Oleh: Mujahid, Ahsan, Fathur Ridho
حَدَّثَنَا أَبو نعْيم : حَدَّثَنَا عَبْد الرَّحْمَن بْن الغَسِيلِ، عَنْ حمْزَةَ بْنِ أَبِي أسَيْدٍ ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ : « قَالَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ بَدْرٍ حِينَ صَفَفْنَا لقرَيْشٍ وَصَفّوا لَنَا : " إِذا أَكْثَبوكم فَعَلَيْكمْ بِالنَّبْلِ »
Telah bercerita kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita kepada kami 'Abdur Rahman bin Al-Ghasil dari Hamzah bin Abi Usaid dari bapaknya berkata; Nabi saw bersabda pada saat perang Badar ketika Beliau membariskan kami menghadapi Quraisy: "Jika mereka mendekati kalian maka seranglah dengan anak panah".[1]
Tahkrij Hadits:
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahihnya dalam dua bab dengan lafadz yang sedikit berbeda, yaitu; dalam bab “Attahridlz `Ala Al- Ramyi” dan “Fahdlu Man Syahida Badaran”, diriwayatkan oleh Abu Daud dalam bab “Fie As-Shufuf” hadits ke 2289, dan dikeluarkan juga ole h Ahmad dalam musnadnya; bab “Hadits Abi Asiid As-Saaid ra”, hadits ke 15480.
Biografi Rawi A’laa:
Nama beliau adalah Malik bin Rabi’ah bin Al-Badan bin ‘Amir Al-Khazraji Al-Anshari, beliau masyhur dengan dengan kunyahnya Abu Asid. Beliau termasuk sahabat yang menyaksikan Perang Badar, Uhud dan perang-perang setelahnya. ketika terjadinya penaklukan kota Makkah beliau memegang bendera Bani Sa’idah. Beliau meriwayatkan dari Rasulullah saw beberapa hadits, diantaranya adalah hadits ini. Beliau wafat pada tahun enam puluh (60) H, ketika itu umur beliau tujuh puluh delapan (78) tahun, ada yang mengatakan tujuh puluh lima (75), ada juga yang mengatakan delapan puluh (80) dan ada juga yang mengatakan selain ini, berarti beliau adalah sahabat Ahli Badar yang terakhir wafat, dan ini menurut pendapat yang mengatakan beliau wafat pada tahun-tahun ini. Wallahu A’zza wa Jalla A’lam.[2]
Pelajaran Hadits:
1. Diantara materi dalam berdakwah adalah; memberikan motivasi agar senantiasa mempersiapkan diri untuk berjihad di jalan Allah ‘Azza wa Jalla.
Pertama: Apakah yang dimaksud dengan i’dad lil Jihad?
a. Menurut ulama salaf
Abu Syaikh dan Ibnu Mardawih mentakhrij dari Ibnu Abbas ra. tentang firman Allah swt :
" Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi" [3]. Yakni melempar, pedang dan senjata.
Ibnu Ishaq dan Ibnu Hatim mentakhrij dari Abdullah bin Az-Zubeir ra mengomentari ayat di atas. Beliau berkata : “Allah memerintahkan mereka mempersiapkan kuda perang.” Sedang menurut Ikrimah ra adalah Kekuatan dari kuda-kuda jantan dan kuda betina. Pendapat ini sama dengan pendapat Mujahid. Menurut Said bin Musayyib, kekuatan kuda sampai anak panah dan yang lainnya.
