggal.
Ketika sahabat Nabi, Safwan bin Bathal menemuinya, Aisyah sudah tertidur. Akhirnya, ia pergi diantar Safwan. Peristiwa ini kemudian dimanfaatkan orang-orang kafir untuk menghantam Nabi. Disebarkan fitnah, Aisyah telah serong. Fitnah ini benar-benar meresahkan ummat. Bahkan Nabi sendiri sempat goyah kepercayaannya pada Aisyah. Sehingga turunlah wahyu yaitu Surat An-Nuur ayat 11. Inti wahyu itu, menegur Nabi dan membenarkan Aisyah.
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”
Begitu pula sembilan ayat berikutnya. Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab ”orang-orang yang paling getol menyiarkan berita bohong ini dijatuhi hukuman pukul sebanyak delapan puluh kali pukulan. Mereka adalah Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy. Sementara tokoh berita bohong dan penyiarnya, Abdullah bin Ubay justru tidak dijatuhi hukuman apapun. Boleh jadi hukuman itu memang ada keringanan untuk dirinya, tetap Allah mengancamnya dengan adzab yang pedih di akherat atau boleh jadi ada kemashlahatan tersendiri, sehingga Abdullah bin Ubay tetap dibiarkan hidup.”[8]
Aisyah wafat pada malam Selasa, 17 Ramadhan 57 H, dalam usia 66 tahun. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan dimakamkan di Ummahat al-Mukminin di Baqi (sebelah Masjid Madinah) bersama Ummul Mukminin lainnya. [9]
4. HAFSAH BINTI UMAR (Ummul Mukminin keempat)
Hafsah adalah janda Khunais bin Huzafah, sahabat Rasulullah SAW yang meninggal pada waktu antara perang Badar dan Uhud.[10]
Rasulullah SAW menikahi Hafsah, kerena kasihan kepada Umar bin Khattab --ayah Hafsah. Hafsah sedih ditinggal suaminya, apalagi usianya baru 18 tahun. Melihat kesedihan itu, Umar berniat mencarikan suami lagi.
Pilihannya jatuh kepada sahabatnya yang juga orang kepercayaan Rasulullah SAW, yakni Abu Bakar. Tapi ternyata Abu Bakar hanya diam saja. Dengan perasaan kecewa atas sikap Abu Bakar itu, Umar menemui Usman bin Affan, dengan maksud yang sama. Ternyata Ustman juga menolak, karena dukanya atas kematian isterinya, belum hilang. Isteri Ustman adalah putri Rasulullah SAW sendiri, Ruqayyah.
Lalu Umar mengadu kepada Rasulullah SAW. Melihat sahabatnya yang marah dan sedih itu, Rasulullah SAW ingin menyenangkannya, lantas berkata "Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Ustman, dan Ustman akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Hafsah." Tak lama kemudian, Hafsah dinikahi RasuluLlah SAW, sedang Ustman dengan Ummu Kultsum, putri Rasulullah SAW juga.
Suatu malam di kamar Hafsah, Rasulullah SAW sedang berdua dengan isterinya yang lain, Maria. Hafsah cemburu berat, lantas menceritakan kepada Aisyah. Aisyah kemudian memimpin isteri-isteri yang lain, protes kepada Rasulullah SAW. [11]
RasuluLlah SAW sangat marah dengan ulah isteri-isterinya itu. Saking marahnya, beliau tinggalkan mereka selama satu bulan. Terhadap kasus ini, kemudian Allah menurunkan wahyu surat at-Tahrim ayat 1-5.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (1) قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (2) وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ (3) إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ (4) عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (5)
“Hai nabi, Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah Telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu[1486] dan Allah adalah Pelindungmu dan dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang Telah memberitahukan hal Ini kepadamu?" nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua Telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan nabi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.”
Sejarah mencatat, Hafsahlah yang dipilih di antara isteri-isteri Rasulullah SAW untuk menyimpan naskah pertama al-Qur'an. Hafsah wafat pada awal pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dimakamkan di Ummahat al-Mu'minin di Baqi.
5. ZAINAB BINTI KHUZAIMAH (Ummul Mukminin kelima).
Di antara isteri-isteri Rasulullah SAW, Zainablah yang wafat lebih dulu, setelah Khadijah. Para sejarawan tidak banyak tahu tentang Zainab, termasuk latar belakangnya. Tapi yang jelas ia juga seorang janda saat dinikahi RasuluLlah SAW.
Hidupnya bersama Rasulullah SAW, hanya singkat. Antara empat sampai delapan bulan. Zainab terkenal dengan julukan Ummul Masaakiin,[12] karena kedermawanannya terhadap kaum miskin. Zainab meninggal, ketika Rasulullah SAW masih hidup. Dan Rasulullah SAW sendiri menshalati jenazahnya. Zainablah yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
6. UMMU SALAMAH (Ummul Mukminin keenam).
Nama aslinya, Hindun binti Abu Umayah bin Mughirah. Suaminya bernama Abdullah bin Abdul Asad. Abdullah atau dipanggil Abu Salamah,[13] meninggal ketika perang melawan Bani As'ad yang akan menyerang Madinah. Sebelum meninggal Abu Salamah berwasiat, agar isterinya ada yang menikahi dan orang itu harus lebih baik dari dirinya.
Abu Bakar ingin melaksanakan wasiat itu, dengan meminang Ummu Salamah tapi ditolak. Demikian pula Umar bin Khattab, juga ditolak. Tiada lain, Rasulullah SAW sendiri akhirnya yang maju. Dan diterima. Ketika itu umur Ummu Salamah hanya beberapa tahun dibawah RasuluLlah SAW dan sudah mempunyai anak empat.
Sejarah mencatat, surat at-Taubah 102 turun tatkala Rasulullah SAW sedang berbaring di Kamarnya Ummu Salamah. Dalam perjanjian Hudaibiyah, Umum Salamah punya peranan penting.
Banyak sahabat Rasulullah SAW yang protes terhadap perjanjian itu, termasuk Umar. Usai perjanjian ditandatangani, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat agar menyembelih ternak dan memotong rambut. Namun tidak ada yang melakukan seruan itu. Rasulullah SAW mengulangnya sampai tiga kali, tapi tetap tidak ada yang menyahut. Akhirnya dengan perasaan kecewa Rasulullah kembali ke kemahnya.
Ummu Salamah lantas usul, agar Rasulullah SAW jangan hanya bicara, langsung saja contoh. Benar juga, Rasulullah SAW lantas keluar menyembelih ternak dan menyuruh pembantu memotong rambut beliau. Kaum muslimin kemudian banyak yang mengikuti tindakan Rasulullah SAW ini, karena takut dikatakan tidak mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Ummu Salamah banyak mengikuti peperangan. Ia hidup sampai usia lanjut. Ia wafat setelah peristiwa Karbala, yakni terbunuhnya Husein, cucu Rasulullah SAW. Ummu Salamah adalah Ummahatul Mukminin yang paling akhir wafatnya. Ummu Salamah wafat pada bulan Ramadhan atau Syawwal tahun 58 H atau 59 H atau 60 H atau 61 H atau 62 H, dimakamkan di Baqi dan shalat jenazahnya diimami Abu Huraiarah.[14]
7. ZAINAB BINTI JAHSY (Ummul Mukminin ketujuh).
Zainab adalah mantan isteri Zaid bin Haritsah yang telah bercerai. Sedang Zaid adalah anak angkat Rasulullah SAW. Zainab sendiri dengan Rasulullah SAW juga masih bersaudara. Karena wanita ini adalah cucu Abdul Muthallib, kakek Rasulullah SAW.
Meski perkawinan Zainab dengan Nabi jelas-jelas perintah Allah, tapi gosip menyelimuti perkawinan mereka. Wahyu yang memerintah Nabi agar menikahi Zainab itu ada pada al-Ahzab ayat 37.
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
“Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti teradi.”
Dari perkawinan inilah kemudian turun hukum-hukum pernikahan, termasuk perintah hijab, firman Allah swt:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul baitdan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Zainab binti Jahsy wafat di Madinah tahun 20 atau 21 H dan umurnya sekitar 50 tahun dan shalat jenazahnya diimami oleh Umar.[15]
8. JUWAIRIAH BINTI HARITS (Ummul Mukminin kedelapan).
Nama sebenarnya adalah Barrah binti Harits bin Abi Dhirar, putri pimpinan pemberontak dari suku Bani Musthalaq, Harits bin Dhirar. Setelah menikah dengan Nabi berganti nama Juwairiah. Sebelumnya, Juwairiah adalah tawanan perang.
Riwayat selanjutnya tak banyak diketahui oleh para sejarawan. Hanya ia meninggal dalam usia 65 tahun, di Madinah, pada masa Muawiyah. Dishalatkan dengan Imam Amir Madinah yaitu Marwan bin Hakam. [16]
9. SOFIYAH BINTI HUYAI (Ummul Mukminin kesembilan).
Sofiyah binti Huyai adalah satu-satunya isteri Nabi dari golongan Yahudi. Sofiyah masih keturunan Nabi Harun dan ibunya Barrah binti Samual. Meski usianya baru 17 tahun, tapi ia sudah dua kali menikah. Pertama dengan Salam bin Masyham, dan kedua dengan Kinanah bin Rabi bin Abil Haqiq, pemimpin benteng Qumus, benteng terkuat di Khaibar, markasnya kaum Yahudi. Dikawininya Sofiyah itu, Nabi sebenarnya berharap agar kebencian kaum Yahudi kepada kaum muslimin dapat diredam.
Sofiyah binti Hyai adalah Ummul Mukmin yang pemahamanya terhadap Islam sangat mendalam. Salah bukti nyata yang menunjukan pemahaman Sofiyah yang mendalam terhadap Islam dan Ibadah adalah, digambarkan dalam sebuah riwayat yang disebutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani. Bahwa ada sekelompok orang-orang Islam yang berkumpul di rumah Sofiyah binti Huyai. Istri Rasulullah saw. Mereka berdzikir menyebut asma Allah, membaca Al-Qur’an dan bersujud. Tiba-tiba Sofiyah memanggil mereka seraya berkata” Kalian bersujud dan membaca Al-Qur’an, tapi mana tangisanya?
Maksud yang ingin disampaikan Sofiyah adalah dia ingin memberikan pemahaman dan bimbingan kepada mereka, bahwa indikasi khusyu’ dalam ibadah adalah tangisan karena takut kepada Allah.[17]
Sofiyah wafat pada bulan Ramadahan tahun 50 Hijriah, pada zaman Mua'wiyah. Dimakamkan di Baqi. [18]
10. UMMU HABIBAH BINTI SUFYAN (Ummul Mukminin ke sepuluh)
Nama sebenarnya Ramlah binti Abi Sufyan. Ia memang putri pemimpin Quraisy, Abu Sufyan, musuh bebuyutan Islam itu. Habibah adalah nama putri Ramlah hasil perkawinan dengan Ubaidillah, saudara Ummul Mukminin Zainab ra. Tentu saja Ramlah telah masuk Islam.
Berdua dengan suaminya, ia kemudian hijrah ke Habsyi (Afrika). Celakanya, sesampai di Habsyi suaminya murtad, masuk Nasrani.[19] Selanjutnya, Ramlah dinikahi Rasulullah SAW. Mendengar ini, betapa marahnya Abu Sofyan, putrinya sendiri masuk Islam dan sekarang kawin dengan musuh besarnya, Nabi Muhammad SAW.
Dikisahkan, ketika Abu Sufyan tiba di Madinah pada saat itu dia menjadi pimpinan Quraisy menemuai anaknya, Ummul Mukminin Ummu Habibah ra. Ketika Abu Sufyan hendak duduk ditempat tidur Rasulullah saw, Ummu Habibah mencegahnya. Seketika itu Abu Sufyan berkata kepada Ummu Habibah, “Hai anakku saya tidak tahu, apakah engkau lebih mencintai tempat tidur ini, ataukah lebih mencintai saya?”
“Ini adalah tempat tidur Rasulullah saw, sementara engkau orang Musyrik dan najis, “ jawab Ummu Habibah.
“Demi Allah, setelah saya meninggal engkau akan ditimpa kejelekan,” Kecam Abu Sufyan
Ummu Habibah berkata, “Allah telah memberikan petunjuk kepada saya untuk memeluk Islam. Dan kamu, wahai bapakku, pimpinan dan pemuka Quraisy, bagaiman kamu bisa masuk Islam sementara kamu menyembah batu yang tidak bisa mendengar dan melihat.