Dari kesemua pendapat di atas sangat mencerminkan kondisi kehidupan mereka di mana waktu itu kuda, pedang, panah adalah alat-alat yang efektif untuk berperang. Sehingga mereka menekankan untuk mempersiapkan hal -hal tersebut .[4]
b. Menurut ulama khalaf
Al-Qurthubi menafsiri ayat 60 surat Al-Anfal sebagai berikut : “Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk mempersiapkan kekuatan menghadapi musuh setelah menekankan masalah taqwa, karena seandainya Allah menginginkan tentulah orang-orang kafir itu akan dihancurkan dengan kata-kata atau dengan lemparan kerikil di wajah mereka atau bahkan taburan pasir sebagaimana dikerjakan oleh Nabi saw. Akan teapi Allah hendak menguji sebagian manusia dengan yang lainnya dengan taqdir dan qadla’Nya. Dan setiap apa yang engkau persiapkan untuk temanmu berupa kebaikan atau bagi musuhmu dari kejelekan maka itu termasuk dari i’dadmu.[5]
Kedua: Macam-macam I’dad
I’dad ada dua macam yaitu I’dad Maddi (persiapan materi) dan I’dad Imani (persiapan iman), dan tidak boleh membatasi i’dad dengan salah satunya. Adapun yang dimaksud dengan I’dad Maddi adalah yang disebutkan dalam surat Al-Anfaal, Allah berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَ عَدُوَّكُمْ وَأَخَرِيْنَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمْ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al Anfaal : 60)
Dan penafsiran ayat ini telah disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ sehingga tidak menyisakan tempat untuk mentakwilkannya atau membawa pengertian ayat tersebut kepada pengertian yang tidak dimaksudkan oleh ayat tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata bahwasannya Rasulullah saw , membaca ayat ini kemudian bersabda:[6]
ألا إن القوة الرمي
“Ingatlah bahwasannya kekuatan itu adalah melempar (memanah)”. Beliau mengucapkannya tiga kali. (HR. Bukhari)
Oleh karena itu tidak boleh membawa pengertian ayat ini kepada pengertian i’dad imani dan tarbiyah. Dan I’dad Maddi mencakup mempersiapkan orang, senjata dan harta. Dan ayat tersebut diatas menyebutkan dengan jelas persenjataan dan harta, dan menyebutkan orang secara isyarat. Namun mempersiapkan orang ini terdapat dalam ayat-ayat lain. Seperti firman Allah :
يَأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ
“Hai Nabi, hasunglah orang-orang mu’min untuk berperang” (QS. Al Anfaal : 65)
Dan juga firman Allah :
فَقَاتِلْ فِي سَبِيْلِ اللهِ لاَ تُكَلَّفُ إِلاَّ نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Dan hasunglah orang-orang mu’min (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu”. (QS. An Nisaa’ : 84)
Dan juga firman Allah :
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا كُونُوا أَنْصَارُ اللهِ
“Wahai orang-orang yang beriman jadilah kalian sebagai pembela-pembela Allah”. (QS. Ash Shaff : 14)
Ibnu Taimiyyah berkata bahwasannya jika kewajiban jihad itu gugur karena ketidak mampuan maka wajib mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan.[7] Dan Allah menjadikan I’dad ini sebagai pertanda benarnya keimanan dan sebagai pembeda antara orang beriman dengan orang munafiq, dalam firman-Nya :
وَلَوْ أَرَدُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللهُ انْبِعَثَاهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِيْنَ لَوْ خَرَجُوا فِيْكُمْ مَازَادُوكُمْ إِلاَّ خَبَالاَ وَلَأَوْضَعُوا خِلاَ لَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:”Tinggal kamu bersama orang-orang yang tinggal itu”. Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka bergegas-gegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka”. (QS. At Taubah : 46-47)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang munafiq yang meninggalkan i’dad itu sebelumnya secara taqdir Allah telah mentelantarkannya. Dan sesungguhnya hal ini adalah merupakan rahmat dari Allah kepada orang-orang yang benar-benar beriman, seandainya mereka ikut keluar bersama mereka, pasti orang-orang munafiq itu hanya membuat kerusakan dan fitnah. Apalagi ada sebagian orang-orang beriman yang berbaik sangka kepada orang-orang munafiq itu.
Adapun I’dad Imani (tarbiyah) bukan bagian dari I’dad Maddi (materi). Adapun dalil-dalilnya telah kami sebutkan di atas sehingga tidak perlu untuk diulang lagi. Dan I’dad Imani ini banyak sekali cabangnya, sebanyak cabang iman, baik lahir maupun batin, baik secara ilmu maupun secara amal, I’dad Imani juga mempunyai peran secara langsung dalam menyebabkan kemenangan atau kekalahan.
Karena jihad bukanlah suatu pekerjaan yang insidental, sporadis dan sementara. Atau gerakan yang begitu ditegakkan akan langsung memetik hasil yang gemilang namun dia adalah pekerjaan yang terus menerus hingga tegaknya hari pembalasan, yang tentunya memerlukan perencanaan yang matang dan terkendali hingga akhirnya tidak terhenti dan kandas ditengah jalan. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban seorang da’i mengajurkan kepada mad’unya untuk senantiasa melakukan persipan dengan berbagai wasilah.
Dalam hadits ini bisa kita lihat bagaimana Rasulullah saw mengobarkan semangat kepada para sahabat untuk melempar dan mempersiapkan segala sesuatu dalam rangka untuk berperang dengan berbagai sarana dan prasarana apa saja yang dimilikinya. Baik berupa panah, tombak atau yang lainya, yang mana peralatan ini digunakan pada zaman dahulu, atau menggunakan senapan api dengan jenis yang bermacam-macam sebagiamana pada zaman modern ini, seperti: Ak 47, Rudal, Ranjua, Stinjer, Granat dan lain sebagainya. Karena melempar adalah salah satu sarana kekuatan yang diperintahkan Allah swt kepada kita untuk kita persiapkan, dan melempar ini ditafsirkan sesuai perkembangan zaman. [8]
2. Di antara sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i adalah sifat adil, yaitu; meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah dalam hadits ini, yaitu : “Jika mereka mendekati kalian maka seranglah mereka dengan anak panah”, maka sudah seharusnya bagi para mujahid dan da’i untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai, karena pengertian secara tidak langsung dari hadits diatas bahwasanya Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya pada perang badar untuk tidak memanah hingga musuh mendekat, karena jika para sahabat melepaskan anak panah mereka sedangkan musuh belum masuk dalam jarak bidikan maka perbuatan ini akan menjadi sia-sia karena anak panah tidak akan sampai dan mengenai mereka.