Abu Sufyan berkata, “Hebat, haruskah aku meninggalkan apa yang disembah nenek moyangku, lalu mengikuti agama Muhammad.”
Demikianlah, sikap Ummu Habibah kepada bapaknya dengan modal kecerdasan, keimanan, dan keberanian yang dimiliki Ummu Habibah, ia berhasil membuat bapaknya memilih jalan yang benar dan memeluk agama Islam. Tidak lama kemudian, Abu Sufyan memeluk Islam, tepatnya pada waktu penaklukan kota Mekkah.[20]
Sampai akhir hayatnya, Ramlah tetap membela Islam dan suaminya. Ia wafat pada tahun 44 H dalam usia 60 tahun. Juga dimakamkan di Baqi.
11. MAIMUNAH BINTI AL HARITS (Ummul Mukminin kesebelas)
Nama aslinya adalah Barrah binti Harits. Setelah menikah dengan Nabi, diganti dengan Maimunah. Rasul saw menikahinya pada bulan Dzul Qa’dah 7 H saat Umrah Qadha’ [21]ketika itu beliau seorang janda berumur 26 tahun atas permintaan paman Nabi, yakni Abbas bin Abdul Muthalib. Barrah sendiri adalah adik dari isteri Abbas.
Dikisahkan dalam buku-buku sirah, bahwa Abbas ra yang mengirformasikan kepada Nabi tentang keinginan Maimunah. Setelah itu, Nabi Muhammad saw langsung mengutus sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib untuk meminang Maimunah. Kemudian Maimunah menunggangi unta miliknya sendiri menuju Abthah, lokasi tempat tinggal Rasulullah saw. Begitu menatap Rasulullah, Maimunah berkata kepada Beliau “Unta dan yang dibawanya adalah milik Allah dan Rasul-Nya”[22]
Tidak banyak yang diketahui sejarah Barrah. Yang jelas ia wafat pada tahun 51 hijriah.
b. Istri-istri Rasul yang lain[23]
a.) Menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah saw
1. Ummu Syuraik
2. Khaulah binti Hakim
3. Laila binti Al- Khatim
b.) Dinikahi oleh Rasulullah saw tapi belum pernah digauli
1. Khaulah binti Al-Khudzail
2. Umarah binti Yazid bin Al-Jun
3. Asma’ binti An-Nukmaan bin Al-Jun
4. Ummayyah binti An-Nukmaan bin Syaraahil
5. Mulaikah binti Ka’ab
6. Fatimah binti Ad-Dhahak
7. ‘Aliyah binti Dhibyan
8. Qutailah binti Qais
9. Sunni binti Asma’ bin As-Shamad
10. Syaraf binti Khulaifah
11. Laila binti Al-Khatim
12. Imra’ah binti Ghaffar
c.) Istri Rasulullah dari hamba sahaya
1. Mariyah Al-Kibtiyah
2. Raihanah
3. Nafisah
4. Ammah
C. Hikmah Dari Poligami Rasulullah
Sungguh hikmah dari poligami Rasulullah saw banyak sekali diantaranya adalah:[24]
1. Hikmah Ta’limiyah (hikmah dari segi pengajaran)
Sebenarnya, landasan kuat yang mendorong berbilangnya istri Rasulullah saw adalah untuk mencetak guru-guru wanita, sebagai pengajar-pengajar perempuan khusus, yang berkenaan dengan hukum agama. Mereka adalah sebagian batang tubuh masyarakat. Dan Allah telah membebankan ke atas pundaknya berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan mana yang dipikulkan pada pundak kaum lelaki.
Banyak kaum hawa di antara mereka itu yang malu bertanya kepada Nabi saw tentang urusan agama, khususnya yang berkaitan dengan pribadi kewanitaannya, seperti hukum haidh, nifas, mandi janabat, urusan hubungan suami istri, serta yang lainnya. Padahal, perempuan itu sering dikalahkan oleh rasa malunya bila ingin bertanya kepada Rasul saw yang mulia untuk perkara-perkara semacam itu.
Demikian pula, Rasul memiliki pribadi akhlak malu yang sempurna. Sebagai mana yang termuat dalam riwayat Imam Bukhari :
“Lebih kuat rasa malunya daripada gadis pingitan yang bersembunyi di balik tirai.”
Sebab itu Nabi saw tidak bisa leluasa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya yang datangnya dari pihak wanita dengan bahasa yang jelas. Akan tetapi kadangkala dengan ungkapan bahasa kinayah (sindiran). Malah dengan begitu, si wanita tidak faham maksud arah bahasa kinayah tersebut.
Kami ambil contoh untuknya, hadits Ummi Salamah, riwayat Bukhari dan Muslim. Dalam hadits itu, katanya :
“Telah datang Ummi Sulaim (istri Abu Thalib dan Ibu Anas bin Malik) ke hadapan Rasulullah saw. Kemudian bertanya:
‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Allah tiada malu akan hal yang haq (benar). Wajibkah perempuan itu mandi jika dia mimpi?’
Jawabnya :
‘Benar, kalau dia melihat air!’
Ummi Salamah mencampurinya : ‘Engkau (Ummi Salamah) telah membuka cela wanita. Aduhaii! Benarkah wanita yang mimpi itu mengeluarkan air?’
Nabi yang mulia menjawab dengan balik bertanya :
‘Jika tidak, dengan jalan apa seorang anak lahir menyerupai wajah ibunya?’
Maksud dari sabda beliau itu, bahwa janin yang tumbuh dalam kandungan itu tercipta dari campuran air Nuthfah laki-laki dan wanita. Karena itu dia lahir menyerupai wajah sang ibu. Yang demikian ini adalah seperti yang difirmankan Allah :
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat.” (QS Al-Insaan:2)
2. Hikmah Tasyri’iyyah (hikmah dari segi hukum agama)
Al-Hikmah Al-tassyri'iyah juga merupkan bagian dari hikmah poligami Rasulullah. Kami ambil contoh soal bid'ah tabanna (bid'ah mengadopsi anak) yang dilakukan.
Tradisi itu dijadikan sebagai aturan (agama) turun-temurun di kalangan mereka. salah seorang diantara mereka mengadopsi anak , yang bukan dari darah keturunannya sendiri dan kemudian diangkat anak itu dalam hukum yang derajatnya sama dengan anak kandungnya sendiri, dan kemudian diakui dan dijadikan sebagai anaknya yang sebenarnya. Ia punya kedudukan hukum seperti anal keturunanya sendiri dalam berbagai hal. Dalam hal waris, thalaq, perkawinan, sebagai muhrim sebab musharah (menantu/ mertua), haram dalam perkawinan,dan lain-lain yang sudah mereka ketahui. Dan ini merupakan agama tradisional yang harus diikuti zaman itu.
Demikian juga dengan Rasulullah mengadopsi Zaid sebagai anaknya yang kemudian dinikahkan dengan Zainab binti Zahsy al-Asadiyah. Namun pernikahan itu tidak bertahan lama karena tidak ada kecocokan diantara mereka. Untuk mengambil hikmah baik yang dikehendaki Allah, Zaid menceraikan Zainab. Kemudian Allah menyuruh Rasul-Nya untuk menikahinya, agar menghapus adat “bid’ah tabanna”, menegakkan sendi agama Islam dan merubah agama Jahiliyyah. Tetapi beliau khawatir akan mulut orang munafik dan manusia-manusia yang keji (Al Fujjar), kalau-kalau mereka katakan bahwa Muhammad menikahi istri anaknya. Maka sikap beliau pun lambat untuk mengambil keputusan tersebut, sampai akhirnya turun ayat untuk menegurnya :
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
“Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS Al-Ahzab:37)
Maka mulai saat itu hukum mengadopsi anak terhapus sudah. Adat sesat yang senantiasa mereka ikuti semenjak Zaman Jahiliyyah terkubur. Tak ada lagi yang memperhatikan tradisi yang dianggap agama itu. Dan setelah itu turun pulah wahyu sebagai pengukuh hukum yang baru :
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzab:40)
3. Hikmah Ijtima’iyyah (hikmah dari segi sosial kemasyarakatan)
Adapun hikmah yang ketiga, yaitu Al-Ijtima’iyyah, maka ini nampak jelas sekali dari pernikahan beliau dengan anak perempuan Abu Bakar Al-Shiddiq, Khalifah pertama. Lalu dengan puteri Khalifahnya yang kedua, yaitu Al-Faruq (Umar). Kemudian hubungan beliau secara Mushaharah (perbesanan) dan nasab dengan kaum Quraisy, dan dinikahinya perempuannya, sesuatu hal yang mempererat tali persaudaraan antara kelompok dan suku bangsa ini dengan ikatan yang kokoh. Dan hatipun erat terpadu. Serta membawa keberhasilan dalam dakwahnya.
Nabi saw menikahi Aisyah, anak perempuan manusia yang paling dicintai serta paling besar martabat dirinya baginya. Dialah Abu Bakar Al-Shiddiq, laki-laki pertama yang menyatakan dirinya Islam. Yang telah berani menyediakan dirinya, nyawanya, serta hartanya untuk berjuang di jalan Allah. Melindungi Rasul-Nya. Ikut pula menanggung siksaan pedih dalam rangka menyiarkan I slam. Sampai-sampai beliau saw bersabda sebagai pujian atas kemuliaan Abu Bakar Al-Shiddiq, seperti yang termaktub dalam riwayat Tirmidzi :
“Semua manusia yang pernah berbuat baik kepada kami telah dapat kami balas, kecuali Abu Bakar. Sebab ia pernah berbuat kebaikan kepada kami, yang nanti hanya Allah-lah yang akan membalasnya di hari kemudian. Tiada harta seorangpun yang memberi manfaat bagiku seperti harta Abu Bakar. Tiada pula Islam dapat menembus kalbu seseorang melainkan pada awalnya menimbulkan kebimbangan, kecuali Abu Bakar. Dia menerimanya dengan tenang dan yakin. Andaikata aku mengambil seseorang kekasih, tentu aku memilih Abu Bakar jua. Ketahuilah, temanmu itu adalah juga kekasih Allah!”
Maka Rasul saw belum menemukan sesuatu yang memuaskan sebagai balasan bagi Abu Bakar di dunia, yang lebih menenangkan serta menjernihkan biji mata selain menikahi anak perempuannya. Dengannya, terjalinlah Mushaharah serta hubungan kerabat yang semakin erat antara keduanya.
Sebagaimana juga perkawinan beliau dengan Hafshah putri Umar. Adalah juga menyejukkan dan meneduhkan sinar mata ayahnya atas keislamannya, kejujurannya, keikhlasannya dan pembelaannya di jalan agama ini.
Begitu pulalah kemuliaan yang beliau berikan kepada Utsman dan Ali dengan jalan menikahkan keduanya dengan kedua puterinya. Mereka berempat adalah para sahabat beliau yang paling besar, yang juga menjadi Khalifah penggantinya, meneruskan penyiaran agama serta menegakkan agama dan dakwah.
4. Hikmah Siyasiyah (hikmah dari segi politik)
Hikmah yang terakhir ialah “Al Hikmah Al Siyasiyah” (hikmah dari segi social politik). Nabi saw telah menikahi beberapa perempuan dengan tujuan utama untuk meluluhkan hati-hati yang keras membatu. Serta untuk membina dan menyatukan berbagai suku bangsa yang bertebaran di alam sekitarnya.
Satu hal yang mesti dimaklumi, bahwa jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dari suatu suku, atau suatu keluarga, maka terjalinlah hubungan kerabat yang erat antara kedua belah pihak. Dan Mushaharah itu sendiri secara tradisional, jelas mengundang mereka buat membantu dan melindunginya.
Kami berikan contoh sebagai maksud dari tujuan pernikahan beliau saw agar semakin nyata dan jelas bagi kita hikmahnya yang memang sejak semula menjadi cita-cita suci Rasulullah saw di belakang rencana perkawinannya.
Pertama: Perkawinannya dengan Juwariyah, anak perempuan al Harits, penghulu Bani Musthaliq. Ia bersama kaum keluarganya tertawan. Kemudian bermaksud buat menebus dirinya (dimerdekakan). Lalu ia menghadap Rasulullah saw, memohon pertolongan harta seperlunya. Beliau menawarkan jasa baiknya kepadanya untuk membayar uang tebusannya serta mengawininya. Tawaran yang bagus itu diterimanya, dan Nabi saw menikahinya. Kaum muslimin pun berseru :
“Adakah kaum Anshar Rasulullah saw masih dalam kekuasaan kami?”. Yakni kerabat, ipar atau menantu dari sebab perkawinan itu tetap sebagai tawanan? Maka dengan segera mereka semua pun dimerdekakan.