Karena atas pertimbangan itulah Nabi mengisyaratkan dalam perkataannya : “dan seranglah mereka dengan anak panah”. Dan yang dimaksud dengan dekat dalam hadits ini ialah dekat dalam arti telah masuk dalam jarak bidikan sehingga anak panah akan mengenai musuh, dan bukan yang dimaksud dekat dalam hadits ini ialah kedekatan yang sangat rapat sehingga hanya bisa menggunakan pedang.
Penjelasan di atas menjadi dalil bahwasanya penggunaan senjata harus sesuai dengan waktu dan kondisi yang tepat, dengan tujuan untuk memaksimalkan senjata yang ada sehingga senjata itu memikili efek penghancuran yang lebih hebat bagi musuh dan tidak terbuang secara sia-sia.
Maka sudah seharusnya bagi seorang da’i kepada Allah untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan putusan yang profesional. Yaitu putusan yang sesuai dengan tempat dan waktunya. Dengan kata lain bahwasanya seorang da’i harus mempunyai sifat hikmah dalam berdakwah. Untuk menghindari salah pemahaman , penting untuk mengetahui definisi kata hikmah itu sendiri. Ada dua model penyebutan kata hikmah dalam Al-Qur’an. Jika disebutkan berdampingan dengan kata Al-Qur’an, hikmah berarti hadits Rasulullah, jika disebutkan sendirian maka hikmah berarti tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai.
Perintah untuk bersikap hikmah dalam dakwah tercantum dalam firman Allah :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah manusia kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Dengan hikmah menjadikan akan menjadikan seorang da’i mampu melihat hajat umat kemudian memberikan solusi yang tepat. Sedang dengan mau’idhah hasanah atau perkataan yang keluar dari lisan seorang da’i yang di dalamnya mengandung kebaikan dan kebahagiaan akan memberikan daya tarik tersendiri bagi seorang mad’u untuk senantiasa menjalankan perintah dan larangan-Nya. Dalam Al-Qur'an Allah saw menampilkan kepada kita tauladan dalam berda’wah dengan hikmah dan mau’idhah hasanah. Contoh yang pertama adalah Nabi Ibrahim as yang berdakwah kepada Namrud, kemudian Musa kepada Fir’aun dan Nabi Muhammad kepada kaumnya.[9]
Daftar Pustaka
1. Al-Ishabah fi Tamyiz As-Shahabah karangan Ibnu Hajar
2. Tahdzib At-Tahdzib karangan Imam Ad-Dzahabi
3. Ad-Dur Al-Mantsur karangan As-Suyuti
4. Al-jami’ lie Ahkam Al-qur’an karangan Imam Al-Qurthuby
5. Al-umdah fie I’dadi Al-Uddah karangan Abdul Qadir bin Abdul Azizi
6. Majmuu’ Fatawa karangan Ibnu Taimiyyah
7. Fiqhu Ad-Da’wah fie Shahih Al-imam Al-Bukhari karangan Said bin Wahaf bin Ali Al-Qahthani
[1] HR. Bukhari dalam bab “Attahridlz `Ala Sl- Ramyi”, no: 2685
[2] Lihat: Ibnu Hajar, “Al-Ishabah fi At-Tamyiz As-Shahabah” juz: 3, hal: 344 dan “Tahdzib At-Tahdzib” juz: 10, hal: 14
[3] QS. Al-Anfal: 60
[4] As-Suyuti, Durr Al-Mantsur Tafsir bil Ma’tsur: 4/84
[5] Imam Al-Qurthuby, Al-Jami’ Lie Ahkam Al-Qur’an: 8/35
[6] Abdul Qadir bin Abdul Azizi, Al-Umdah fie I’dadi Al-Uddah, hal. 52
[7] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa : 28 / 259
[8] Said bin Wahaf bin Ali Al-Qahthani, Fiqhu Ad-Da’wah fie Shahih Al-Imam Al-Bukhari: 2/175 (Maktabah Syamilah)
[9] Ibid. 2/176
Kata Mutiara
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.
Posting Komentar