Tatkala Bani Musthaliq menyaksikan sendiri kebaikan dan ketinggian budi pekerti ini, juga kebijakan serta kemulyaaan, maka dengan serta merta mereka pun menyatakan diri masuk Islam. Maka berimanlah mereka kepada Allah swt. Oleh karena itu pernikahan Beliau dengan Juwairiyyah binti Al-Harits, sangat memberikan berkat kepadanya, juga kaum keluraga dan kerabat familinya. Juwairiyah merupkan seorang wanita yang sangat membahagiakan Suku Bangsanya.
Kedua: Seperti halnya pernikahan beliau dengan Sayyidah Syafiyyah anak perempuan Huyaii bin Akhthab yang tertawan sesudah suaminya terbunuh dalam Ghazwah (perang yang dipimpin Nabin saw) yaitu perang Khaibar. Ia jatuh dalam saham salah seorang Muslim, beberapa orang cerdik dan ahli faqih berpendapat :
" Ia adalah wanita penghulu bani Quraizdah. Tak layak kecuali untuk Rasulullah saw"
Hasil permusyawarahan itu mereka sampaikan kepada Rasulullah saw. Lalu Beliau memanggilnya dan mempersilahkan memilih antara dua perkara, yaitu dibebaskan dan dinikahi Rasulullah saw, atau ia bebas dan boleh kembali bergaul dengan kaumnya. Ternyata ia menjatuhkan pilihan, agar Dia dibebaskan dan dinikahi Beliau untuk menjadi istrinya.
Peristiwa itu terjadi setelah ia menyaksikan akan keagungan dan budi luhur beliau, serta kebagusan perangainya dalam tata cara bergaul dengan masyarakat. kemudian ia pun masuk Islam. Dan bersamanya masuk pula beberapa orang lainya.
Diriwayatkan, bahwa Shaffiyah anak perempuan Huyai bin Akhthab sesudah bergaul dengan Nabi saw beliau bersabda kepadanya: "Bapakmu itu manusia Yahudi yang paling keras. Tak henti-hentinya ia memusuhiku, sampai saatnya Allah membinasaknya"
Ia berkata:
Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah telah berfirman:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
"Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain" (QS. Al-Isra' : 15)
Rasulullah yang mulai bersabda kepadanya:
"Pilih olehmu! Jika engkau memilih Islam, kugenggam engkau untukku. Dan kalau pilih Yahudi, maka barang kali engkau aku merdekakan dan kamu boleh bergaul kembali dengan kaummu"
Ia menjawab dengan tegas :
" Wahai Rasulullah! Aku mencintai Islam. Aku membenarkan kerasulanmu sebelum engkau mengundangku tinggal seatap di rumahmu. Aku tak lagi punya ikatan bathin dengan agama Yahudi. Tidak punya orang tua maupun saudara di dalamnya. Padahal engkau menyurhku antara kafir dan Islam, Sungguh Allah dan Rasul-Nya lebih aku cintai dari pada kemerdekaan serta kembali kekalangan bangsaku!"
Maka Rasulullah saw tetap menjadikan Syafiyyah sebagai istrinya.
D. Keharmonisan Rumah Tangga Rasulullah saw
Di bawah naungan rumah tangga yang bersahaja di situlah tinggal sang istri, pahlawan di balik layar pembawa ketenangan dan kesejukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dunia itu penuh dengan kenikmatan. Dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah istri yang shalihah.” (Lihat Shahih Jami’ Shaghir karya Al-Albani)
Di antara keelokan budi pekerti Rasulullah saw dan keharmonisan rumah tangga beliau ialah memanggil ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan nama kesayangan dan mengabarkan kepadanya berita yang membuat jiwa serasa melayang-layang.
Aisyah ra menuturkan: “Pada suatu hari Rasulullah saw berkata kepadanya:
“Wahai ‘Aisy (panggilan kesayangan ‘Aisyah ra), Malaikat Jibril ‘alaihissalam tadi menyampaikan salam buatmu.” (Muttafaq ‘alaih)
Bahkan beliau saw selaku Nabi umat ini yang paling sempurna akhlaknya dan paling tinggi derajatnya telah memberikan sebuah contoh yang berharga dalam hal berlaku baik kepada sang istri dan dalam hal kerendahan hati, serta dalam hal mengetahui keinginan dan kecemburuan wanita. Beliau saw menempatkan mereka pada kedudukan yang diidam-idamkan oleh seluruh kaum hawa. Yaitu menjadi seorang istri yang memiliki kedudukan terhormat di samping suaminya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:
Suatu ketika aku minum, dan aku sedang haidh, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya.” (HR. Muslim)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah seperti yang diduga oleh kaum munafikin atau seperti yang dituduhkan kaum orientalis dengan tuduhan-tuduhan palsu dan pengakuan-pengakuan bathil. Bahkan beliau saw lebih memilih etika berumah tangga yang paling elok dan sederhana.
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium salah seorang istri beliau kemudian berangkat menunaikan shalat tanpa memperbaharui wudhu’.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menjelaskan dengan gamblang tingginya kedudukan kaum wanita di sisi beliau. Mereka kaum hawa memiliki kedudukan yang agung dan derajat yang tinggi. Rasulullah saw pernah menjawab pertanyaan ‘Amr bin Al-’Ash ra seputar masalah ini, beliau jelaskan kepadanya bahwa mencintai istri bukanlah suatu hal yang tabu bagi seorang lelaki yang normal.
Amr bin Al-’Ash ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw : “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” beliau menjawab: “‘Aisyah!” (Muttafaq ‘alaih)
Barangsiapa yang mengidamkan kebahagiaan rumah tangga, hendaklah ia memperhatikan kisah- kisah ‘Aisyah ra bersama Rasulullah saw. Bagaimana kiat-kiat Rasulullah saw membahagiakan ‘Aisyah ra.[25]
Dari ‘Aisyah ra ia berkata:
“Aku biasa mandi berdua bersama Rasulullah saw dari satu bejana.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Atha` bin Yasar:"Sesungguhnya Rasulullah saw dan Aisyah ra biasa mandi bersama dalam satu bejana. Ketika baginda sedang berada dalam satu selimut dagan Aisyah, tiba-tiba Aisyah bangkit. Baginda kemudian bertanya, `Mengapa engkau bangkit?` Jawab Aisyah, Kerana saya haid, wahai Rasulullah.' Sabda Rasulullah, 'Kalau begitu, pergilah, lalu berkainlah dan dekatlah kembali padaku.' Aku pun masuk, lalu berselimut bersama beliau." ( Hadis Riwayat sa`id bin Manshur ).
Nabi saw biasa memencet hidung Aisyah jika dia marah dan Baginda berkata, "Wahai Uwaisy, bacalah doa: 'Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan." ( Hadis Riwayat Ibnu Sunni ).
Rasulullah tidak melewatkan kesempatan sedikit pun kecuali beliau manfaatkan untuk membahagiakan dan menyenangkan istri melalui hal-hal yang dibolehkan.
Aisyah radhiyallah ‘anha mengisahkan:
Pada suatu ketika aku ikut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Mereka pun berangkat mendahului kami. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Kemarilah! sekarang kita berlomba lari.” Aku pun meladeninya dan akhirnya aku dapat mengungguli beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hanya diam saja atas keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk, aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian beliau menantangku berlomba kembali. Dan akhirnya beliau dapat mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!” (HR. Ahmad)
Sungguh! merupakan sebuah bentuk permainan yang sangat lembut dan sebuah perhatian yang sangat besar. Beliau perintahkan rombongan untuk berangkat terlebih dahulu agar beliau dapat menghibur hati sang istri dengan mengajaknya berlomba lari. Kemudian beliau memadukan permainan yang lalu dengan yang baru, beliau berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!”
Bagi mereka yang sering bepergian melanglang buana serta memperhatikan keadaan orang-orang yang terpandang pada tiap-tiap kaum, pasti akan takjub terhadap perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah seorang Nabi yang mulia, pemimpin yang selalu berjaya, keturunan terhormat suku Quraisy dan Bani Hasyim. Pada saat-saat kejayaan, beliau kembali dari sebuah peperangan dengan membawa kemenangan bersama rombongan pasukan besar. Meskipun demikian, beliau tetap seorang yang penuh kasih sayang dan rendah hati terhadap istri-istri beliau para Ummahaatul Mukiminin radhiyallah ‘anhu. Kedudukan beliau sebagai pemimpin pasukan, perjalanan panjang yang ditempuh, serta kemenangan demi kemenangan yang diraih di medan pertempuran, tidak membuat beliau lupa bahwa beliau didampingi para istri-istri kaum hawa yang lemah yang sangat membutuhkan sentuhan lembut dan bisikan manja. Agar dapat menghapus beban berat perjalanan yang sangat meletihkan.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa ketika Rasulullah saw kembali dari peperangan Khaibar, beliau menikahi Shafiyyah binti Huyaiy ra. Beliau saw mengulurkan tirai di dekat unta yang akan ditunggangi untuk melindungi Shafiyyah ra dari pandangan orang. Kemudian beliau duduk bertumpu pada lutut di sisi unta tersebut, beliau persilakan Shafiyyah ra untuk naik ke atas unta dengan bertumpu pada lutut beliau.
Ummul Mukminin Shafiyyah ra berkisah bahwa suatu malam ia pernah mengunjungi Rasulullah saw saat sedang i'tikaf di masjid pada sepuluh hari yang akhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang bersama beliau beberapa waktu. Setelahnya, ia pamitan untuk kembali ke rumahnya. Rasulullah saw pun bangkit untuk mengantarkan istrinya. Hingga ketika sampai di pintu masjid di sisi pintu rumah Ummu Salamah, lewat dua orang dari kalangan Anshar, keduanya mengucapkan salam lalu berlalu dengan segera. Melihat gelagat seperti itu Rasulullah saw menegur keduanya, “Pelan-pelanlah kalian dalam berjalan, tak usah terburu-buru seperti itu, karena tak ada yang perlu kalian khawatirkan. Wanita yang bersamaku ini Shafiyyah bintu Huyai, istriku.” Keduanya menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah, tidaklah kami berprasangka jelek padamu.” Beliau menanggapi, “Sesungguhnya setan berjalan pada diri anak Adam seperti beredarnya darah, dan aku khawatir ia melemparkan suatu prasangka di hati kalian.” [26]
"Adalah Rasulullah s.a.w tidaklah setiap hari melainkan beliau mesti mengelilingi kami semua ( isterinya ) seorang demi seorang. Baginda menghampiri dan membelai kami tetapi tidak bersama sehingga Baginda singgah ke tempat isteri yang menjadi giliran Baginda, lalu Baginda bermalam di tempatnya." ( Hadis Riwayat Ahmad ).
Dari Hafshah, puteri Umar ra, "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w biasa mencium isterinya sekalipun sedang berpuasa." ( Hadis Riwayat Ahmad ).
Dari Ummu Kaltsum binti Abu Salamah, ia berkata, "Ketika Nabi saw menikah dengan Ummu Salamah, Baginda bersabda kepadanya,'Sesungguhnya aku pernah hendak memberi hadiah kepada Raja Najasyi sebuah pakaian berenda dan beberapa botol minyak kasturi, namun aku mengetahui ternyata Raja Najasyi telah meninggal dunia dan aku mengira hadiah itu akan di kembalikan.Jika hadiah itu memang di kembalikan kepadaku, aku akan memberikanya kepadamu."
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi saw pernah melihat wanita, lalu Baginda masuk ke tempat kediaman Zainab, untuk melepaskan keinginan Baginda kepadanya, lalu keluar dan bersabda, "Wanita kalau menghadap, ia menghadap dalam rupa syaitan..... ..apabila seseorang di antara kamu melihat wanita yang menarik, hendaklah ia mendatangi isterinya karena pada diri isterinya ada hal yg sama dengan yang ada pada wanita itu." ( Hadis Riwayat Tirmizi ).
Dia ( Ummu Kultsum ) berkata,"Ternyata keadaan Raja Najasyi seperti yang di sabdakan Rasulullah saw dan hadiah tersebut di kembalikan kpd Baginda, lalu Baginda memberikanyya kepada masing-masing isterinya satu botol minyak kasturi, sedang sisa minyak kasturi dan pakaian tersebut Baginda berikan kpada Ummu Salamah." ( Hadis Riwayat Ahmad )
Pemandangan seperti ini memberikan kesan begitu mendalam yang menunjukkan ketawadhu’an beliau. Rasulullah saw selaku pemimpin yang berjaya dan seorang Nabi yang diutus- memberikan teladan kepada umatnya bahwa bersikap tawadhu’ kepada istri, mempersilakan lutut beliau sebagai tumpuan, membantu pekerjaan rumah, membahagiakan istri, sama sekali tidak mengurangi derajat dan kedudukan beliau.[27]
E. HIJAB ISTRI-ISTRI NABI SAW
Anas bin Malik ra. berkata, 'Pertama kali ayat tentang hijab diturunkan adalah ketika Rasulullah saw menikahi Zainab binti Jahsy. Pada pagi hari Rasulullah SAW menikahi Zainab beliau mengundang orang-orang lalu mereka makan dan kemudian pergi. Sekelompok orang masih tinggal bersama Nabi. Mereka tetap di sana untuk waktu yang lama. Rasulullah SAW bangkit dan aku pergi bersamanya hingga kami sampai di pintu ruangan 'Aisyah. Ketika beliau duga orang-orang itu mereka telah pergi, beliau kembali dan aku kembali bersamanya dan mereka ternyata sudah pergi. Maka beliau memasang tabir antara aku dan beliau lalu turunlah ayat tentang hijab,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu memasuki rumah Nabi kecuali kamu diizinkan makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, maka masuklah dan jika kamu selesai makan keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar)” (QS.Al-Ahzab:53)
Menurut ibnu Abbas, Ayat tentang hijab istri-istri Rasulullah SAW diturunkan ketika Umar ra. sedang makan bersama Nabi SAW. lalu tangannya menyentuh tangan salah seorang istri Nabi SAW, maka ayat tentang hijab diturunkan. Orang-orang bertanya kepada Zuhri, "Siapakah yang biasa mengunjungi para istri Nabi?" Dia menjawab, "Setiap orang yang mempunyai hubungan keturunan atau sesusuan yang menghalangi pernikahan". Ditanyakan, "Bagaimana dengan orang-orang lain?" Dia menjawab, "Mereka harus menyelubungi diri dari mereka. Mereka harus berbicara dari balik tabir. Dan tabirnya hanya selapis". Pernah juga Ummu Salamah dan Maimunah sedang bersama Nabi SAW, tiba-tiba lbnu Ummi Maktum masuk. Peristiwa itu terjadi setelah hijab diturunkan. Nabi SAW berkata kepada istri-istrinya, "Tutupilah diri kalian darinya." lstrinya bertanya, "Ya Rasulullah SAW, bukankah dia buta?" Beliau SAW menjawab, "Apakah kalian juga buta? Tidakkah kalian melihatnya?"
F. PEMBAGIAN GILIR ISTRI-ISTRI NABI SAW
Apabila Rasulullah SAW meminang seorang wanita, maka beliau bersabda, "Ceritakanlah kepada mereka tentang mangkuk Sa'ad bin Ubadah". Ini adalah ungkapan permisalan dalam penggiliran Nabi SAW kepada istri-istrinya. Diriwayatkan tentang mangkuk Sa'ad bin Ubadah, kadang-kadang isinya daging, kadang-kadang mentega cair dan kadang-kadang susu, yang dikirimkan untuk Nabi SAW. Setiap beliau berkeliling, mangkuk itu akan,ikut menemaninya.
Hal itu sebenarnya ditujukan kepada jadwal Rasulullah SAW yang senantiasa berkeliling kepada istri-istrinya setiap malam. Tetangga Rasulullah SAW, yaitu; Sa'ad bin Ubadah, Sa'ad bin Muadz, Amarah bin Hazam, Abu Ayyub dan yang lainnya senantiasa mengirim sedikit makanan ala kadarnya kepada Nabi SAW. Dan salah satu yang paling sering adalah kiriman dari Sa'ad bin Ubadah dengan mangkuk miliknya. ,Setiap malam mangkuk itu bersama Nabi SAW. jika Nabi SAW berkunjung ke rumah-rumah istrinya, beliau akan membawa mangkuk itu beserta isinya untuk dinikmati bersama dengan keluarganya.
Dari Urwah ra bahwa Rasulullah saw berkata: Wahai anak saudara perempuanku, Rasulullah saw tidak mengistimewakan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam pembagian giliran tinggalnya bersama kami. Pada siang hari beliau berkeliling pada kami semua dan menghampiri setiap istri tanpa menyentuhnya hingga beliau sampai pada istri yang menjadi gilirannya, lalu beliau bermalam padanya. (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan lafadznya menurut Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim)
“Dari Aisyah ra, Adalah Rasulullah saw, membagi giliran antara Istri-istrinya dengan adil dan berkata, ya Tuhan inilah pembagian aku atas apa yang aku miliki, maka janganlah kau cela aku di dalam apa yang aku tidak miliki, tapi Engkau miliki” (Riwayat Yang Empat dishahkan dia Ibnu Hibban dan Hakim )
G. TUDUHAN KAUM YAHUDI KEPADA NABI SAW
Umar, Maula Ghufra berkata, "Ketika orang-orang Yahudi melihat Rasulullah SAW banyak menikahi wanita, maka mereka berkata, 'Lihatlah orang itu (Rasulullah SAW), yang tidak terpuaskan oleh makanan. Dan demi Allah, dia hanya tertarik kepada wanita!' Mereka benci Nabi SAW karena jumiah istrinya yang banyak dan mereka mencela beliau atas hal itu, dengan mengatakan, 'Jika dia memang Nabi, dia tidak akan mempunyai keinginan terhadap wanita.' Di antara mereka, yang paling hebat mencela Nabi SAW adalah Huyay bin Akhtab.
Allah membuktikan kedustaan mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang karunia Allah kepada RasulNya. Dan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah ta'ala. Allah berfirman:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka dengki kepada manusia karena karunia yang telah Allah berikin kepada manusia itu?'(QS An-Nisa: 54)
Sebenarnya tak perlu bersusah payah, cukup dua argumen untuk menolak tuduhan yang busuk ini serta mengagalkan tudahan yang mereka lemparkan itu, yaitu:[28]
Pertama: semua istri Beliau yang suci itu, adalah wanita yang aramil (janda), kecuali Aisyah yang Beliau nikahi sewaktu masih perawan. Dia satu-satunya isteri beliau dari antara sekian istrinya yang Ia nikahi semasa gadis.
Kedua: Rasulullah saw tidaklah sekali-kali nikah poligami dengan istri-istrinya, kecuali sesudah Beliau lanjut usia. Yakni baru berpoligamy sesudah usianya lebih dari 50 tahu.
Siapa yang mengamati kehidupan Rasulullah saw, tentu dapat mengetahui dengan pasti, bahwa perkawinan beliau dengan sekian banyak wanita ini, justru pada masa-masa akhir hidup beliau, setelah melewati 30 tahun bertahan bersama wanita yang lebih tua, yaitu Khadijah, tentu berkesimpulan bahwa perkawinan beliau ini tidak sekedar didorong gejolak kepuasan, tetapi ada berbagai tujuan yang hendak diraih dengan perkawinan tersebut. Tujuan yang dapat diketahui, dari menikahi Aisyah dan Hafshah, putri sahabat kental Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar ra., dan mengapa beliau menikahkan putri beliau, Fathimah dengan Ali bin Abu Thalib, menikahkan Ruqayyah dan disusul Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan, mengisyaratkan bahwa beliau ingin menjalin hubungan yang sangat erat dengan keempat orang tersebut, yang dikenal paling banyak berkorban untuk agama.
Di antara tradisi bangsa Arab ialah menghormati hubungan besan. Menurut anggapan mereka, mencela dan memusuhi besan adalah suatu aib. Maka dengan menikahi beberapa wanita yang menjadi Ummahatul Mukminin, Rasulullah SAW ingin menghilangkan permusuhan dan memadamkan api kemarahan beberapa kabilah terhadap Islam. Setelah Ummu Salamah dari Bani Makhzum, yang sekampung dengan Abu Jahl dan Khalid bin Walid, dinikahi oleh Rasulullah SAW, hal itu membuat sikap Khalid bin Walid tidak seganas sikapnya ketika di Uhud. Bahkan akhirnya ia pun masuk islam. Begitu pula Abu Sufyan yang tidak berani bermusuhan dengan Nabi SAW, setelah Nabi SAW menikahi putrinya, Ummu Habibah. Begitu pula setelah beliau menikahi Juwairiyah dan Shafiyah, maka Bani Musthaliq dan Bani Nadhir, tidak lagi melancarkan permusuhannya. Bahkan Juwairiyah merupakan wanita yang paling banyak mendatangkan barakah bagi kaumnya. Setelah dia dinikahi Rasulullah SAW, para sahabat membebaskan seratus keluarga dari kaumnya.[29]
H. PENUTUP
Alhamdulilllah, hanya kepada-Nya segala kesempurnaan dan kebaikan disandarkan. Mudah-mudahan makalah ini banyak memberikan manfaat bagi saudara-saudara seiman dan seaqidah. Tidak ada kebenaran kecuali dari Allah semata, dan segala kesalahan, seluruhnya tertumpah kepada hamba-Nya yang dhaif ini. Segala masukan, saran, dan kritik sangat penyusun harapkan.
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya, shahabat-shahabatnya, dan para pengikut manhajnya hingga hari akhir kemudian. Wallahu a’lam
I. REFERENSI :
1. Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Katsir, (Maktabah Syamilah)
2. Al-Minhaj fie Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, (Jordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyah linnasr wa Tauzi’)
3. Shawah As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Katsir, (Cairo: Al-Majlis Al-A’la Lisyu’unil Islamiyah, 2000 M)
4. Ar-Rakhiqul Mahtum, Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, (Bairut, Darr Ibnu Hazm , 2002 M)
5. Al-Usrah Tahta Ri'ayati Al-Islam, 'Atiyah Saqar, (Ad-Darul Asriyah Lil Kitab, 1990M)
6. 99 Sahabat Perempuan Rasulullah, Abdul Hakim, (Jakarta: Republika 2006 M)
7. Menjawab tuduhan dan kebohongan tentang istri-istri Rasulullah, Muhammad Tahir, (Jakarta: Panjimas 1984 M)
8. http//www.olivie wordpres.com.keharmonisan rumah tangga Rasul saw
9. http//www.muslim-kaffah.Blogspot.com.rumah tangga Rasul saw
[1] Ibnu Katsir, Shafwah As-Sirah An-Nabawiyah (Cairo: Al-Majlis Al-A’la Lisyu’unil Islamiyah, 2000 M) hal. 162
[2] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqul Makhtum (Bairut, Darr Ibnu Hazm , 2002 M)
Hal. 55
[3] 'Atiyah Saqar, Al-Usrah Tahta Ri'ayati Al-Islam (Ad-Darul Asriyah Lil Kitab, 1990M) Jilid 6 hal. 193
[4] Ibid 6/ 194
[5] Ibid 6/197
[6] Ibid 6/198
[7] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, op.cit., hal. 131
[8] Ibid hal. 324
[9] 'Atiyah Saqar, op. Cit., 6/206
[10] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, op.cit., hal. 464
[11] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Maktabah Syamilah)
[12] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, loc. Cit., hal. 464
[13] Ibid hal. 464
[14] 'Atiyah Saqar, op. Cit., 6/215
[15] Ibid 6 / 219
[16] Ibid 6/221
[17] Mansur Abdul Hakim, 99 Sahabat Perempuan Rasulullah (Jakarta: Republika 2006 M) hal. 43
[18] 'Atiyah Saqar, op. Cit., 6/227
[19] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, op. Cit., hal. 465
[20] Mansur Abdul Hakim, op. cit., hal. 48
[21] Syaikh Shaffiyurrahman Al-Mubarakfuri, loc. Cit., hal. 465
[22] Mansur Abdul Hakim, op. cit., hal. 51
[23] 'Atiyah Saqar, op. Cit., 6/231
[24] Muhammad Tahir, Menjawab tuduhan dan kebohongan tentang istri-istri Rasulullah, (Jakarta: Panji mas 1984 M) hal 14
[25] Dikutip dari http//www.olivie wordpres.com.keharmonisan rumah tangga Rasul saw. Jam 10.12
[26] HR. Al-Bukhari no. 2035 dan Muslim no. 5643
[27] Dikutip dari http//www.olivie wordpres.com.keharmonisan rumah tangga Rasul saw. Jam 10.12
[28] Muhammad Tahir, Menjawab tuduhan dan kebohongan tentang istri-istri Rasulullah, (Jakarta: Panji mas 1984 M) hal 11
[29] Di kutip dari http//www.muslim-kaffah.Blogspot.com.rumah tangga Rasul saw. Jam: 22.00
Kata Mutiara
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Posting Komentar